PCR, Manfaat dan Mudaratnya
Sebaiknya pemerintah mendengarkan masukan dari para ahli epidemi tentang metode yang disarankan untuk pengendalian Covid-19 dan penggunaan tes PCR sehingga produk ini bisa digunakan secara tepat.
Akhir-akhir ini, PCR merupakan salah satu kata yang sangat populer di berbagai media dan pembicaraan. Berbagai opini beradu di media membahas dampak kebijakan ini pada rakyat.
Menurut Adendum Surat Edaran Satgas Covid-19 No 21 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 27 Oktober 2021, semua pelaku perjalanan antarkota lewat darat dan laut wajib tes antigen dengan masa berlaku 1x24 jam, atau tes PCR dengan masa berlaku 3x24 jam.
Sementara, semua pelaku perjalanan antarkota lewat udara wajib tes PCR dengan masa berlaku 3x24 jam.
Pemerintah tentu memiliki maksud baik dalam menjalankan kebijakan ini, tetapi rakyat juga memiliki hak untuk bersikap kritis kepada kebijakan pemerintah, khususnya bila kebijakan itu lebih banyak kemudaratannya daripada kemanfaatannya bagi masyarakat.
Di awal pandemi, PCR digunakan untuk keperluan testing (memastikan apakah seseorang telah terjangkit virus SARS CoV-2 dan berpotensi menjangkitkannya kepada orang lain).
Penggunaan ini sudah tepat dan sesuai dengan indikasi PCR, dan sangat membantu menurunkan kasus Covid-19 secara nyata dalam waktu relatif singkat. Kunci keberhasilan metode ini adalah kemampuannya mendeteksi orang yang terduga sebagai carrier (pembawa) virus secara akurat, agar orang itu bisa segera diisolasi.
Namun, fakta bahwa PCR merupakan golden standard untuk mendeteksi virus SARS CoV-2, tak otomatis berarti penggunaan PCR untuk pengendalian pergerakan masyarakat juga hal yang tepat. Masyarakat, sebagai vektor utama penyebaran virus SARS CoV-2 sangat sulit dibatasi pergerakannya, karena pergerakan itu terkait dengan kebutuhan sosial ekonomi yang harus dipenuhi.
Berapa biaya yang harus dikeluarkan, meskipun biaya tes telah ditekan habis.
Urgensi PCR
Pasca-pandemi Covid-19, masyarakat perlu segera bergerak untuk memulihkan ekonominya, dan pergerakan antar kota hanya sebagian kecil dari pergerakan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagian besar pergerakan masyarakat justru mungkin terjadi di dalam kota.
Dengan demikian, bila PCR diwajibkan untuk mengendalikan penyebaran virus untuk pergerakan antar kota, maka secara logika, PCR juga seharusnya diwajibkan untuk mengendalikan pergerakan masyarakat di dalam kota. Sayangnya, ini sangat tak mungkin diterapkan.
Bayangkan, apa yang terjadi bila setiap tiga hari, kita semua harus melakukan tes PCR sebelum berangkat bekerja dan anak-anak kita juga harus tes PCR sebelum melakukan pertemuan tatap muka (PTM)?
Berapa biaya yang harus dikeluarkan, meskipun biaya tes telah ditekan habis. Seandainya digratiskan pun, apakah klinik dan rumah sakit sanggup melayani kegiatan ini dengan tetap menjaga kualitas, apalagi mereka tetap diwajibkan memberikan hasil dalam 1x24 jam.
Baca juga : Harga Tes PCR Perlu Diturunkan
Bila tes PCR hanya dilakukan untuk pelaku perjalanan antar kota, di mana dasar logika yang mendukung bahwa pengendalian penyebaran virus bisa terjadi secara efektif hanya dengan menerapkan tes PCR untuk pelaku perjalanan antar kota?
Belum lagi, bila kita membahas perlu tidaknya penduduk lokal di daerah tujuan perjalanan melakukan tes PCR juga, karena (logikanya) penularan tak hanya terjadi dari pendatang kepada penduduk, tetapi juga dari penduduk kepada pendatang.
Pelaku usaha alkes vs mafia alkes
Banyak pihak kemudian mempertanyakan apa yang jadi latar belakang kewajiban PCR? Salah satu yang menjadi sasaran tuduhan adalah adanya bujukan dari pengusaha alat-alat kesehatan (alkes) agar pemerintah mewajibkan tes PCR demi kelancaran bisnis mereka.
