Ingat peristiwa Canon? Rendahnya pemahaman kita tentang pariwisata di satu sisi dan syariat Islam di sisi yang lain membentuk persepsi yang sempit tentang pariwisata halal/syariah. Bagaimana sebaiknya?
Oleh
MOH RASYID
·5 menit baca
Belum lama ini media sosial dihebohkan dengan kematian seekor anjing bernama Canon di kawasan Pulau Banyak, Aceh. Kematian Canon menjadi viral setelah videonya diunggah oleh sebuah akun Twitter bernama @gregorius pada Jumat (22/10/21).
Sejumlah pemberitaan media sosial menyebutkan bahwa Canon mati setelah ditangkap oleh Satpol PP setempat untuk dipindahkan dari Pulau Banyak, Aceh Singkil. Diberitakan, tindakan Satpol PP itu atas permintaan warga Pulau Banyak menyusul rencana penetapan pulau tersebut sebagai daerah ”wisata halal” pada 5 November 2021 beradasarkan Surat Edaran Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil Nomor 556.4/110.
Insiden itu seketika menuai kecaman dari banyak pihak. Tidak sedikit orang menyayangkan insiden itu terjadi, apalagi dengan dalih kepentingan wisata halal.
Kematian Canon menunjukkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu perkembangan wisata halal di Indonesia dan rendahnya literasi ”kita” tentang pariwisata halal/syariah. Dalam konteks kematian Canon, dua hal ini menunjukkan sisi kontradiksinya sehingga menimbulkan problem baru. Wisata halal tidak bisa berjalan dengan baik tanpa bekal literasi yang memadai.
Pertama, pariwisata halal/syariah mulai berkembang di Indonesia sejak pencanangan Wisata Syariah Indonesia dalam Indonesia International Halal Expo (Indhex) di Jakarta pada 2013. Untuk memastikan aspek syariahnya, Pemerintah Indonesia menggandeng Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sehingga dikeluarkan Fatwa Nomor 108 Tahun 2016 tentang Pariwisata Syariah. Rencana penetapan Pulau Banyak sebagai wisata halal merupakan bagian dari perkembangan ini.
Kedua, rendahnya literasi. Secara literal, ada dua kata kunci yang perlu digarisbawahi di sini, yaitu ”wisata” dan ”halal”. Dua kata itu kemudian membentuk frasa ”wisata halal” yang saling terkait satu sama lain dan darinya lahir rumusan definitif. Dalam ketentuan umum fatwa DSN-MUI disebutkan bahwa wisata halal/syariah adalah wisata yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah.
Dalam fatwa tersebut, semua hal tentang pariwisata halal/syariah diatur. Mulai dari ketentuan hukum, ketentuan destinasi wisata, wisatawan, hingga infrastruktur pendukungnya. Jika boleh saya rangkum pokok pikiran fatwa DSN-MUI, wisata halal/syariah adalah wisata yang mewujudkan kemaslahatan atau kebaikan universal dan inklusif. Penjelasan yang rinci mengenai hal ini terdapat pada ketentuan destinasi wisata dalam fatwa yang sama.
Kata kuncinya di sini adalah kemaslahatan universal dan inklusif. Destinasi wisata halal harus mewujudkan kemaslahatan yang bersifat universal atau menyeluruh, baik bagi penyelenggara pariwisata, masyarakat lokal, wisatawan, maupun lingkungan sekitar destinasi yang di dalamnya terdiri dari berbagai spesies makhluk hidup ciptaan-Nya. Inklusif, berarti kemaslahatan wisata halal bersifat terbuka terhadap realitas keberagaman negeri yang multikultural ini.
Jika mengacu pada perspektif ini, apa yang terjadi di Pulau Banyak, Aceh Singkil, tidak termasuk wisata halal karena tidak bisa mewujudkan kemaslahatan universal dan inklusif sebagaimana ketentuan fatwa DSN-MUI. Sementara dalam ketentuan hukumnya, fatwa ini menegaskan, ”Penyelenggaraan pariwisata berdasarkan prinsip syariah boleh dilakukan dengan syarat mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini”.
Rendahnya pemahaman kita tentang pariwisata di satu sisi dan syariat Islam di sisi yang lain membentuk persepsi yang sempit tentang pariwisata halal/syariah itu sendiri.
Rendahnya pemahaman kita tentang pariwisata di satu sisi dan syariat Islam di sisi yang lain membentuk persepsi yang sempit tentang pariwisata halal/syariah itu sendiri. Akibatnya, pariwisata halal dianggapnya harus terhindar secara total dari unsur-unsur lain yang kontras dengan konsep halal menurut pemahamannya terhadap teks-teks keagamaan an sich.
Segala bentuk pikiran dan tindakan yang tidak merepresentasikan kemaslahatan sebagai tujuan akhir diturunkannya syariat Islam (maqashid al-syariah) dalam penyelenggaraan wisata halal adalah bertentangan dengan norma-norma negara ataupun agama. Demikianlah pembicaraan tentang kematian Canon: ”membunuh” anjing dengan dalih wisata halal tidak bisa dibenarkan menurut norma apa pun.
Mempertimbangkan realitas
Kasus kematian Canon menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa keburukan (membunuh anjing) tidak bisa menolerir sebuah kebaikan (wisata halal). Oleh karena itu, komunikasi dan koordinasi antara Kemenparekraf, DSN-MUI, dan para penyelenggara pariwisata syariah/halal perlu ditingkatkan intensitasnya guna menyamakan pandangan bahwa pariwisata merupakan fenomena yang kompleks, diselenggarakan di atas bumi Indonesia yang beragam.
Selain keberagaman suku, agama, dan ras, keberagaman hayati juga tidak bisa dikesampingkan dalam perencanaan wisata halal di Indonesia. Keberagaman itu adalah realitas sosial sesuai kehendak-Nya yang karenanya tidak bisa ditolak. Oleh karena itu, memahami realitas sosial pun merupakan keniscayaan bagi penyelenggara pariwisata dan para pihak berwenang.
Selain keberagaman suku, agama, dan ras, keberagaman hayati juga tidak bisa dikesampingkan dalam perencanaan wisata halal di Indonesia.
Apa relevansi realitas sosial bagi terwujudnya kemaslahatan universal dan inklusif? Dalam hal ini saya akan meminjam pandangan Hamim Ilyas yang dituangkan dalam bukunya dengan judul Fikih Akbar: Prinsip-prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ’Alamin (2018) bahwa untuk bisa mewujudkan rahmat bagi semesta alam, kebenaran Al Quran harus didukung oleh kebenaran-kebenaran lain ”di luarnya” yang terangkum dalam lima komponen, antara lain, realisme.
Realisme bermakna realitas atau kenyataan riil di tengah-tengah masyarakat kita. Merealisasikan kemaslahatan Islam melalui wisata halal tidak bisa hanya dengan pendekatan teks-teks keagamaan, tetapi juga harus memperhatikan realitas sosial yang ada. Dengan begitu, wisata halal akan lebih terbuka terhadap wisatawan lokal ataupun mancanegara dengan kultur dan budayanya masing-masing yang berbeda.
Perhatikan Arab Saudi, negara yang selama ini dikenal menerapkan syariat Islam yang ketat, belakangan menyedot perhatian dunia setelah mengizinkan perempuan berbikini, sepasang kekasih bercengkerama di Pantai Pure Beach. Selain itu, sejak tahun 2020, Arab Saudi membuka kafe untuk hewan peliharaan, termasuk anjing. Pemilik anjing bisa bersantai ria bersama hewan peliharaannya di kafe bernama The Barking Lot ini.
Wisata halal adalah wisata yang diselenggarakan di atas semangat ketuhanan universal, kemanusiaan, berwawasan ekologis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial-budaya dan kearifan lokal serta keberagaman suku, agama, ras dan juga hayati. Penyelenggaraan wisata halal Indonesia dengan semangat yang demikian akan mewujudkan kemaslahatan universal dan inklusif, sebagaimana Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam.