Dalam komunikasi keseharian, terutama di kalangan generasi muda, logat Betawi semakin menggusur bahasa Indonesia. Hal ini harus menjadi perhatian, jangan sampai menggeser bahasa Indonesia.
Oleh
DJULIANTO SUSANTIO
·5 menit baca
Kompas
Supriyanto
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Tentu bahasa Indonesia baku atau resmi sesuai tata bahasa. Namun, dalam praktik sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar belum sepenuhnya dipatuhi masyarakat. Hal ini sering kita lihat dalam teks-teks media cetak, buku, dan penerbitan lain.
Selain itu, tampak pula dari berbagai bahasa lisan, termasuk acara wawancara atau dialog di media elektronik. Host dan tamu sesekali menyelipkan kata-kata seperti nggak, loh, dong, dan biarin. Memang, hal demikian sah-sah saja. ’Bahasa pasar’ selalu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat awam ketimbang bahasa resmi.
Kenyataan ini menunjukkan logat Betawi atau apa pun istilahnya mampu menggusur bahasa Indonesia. Sejak lama dialek Jakarta ini memang sudah akrab di telinga masyarakat dari berbagai kalangan dan daerah. Bule-bule yang bisa berbahasa Indonesia pun tidak sungkan-sungkan menyelipkan dialek Jakarta dalam percakapan sehari-hari.
Saya pernah menulis di Kompasiana (21 Desember 2016 dan 20 Oktober 2017) bahwa pakar bahasa Indonesia, Anton M Moeliono (1981), meramalkan, selang satu dua generasi, ragam bahasa Jakarta akan menjadi dasar bagi bahasa Indonesia baku yang mantap. Pendapatnya itu didasarkan atas kecenderungan umum di antara kalangan masyarakat untuk berorientasi ke kota Jakarta.
Sebelumnya, Ben Anderson (1966) mengatakan, bahasa Indonesia akan berkembang menjadi ragam bahasa kromo, sedangkan bahasa Betawi berlaku sebagai ngoko-nya. Muhadjir (1976) memperkirakan bahasa Betawi pada masanya akan berkembang menjadi ragam bahasa Indonesia substandar.
M PASCHALIA JUDITH J UNTUK KOMPAS
Seorang pengguna sedang membuka laman kamus besar Bahasa Indonesia dalam jaringan atau KBBI daring melalui ponselnya
Bahasa Indonesia dan bahasa Betawi sama-sama tumbuh dari bahasa Melayu. Bahasa Betawi atau bahasa Melayu dialek Jakarta menjadi perhatian utama karena pusat pemerintahan berada di Jakarta.
Berbeda dengan bahasa-bahasa daerah dan dengan bahasa Melayu lainnya, seperti bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Banjar, dialek Melayu Jakarta tidak didukung oleh kelompok etnis yang sama atau etnis tertentu. Jakarta merupakan kota yang multietnis sehingga penggunanya tidak terbatas pada etnis Betawi saja. Banyak etnis pendatang menggunakan ’bahasa baru’ sebagai cara beradaptasi.
Hal ini tentu berhubungan erat dengan sejarah masa lalu Jakarta. Sebagai kota pelabuhan sejak berabad-abad lampau, Jakarta telah menjadi magnet bagi bermacam-macam suku bangsa untuk datang ke kota ini. Dalam berinteraksi, kaum pendatang itu mau tidak mau harus berkomunikasi dalam logat Betawi.
Dalam bilangan tahun saja, Jakarta cepat menjelma menjadi kota dagang, kota pelabuhan, kota pelajar, kota wisata, kota pemerintahan, dan sebagainya. Karena itu, banyak pendatang ikut memakai bahasa Betawi setiba di Jakarta. Mereka pulalah yang membawa bahasa baru itu ke kampung halamannya ketika mudik. Tidak heran semakin tahun pengguna bahasa Betawi semakin bertambah, seiring derasnya arus urbanisasi ke Jakarta.
Sebagaimana bahasa Indonesia, bahasa Betawi juga banyak menyerap kata-kata asing. Kata-kata ini pun tetap dibetawikan, misalnya kata-kata Arab Abdullah dan Fatimah menjadi Dule (Dulo) dan Fatime. Lalu kata-kata Tionghoa, seperti gua (saya) menjadi gue. Selanjutnya menjadi gw dalam SMS. Ternyata kata-kata seperti inilah yang lebih populer, meskipun kerap disebut ’bahasa pasar’.