Tuduhan itu mengada-ada. Secara umum, semua pengusaha, termasuk pengusaha alkes, tentu ingin dapat keuntungan. Meski demikian, pengusaha alkes yang profesional sangat memahami bahwa agar bisnisnya dapat berkelanjutan, sangat penting untuk menjalankan bisnis secara beretika.
Dari sudut pandang etika, alkes adalah produk yang digunakan untuk perawatan orang sakit atau oleh orang sehat yang ingin memantau kondisi kesehatannya. Keniscayaan ini jadi dasar bagi pengusaha alkes dalam menjalankan usahanya, mulai dari perencanaan pemesanan sampai pelayanan purna jual. Bila mafia alkes yang panik karena menimbun terlalu banyak stok, bisa dipastikan ia bukan pengusaha alkes profesional.
Dari segi bisnis, peningkatan penggunaan tes PCR secara masif yang dibarengi penurunan harga secara ekstrem, merupakan hal yang akan mematikan bisnis ini dalam jangka panjang dan menempatkan masyarakat dalam risiko, dalam hal keamanan, kualitas, kinerja.
Kondisi ini hanya akan menyuburkan mafia alkes yang akan berlomba-lomba menawarkan produk murah dan berpotensi memberikan hasil positif palsu (false positive) atau negatif palsu (false negative).
Penurunan harga yang dijadikan sebagai pembenaran dari pelaksanaan tes secara masif juga dapat mengompromikan ketersediaan tes PCR, karena biaya pelayanan tes PCR sesungguhnya bervariasi, tergantung teknologi yang digunakan (closed system, open system, dan lain-lain).
Penurunan harga tes PCR secara drastis berpotensi untuk meniadakan tes PCR cepat (seperti test cepat molekular) yang sangat dibutuhkan dalam tindakan di rumah sakit, seperti operasi.
Pengusaha alkes profesional —khususnya anggota Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia— yang terikat kode etik asosiasi) juga sudah menyiapkan diri bila harga tes PCR turun drastis dari waktu ke waktu seiring terkendalinya pandemi. Bila harga produk sudah terlalu rendah, pengusaha alkes (yang biasanya sudah memiliki basis bisnis alkes lain), akan memilih melenggang keluar dari bisnis PCR, daripada bertindak seperti mafia alkes.
Bila mafia alkes yang panik karena menimbun terlalu banyak stok, bisa dipastikan ia bukan pengusaha alkes profesional.
Sebagian konsumen mungkin akan berpikir ulang untuk tes PCR seharga Rp 275.000, apalagi Rp 100.000, karena khawatir dengan kualitas hasil pemeriksaannya, sehingga mereka mungkin lebih memilih membatalkan atau membatasi perjalanan. Sebaliknya, banyak orang mungkin merasa keberatan membayar biaya untuk anggota keluarganya (meski biaya per orang murah) karena total biaya jadi sangat besar.
Mereka mungkin memutuskan lebih baik berwisata di mal atau tujuan wisata lokal lainnya. Artinya, penerapan tes PCR bagi pelaku perjalanan antar kota justru menghambat pemulihan ekonomi daerah wisata seperti Bali, Lombok dan lain-lain.
Sebaiknya pemerintah mendengarkan masukan dari para ahli epidemi tentang metode yang disarankan untuk pengendalian Covid-19 dan penggunaan tes PCR sehingga produk ini bisa digunakan secara tepat. Penurunan harga (bahkan sampai ke titik ekstrem pun) tak akan membantu bila penggunaan tes PCR yang tidak tepat tetap diterapkan.
Pemerintah bisa menjadikan Gakeslab Indonesia dan asosiasi pengelola laboratorium klinis sebagai teman diskusi, untuk membantu pemerintah menilai struktur harga yang tepat. Bila kewajiban tes PCR ini akan dipertahankan, pemerintah seyogianya memastikan agar laboratorium pemeriksaan PCR tetap menjalankan layanan dengan standar yang benar agar masyarakat merasa tenang untuk menjalani tes PCR.
Dengan pendekatan ini, diharapkan para mafia alkes oportunis —yang berupaya memaksakan penggunaan tes PCR, diikuti penetapan harga super rendah untuk menyingkirkan produk lain di pasaran— akan gigit jari di atas timbunan stok alkes PCR di gudang mereka.
Randy H Teguh Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia