Malaysia dan Indonesia di Mata Masyarakat Arab Timur Tengah
Karena sudah berlangsung puluhan tahun (sejak awal 1980-an), sulit sekali menghapus citra Indonesia di mata masyarakat Arab Timteng sebagai “negara pengekspor kuli dan babu”. Tapi jangan putus asa menjadi lebih baik.
Ada perbedaan sangat mencolok tentang persepsi masyarakat Arab, khususnya di kawasan Arab Teluk yang merupakan kawasan kaya dan makmur di Timur Tengah, terhadap Malaysia dan Indonesia.
Setelah sekian lama menekuni karier akademik di sebuah “negara Arab” di Timteng dan riset mengenai seluk-beluk masyarakat dan kebudayaan di kawasan ini, saya memerhatikan pandangan mereka terhadap Malaysia jauh lebih baik daripada Indonesia. Di mata masyarakat Arab Timteng, citra Malaysia jauh lebih baik ketimbang Indonesia, meskipun banyak kaum Muslim di Indonesia yang mengelu-elukan Arab Timteng.
Status Indonesia yang menyandang predikat negara mayoritas berpenduduk Muslim terbesar di dunia serta penyumbang terbanyak jemaah haji, tak mampu “mendongkrak” citra negara-kepulauan ini. Dengan kata lain, “identitas keislaman” tak cukup mengubah citra Indonesia di mata masyarakat Arab Timteng atau mengubah persepsi masyarakat Timteng atas Indonesia.
Ada beberapa indikator kenapa Malaysia dianggap lebih baik.
Sejumlah Indikator
Ada beberapa indikator kenapa Malaysia dianggap lebih baik. Pertama, banyak masyarakat Arab yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Malaysia, baik untuk program S1, S2, maupun S3. Hasil survei R Hirschamann (2020) menunjukkan ada puluhan ribu mahasiswa dari Timteng yang belajar di perguruan tinggi Malaysia. Mahasiswa Indonesia juga banyak yang belajar di Malaysia.
Sebagian besar mahasiswa berasal dari Arab Saudi, Mesir, atau Irak. Sementara nyaris susah mencari (meskipun barang kali ada) dari mereka yang belajar di kampus-kampus Indonesia. Masyarakat Arab ke Indonesia pada umumnya bukan untuk belajar tetapi liburan atau rekreasi, selain berbisnis kecil-kecilan. Lokasi yang populer bagi mereka adalah B2: Bali dan Bogor yang mereka kenal dengan nama “Puncak”.
Saya sendiri beberapa kali menulis surat rekomendasi untuk kolega atau mantan murid yang ingin melanjutkan program doktoral di Malaysia untuk bidang studi ilmu sosial dan lainnya. Di Asia Tenggara, di mata masyarakat Arab Timteng, reputasi pendidikan tinggi Malaysia hanya kalah oleh Singapura yang memang sudah lama membangun basis akademik yang baik dan berkualitas.
Indikator kedua, Malaysia (selain Singapura) juga salah satu negara destinasi utama King Abdullah Scholarship Program (KASP) untuk kawasan Asia Tenggara. Lagi-lagi, Indonesia tak masuk “negara tujuan beasiswa”. KASP adalah program beasiswa besar-besaran dari pemerintah Arab Saudi sejak 2010 untuk putra-putri Saudi yang ingin studi di luar negeri di bidang non-Islamic studies, khususnya teknik, bisnis dan lainnya.
Program KASP telah memberangkatkan ratusan ribu mahasiswa ke berbagai negara yang dianggap maju di bidang pendidikan. Berdasarkan studi Sidiqa AllahMurod dan Sahel Zreik (2020), mayoritas mereka dikirim ke kampus-kampus di AS, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Australia, dan sebagainya. Untuk Asia, China (termasuk Hong Kong dan Taiwan), Jepang, dan Korea Selatan menjadi negara-negara tujuan utama, selain Singapura dan Malaysia.
Negara-negara lain di Timteng (Uni Emirat Arab, Mesir, Maroko, Yordania, Libya, dan sebagainya) yang memiliki program beasiswa seperti KASP juga menjadikan atau memasukkan Malaysia (bukan Indonesia) sebagai salah satu “destinasi pendidikan/beasiswa”.
Diakuinya kualitas pendidikan tinggi di Malaysia, antara lain, bisa dilihat dari animo masyarakat Arab yang cukup tinggi untuk melanjutkan studi di “negeri jiran” itu, selain penyerapan pangsa pasar (pekerjaan) bagi masyarakat Arab alumni perguruan tinggi Malaysia.
Baca juga : Meredefinisi Misi Perguruan Tinggi
Ketiga, berbagai universitas di Timteng bisa menerima tenaga pengajar (warga Arab atau bukan) alumni program doktoral perguruan tinggi di Malaysia. Sementara, sependek yang saya ketahui, tak ada alumni program doktoral perguruan tinggi Indonesia yang diterima di kampus-kampus Timteng. Kalaupun ada dosen warga Indonesia yang mengajar di perguruan tinggi Timteng (seperti saya) mereka alumni program doktoral di Amerika Utara (AS dan Kanada), Eropa Barat (Inggris, Jerman, Perancis, dan sebagainya), Skandinavia (Denmark, Norwegia, Finlandia, dan sebagainya), atau Australia.
Para pelamar yang gelar doktornya diperoleh dari kampus-kampus di China, Jepang, Korsel, dan Singapura juga dipertimbangkan dan diperhitungkan. Hampir setiap tahun saya terlibat di tim perekrutan penerimaan tenaga pengajar baru yang melamar di kampus tempat saya bekerja saat ini. Jadi cukup mema -hami dinamika internal di dalamnya.
Keempat, sikap masyarakat Arab secara umum (public attitudes) terhadap warga Malaysia dan Indonesia juga berbeda. Misalnya, jika mereka melihat ada “muka Melayu” yang jadi tenaga pengajar di perguruan tinggi, mereka biasanya pada mulanya akan menganggapnya atau mengira “orang Malaysia.”
Apa yang menyebabkan persepsi masyarakat Arab Timteng terhadap Malaysia dan Indonesia beda?
Mungkin mereka menganggap “kelas” orang Indonesia bukan sebagai dosen melainkan pekerja sektor ekonomi informal alias “pekerja kasar” seperti sopir, kuli bangunan, dan semacamnya bagi laki-laki atau “pembantu rumah tangga” bagi perempuan. Apa yang menyebabkan persepsi masyarakat Arab Timteng terhadap Malaysia dan Indonesia beda?
Faktor mendasar
Saya melihat ada beberapa faktor yang mendasari perbedaan ini. Pertama, Malaysia dipandang sukses membangun sektor pendidikan tinggi yang berkualitas tapi dengan biaya relatif terjangkau.
Bagi masyarakat Arab Timteng, khususnya mereka yang tidak diterima atau enggan belajar di kampus-kampus Barat karena alasan keagamaan atau kebudayaan tertentu selain mahal (high cost) tentunya, atau bagi mereka yang tidak mau studi di kampus-kampus di negara-negara berkembang (dan miskin) karena alasan ijazahnya tidak laku di pasar, pendidikan tinggi di Malaysia bisa menjadi alternatif yang menjanjikan.
Harus diakui, dibanding Indonesia, sejumlah perguruan tinggi di Malaysia (sebut saja Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Putra Malaysia, dan sebagainya) dipandang sukses membangun reputasi akademik yang bermutu di tingkat global-internasional. Indikasinya bisa dilihat dari QS World University Rankings atau lainnya. Sementara sejumlah perguruan tinggi ternama Indonesia masih “terseok-seok” menunjukkan “taringnya” di tingkat internasional.
Dibanding Indonesia, Malaysia juga sudah lama menerapkan model belajar-mengajar dengan bahasa Inggris yang turut memengaruhi dan mendongkrak citra dan reputasi pendidikan tinggi di tingkat global.
Kedua, Malaysia dipandang sebagai “negara Muslim” yang maju di bidang perekonomian, sementara Indonesia masih dianggap “negara belum maju” meski berbagai perubahan dan terobosan pembangunan sudah dilakukan. Tentu saja masyarakat Arab Timteng sulit untuk mengirim mahasiswa ke negara-negara yang mereka anggap belum maju tingkat perekonominanya.
Ketiga, Malaysia bukan negara “pengekspor tenaga kerja kasar” ke Timteng dan kawasan lainnya, karena itu sangat wajar jika citra, reputasi, dan kredibilitas mereka “lebih berwibawa” ketimbang Indonesia. Sedangkan predikat Indonesia masih kuat sebagai negara pemasok tenaga kerja kasar ke negara-negara Arab Timteng, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, atau Kuwait, selain Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia sendiri.
Karena faktor ini pula, sulit mengangkat reputasi masyarakat Indonesia di mata publik masyarakat Arab Timteng.
Karena sudah berlangsung puluhan tahun (sejak awal 1980-an), sulit sekali untuk menghapus citra Indonesia di mata masyarakat Arab Timteng sebagai “negara pengekspor kuli dan babu”. Karena faktor ini pula, sulit mengangkat reputasi masyarakat Indonesia di mata publik masyarakat Arab Timteng.
Upaya serius
Untuk itu saya melihat ke depan perlu dilakukan berbagai upaya serius dan kerja keras Pemerintah Indonesia agar “martabat” mereka lebih berwibawa dan dihargai di kalangan masyarakat Timteng maupun global-internasional. Peningkatan sektor ekonomi dan teknologi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Negara-negara yang tingkat perekonomian dan teknologinya maju cenderung lebih berwibawa dan dihargai.
Baca juga : Pekerja Migran Indonesia Disekap dan Diperdagangkan di Irak
Penggarapan sektor pendidikan tinggi yang “berkualitas internasional” juga tak kalah penting untuk dikerjakan secara serius. Saya melihat pemerintah sudah bekerja keras membangun sektor ekonomi, teknologi, dan pendidikan ini, meski hasilnya belum bisa diapresiasi luas oleh masyarakat internasional.
Terakhir, hentikan secara bertahap program “mengekspor” tenaga kasar ke luar negeri, termasuk Timteng, dan diganti dengan (kalau perlu) “tenaga profesional”. Tentu saja ini tak mudah direalisasikan dalam waktu dekat dan merupakan pekerjaan rumah sangat sulit dan berat, apalagi kondisi ekonomi Indonesia belum beranjak maju dan lapangan kerja masih terbatas, sehingga angka pengangguran tinggi. Meski demikian, jangan pernah lelah dan berputus asa berusaha menjadi yang terbaik dan terdepan. Tak ada yang tak mungkin di bawah kolong rembulan ini.