Saat ini dengan semakin modernnya berbagai jenis alat komunikasi, kata-kata Betawi sangat mudah ditemukan dan didengar. Apalagi, melalui siaran radio, televisi, media sosial, dan kanal Youtube. Sebagai ”bahasa nasional” kedua, bahasa Betawi juga sering digunakan media-media cetak nasional dan daerah. Keberadaan bahasa Betawi semakin didukung oleh maraknya penerbitan media remaja, seperti majalah, novel pop, dan novel teenlit.
Tidak dimungkiri, bahasa Betawi bakal lebih menonjol daripada bahasa Indonesia karena Jakarta adalah barometer segalanya, termasuk dalam hal berbahasa. Bisa jadi bahasa Betawi akan menjadi bahasa terbesar kedua di Indonesia, bahkan bahasa gaul yang paling diminati di antara bahasa-bahasa besar lainnya.
Tidak dimungkiri, bahasa Betawi bakal lebih menonjol daripada bahasa Indonesia karena Jakarta adalah barometer segalanya,
Betapa populernya dialek Jakarta bisa dilihat dari kalimat berikut, ”Beliin ane bendera kayak itu dong di mal, harganya direken ceban”. Kalimat tersebut cukup unik karena berasal dari beberapa negara atau daerah. Akhiran in mengandung unsur Bali, ane (saya, dari kata Arab ana), bendera (Portugis), mal (mall, dari Inggris), reken (hitung, asal Belanda), dan ceban (Rp 10.000, Tionghoa).
Contoh lain, sebagaimana orang sering menulis di telepon seluler (ponsel), ”Ntar gw SMS yah”. ”Gw” kependekan dari gua (dialek Hokkian, salah satu etnis di Tiongkok) berarti saya. Sementara SMS singkatan dari Short Message Service atau layanan pesan singkat.
Kompas
Didie SW
Bahasa nonformal
Bahasa Indonesia sebagai bahasa formal (bahasa resmi atau bahasa baku) masih bisa diamati pada pidato tertulis pejabat hingga presiden, surat dari instansi pemerintah, surat dari sekolah, media cetak, dan pembaca berita media elektronik. Kosakata dalam bahasa formal terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Seiring pesatnya perkembangan teknologi, muncul pula bahasa non formal. Banyak kata baru tercipta ketika masyarakat menggunakan ponsel dan media sosial, termasuk dalam blog pribadi. Tentu kita sudah akrab dengan kata-kata, seperti gw, elo, btw, oot, dan otw.
Itulah bahasa nonformal, yang tentu saja bisa disebut dengan istilah lain seperti bahasa gaul, bahasa sms, bahasa prokem, bahasa alay, bahasa campur sari, dan bahasa medsos. Dalam bahasa nonformal ini, terkadang bahasa asing dan bahasa daerah ikut masuk.
Contoh yang paling jelas terdapat pada kata ’aku’ atau ’saya’. Orang menggunakan kata ’aku’ sebagai ragam akrab, terutama dalam puisi dan tulisan fiksi lain. Kata ’saya’ sebagai ragam resmi atau biasa. Kata ’aku’ atau ’saya’ digunakan dalam ragam bahasa formal.
Kebudayaan, termasuk bahasa, terus berkembang karena saling memengaruhi. Dengan demikian, kosakata pun terus bertambah. Sepengetahuan penulis, ada beberapa ragam bahasa nonformal yang identik dengan kata ’aku’ dan ’saya’. Dalam bahasa prokem dikenal ogut dan dalam bahasa SMS dikenal gw. Selanjutnya ada ai (dari kata Inggris, I), eike (dari kata Belanda, ijk), ane (dari kata Arab ana), akika, dan 54Y4.
Kata-kata itu sering digunakan para remaja, generasi milenial, dan sebagainya dalam tulisan-tulisan di blog pribadi dan media sosial. Maklum, kita bisa menulis di blog pribadi dan media sosial tanpa suntingan asalkan kita punya akun.
Kosakata demikian sangat akrab di mata generasi muda. Hal yang harus menjadi perhatian, jangan sampai bahasa formal hilang sedikit demi sedikit lalu digantikan bahasa nonformal. Sekarang zamannya generasi muda. Merekalah yang menguasai bahasa sebagaimana tergambar dari tulisan-tulisan mereka di media sosial.