Banjir dan Empati Pemimpin
Menyebut hujan lebat sebagai pemicu banjir seolah melupakan ulah manusia yang menjadi penyebab bencana alam ini. Narasi seperti itu hendaknya dibuang jauh agar empati terbangun secara benar.
Membaca berita utama Kompas (8/11/2021) ”Banjir dan Longsor Datang Lebih Awal di Tanah Air” membuat pembaca menengok peristiwa banjir di Batu, Jawa Timur. Lebih dalam lagi, sekaligus menelaah di balik peristiwa itu. Di berita itu, banjir di Batu menjadi salah satu bencana yang disorot Kompas.
Kota Batu hidup dari sektor pariwisata. Obyek wisata banyak dibangun di sana. Hotel, vila, dan tempat penginapan lain bertumbuhan. Batu boleh dibilang seperti kawasan Puncak di Jawa Barat.
Tingkat kekhawatirannya juga sama dengan Puncak. Maksudnya, di balik pertumbuhan wisata, ada kekhawatiran degradasi lahan. Erosi tinggi, tanah longsor menjadi ancaman, dan banjir bandang bisa terjadi kapan saja (sepanjang ada hujan).
Baca juga : Bencana Alam dan Kerentanan Sistemik Kita
Benar, Kamis (4/11/2021) itu hujan lebat mengguyur kawasan Batu, terutama bagian atas (hulu), seperti halnya Sumber Brantas. Dampaknya adalah banjir bandang yang ramai diberitakan itu dan memorakporandakan beberapa tempat di Desa Sumber Brantas, Desa Bulu Kerto, Desa Tulung Rejo, Desa Padang Rejo, Desa Sido Mulyo, dan Desa Punten.
Namun, ada apa di balik peristiwa banjir Batu? Ada pernyataan pemimpin di sana yang layak untuk ditelaah. Bermula dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin menelepon Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko. Kemudian Wali Kota menginfokan pemicu banjir bandang di Batu adalah hujan berintensitas tinggi yang mengguyur wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berada di lereng Gunung Arjuno tersebut.
”Ini karena hujannya lebat sekali hampir sejam lebih dengan curah hujan yang sangat besar, membawa pohon-pohon kering yang ada di hutan ke bawah sehingga menutupi jalan air. Itu jadi menimpa rumah-rumah penduduk,” ujar Dewanti dalam laporannya. Musibah tersebut terjadi setelah hujan dengan intensitas tinggi mengguyur wilayah hulu Sungai Brantas, Kamis (4/11/2021) pukul 14.00 (Kompas.com, 5/11/2021).
Kalimat Wali Kota tersebut seolah mewakili pihak-pihak yang mendahulukan hujan lebat sebagai pemicu banjir. Setelah ditelusuri berita banjir di berbagai portal berita, banyak pemimpin yang menyatakan ”hujan lebat pemicu banjir”. Kalimat para pihak itu bisa kita pahami secara denotasi dan konotasi.
Secara denotasi sesungguhnya sudah jelas, tanpa hujan mana mungkin ada banjir. Sejauh ini siapa pun sepakat bahwa banjir merupakan air permukaan (yang tidak bisa terserap oleh tanah ) yang bergerak dari kawasan tinggi menuju ke tempat lebih rendah.
Tetapi, menjadi lebih menarik adalah makna konotasinya. Di kalimat itu pemimpin tersebut lebih melihat faktor alam dijadikan pemicu dan faktor manusia terkesan disembunyikan. Padahal, kalau mau jujur, tangan-tangan manusialah yang menjadi penyebab banjir itu. Sederhana saja logikanya, bukankah hujan lebat dulu pun sudah terjadi, kenapa belakangan ini baru terjadi banjir besar?
Padahal, kalau mau jujur, tangan-tangan manusialah yang menjadi penyebab banjir itu.
Dari logika itu bisa ditegaskan hujan lebat bukanlah pemicu banjir. Bahkan, bukan pula penyebab banjir. Mau ditegaskan di sini, degradasi hutan ataupun degradasi lahan menjadi penyebab banjir tersebut. Sebab, hujan selebat apa pun kalau permukaan tanah tertutup vegetasi, membuat air hujan meresap ke dalam tanah. Sedikit air hujan yang meliuk-liuk di atas permukaan tanah.
Sekarang berbeda. Tanaman penutup tanah berkurang, bangunan beton menghalangi pori-pori tanah, mengakibatkan air hujan berubah menjadi air permukaan, dan akhirnya meluncur deras dari daerah tinggi ke kawasan yang lebih rendah.
Narasi ”hujan lebat penyebab banjir” masih menjadikan hujan sebagai alasan. Padahal, bahwa ”lahan gundul penyebab banjir” atau ”kekeliruan peruntukan lahan penyebab banjir” lebih tepat pemakaiannya. Janganlah ”hujan lebat” dijadikan kambing hitam.
Baca juga : Tak Ada Bencana Alam
Di negeri kita ini kebiasaan mencari kambing hitam memang tak pernah hilang. Dari istilahnya, kambing hitam bermakna orang atau suatu faktor eksternal yang sebenarnya tidak bersalah, tetapi dituduh bersalah atau dijadikan tumpuan kesalahan.
Kalau kita lihat ke belakang, sejatinya kambing hitam itu merupakan cara untuk ”cuci tangan” atau ”melarikan diri” dari kekeliruan yang pernah diperbuat. Biasanya bilamana ada keberhasilan, orang tak segan lagi menganggap sebagai ”usaha kami yang tak kenal lelah”, tetapi kesalahan, kekeliruan, dan kegagalan dilemparkan ke kambing hitam.
Dalam konteks banjir, di mana pun, biasanya hujan jadi kambing hitam. Sang hujan pun pasrah dijadikan kambing hitam. Ia tetap datang saat musimnya. Sementara tangan-tangan perusak alam tetap saja melakukan aksinya.
Dalih ekonomi membuat para perusak merasa tak bersalah atas perbuatannya. Selama masih ada hujan, para perusak masih punya banyak alasan. Ada kambing hitam. Saat banjir tiba, saat tepat untuk bilang, ”Hujan lebat menyebabkan banjir.” Ah, kasihan sang hujan.
Ke mana empati?
Sepanjang kita dengar atau baca masih ada pemimpin yang sekadar menjadikan hujan lebat sebagai kambing hitam, empati mereka meragukan. Sebab, sudah jelas persoalan banjir terkait pula dengan kerusakan alam. Dalam hal empati, selain kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan orang lain, melihat dari sudut pandang orang tersebut, empati itu juga mesti membayangkan diri sendiri berada pada posisi orang tersebut.
Untuk bisa merasakan kesusahan korban banjir, pemimpin harus membayangkan dirinya sebagai korban. Jika ia mengabaikan pemicu degradasi lahan dalam peristiwa banjir, ia akan keliru membayangkan dirinya. Ia akan membayangkan dirinya sebagai korban hujan lebat, bukan membayangkan dirinya sebagai korban dari kerusakan alam.
Akibatnya, dari kerangka design thinking, di mana empati ini menjadi dasar menentukan persona, pemimpin itu memilih persona yang salah. Semestinya ia menetapkan persona para perusak lahan, tetapi karena menganggap banjir sekadar dipicu oleh hujan lebat, lantas para perusak lahan tak tertangani.
Baca juga : Alih Fungsi Lahan di Kaki Arjuno Picu Petaka di Kota Batu
Perusak lahan pun dengan tenang dan amannya terus mempraktikkan usahanya minus kaidah konservasi lahan. Beda bilamana pemimpin membayangkan dirinya sebagai korban dari kerusakan alam, dalam pemikirannya akan berupaya untuk membuat jera perusak alam.
Maka dari itu, alangkah baiknya untuk mengantisipasi banjir, tempatkan pemicu sesungguhnya. Bukan kambing hitam. Hal ini dalam rangka menemukan solusi yang tepat bagi masyarakat terdampak banjir. Buang jauh-jauh narasi tadi, narasi ”banjir dipicu hujan lebat”, ganti dengan ”kerusakan alam picu banjir”. Bedakan rasanya. Sirkuit otak akan bekerja dengan perbedaan. Kita pun terdorong untuk sama-sama mencegah kerusakan alam dan sama-sama pula merawatnya.
Toto TIS Suparto, Penulis Filsafat Moral