Kerawanan pangan yang terjadi pada kelompok rentan di masa pandemi ini diperkirakan kian meningkat sejalan dengan bertambahnya rumah tangga miskin di Tanah Air.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Menurunnya kemampuan ekonomi rumah tangga akibat dampak Covid-19 telah menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk, terutama kelompok rentan atau miskin yang kurang beruntung dalam memenuhi kecukupan pangan. Perubahan pola konsumsi itu ditandai oleh berkurangnya kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi.
Kondisi ini akan memperparah derajat kesehatan kelompok rentan yang masih terbilang rendah dan menghambat tumbuh kembang anak. Kekurangan pangan berlarut-larut pada anak balita menyebabkan tengkes (stunting) dan berat badan kurang menurut umur anak (wasting).
Berdasarkan Global Nutrition Report (2020), anak balita stunting dan wasting berpotensi mengalami dampak buruk sepanjang hidupnya (life-long effect), seperti hidup dalam kemiskinan, mengalami masalah kesehatan, bahkan kematian di usia dini. Sebanyak 144 juta anak balita kini mengalami tengkes, dan 47 juta wasting pada tataran global.
Indonesia memang telah berhasil menurunkan tengkes dan wasting, khususnya selama 2018-2019. Data Litbangkes, tengkes turun dari 30,8 persen menjadi 27,67 persen. Wasting turun dari 10,24 persen ke 7,44 persen. Namun, penurunan, khususnya tengkes ini, masih jauh dari yang ditetapkan WHO, yakni maksimal 20 persen.
Namun, penurunan, khususnya tengkes ini, masih jauh dari yang ditetapkan WHO, yakni maksimal 20 persen.
Konsumsi rendah
Sejatinya, dari sisi rata-rata kecukupan gizi, kita telah memenuhi kriteria UU No 28/2019 tentang angka kecukupan gizi (AKG) masyarakat Indonesia.
Menurut hasil Susenas Maret 2021, rata-rata pemenuhan energi atau kalori 2.141,21 kkal per kapita per hari, dan pemenuhan protein 62,28 gram per kapita per hari. Sementara AKG menurut UU itu adalah rata-rata kecukupan energi 2.100 kkal per kapita per hari, dan kecukupan protein 57 gram per kapita per hari.
Namun, celakanya, tak seluruh penduduk bisa memenuhi kebutuhan energi dan protein sesuai ketetapan UU itu. Faktor kemiskinan menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan sebagian rumah tangga, terutama pada kelompok rentan, untuk memenuhi kecukupan energi dan protein.
Berdasarkan publikasi BPS tentang Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi terungkap bahwa rumah tangga kuintil 1 dan kuintil 2 belum mampu memenuhi ketentuan UU. Rumah tangga kuintil 1 hanya mampu mengonsumsi energi rata-rata 1. 699,27 kkal per kapita per hari atau 80,92 persen dari ketetapan UU, dan protein rata-rata 45,37 gram per kapita per hari atau 79,60 persen dari ketetapan UU.
Rumah tangga kuintil 2, pemenuhan energinya rata-rata 1.964,74 kkal per kapita per hari atau 93,56 persen dari ketetapan UU, dan pemenuhan proteinnya rata-rata 51,34 gram per kapita per hari atau 95,33 persen dari ketetapan UU. Praktis, hanya rumah tangga kuintil 3 ke atas yang mampu memenuhi ketetapan UU.
Semakin tinggi kuintil semakin besar pemenuhan energi dan proteinnya. Pada rumah tangga kuintil 5 atau tertinggi, rata-rata pemenuhan energinya 2.565,59 kkal per kapita per hari atau 122,17 dari ketetapan UU, dan pemenuhan proteinnya rata-rata 81,49 gram per kapita per hari atau 142,96 persen dari ketetapan UU.
Tingginya asupan energi dan protein pada rumah tangga kelompok tertinggi itu berpotensi menyebabkan persoalan lain dalam masalah kesehatan di Tanah Air, yakni kelebihan berat badan (overweight) dan rentan obesitas, terutama pada anak balita. Dewasa ini, tidak kurang dari 40,1 juta anak balita secara global mengalami obesitas (Global Nutrition Report, 2020).
Kesenjangan pemenuhan energi dan protein antar-kuintil itu tampaknya pararel dengan ketimpangan pendapatan di Tanah Air. Rendahnya pengeluaran rumah tangga pada kuintil 1 dan 2 sebagai proksi pendapatan sekaligus merepresentasikan kelompok rentan dan miskin yang kurang beruntung dalam mengonsumsi energi dan protein sesuai ketetapan UU.
Hasil Susenas Maret 2021 sekaligus menunjukkan rumah tangga pada kuintil 1 mengalami rawan pangan, angkanya mencapai 6,80 persen. Sementara, rumah tangga kuintil 2 mengalami kerentanan dalam memenuhi konsumsi pangan.
Status rawan pangan terjadi pada rumah tangga yang pengeluaran untuk pangannya 60 persen lebih dari total pengeluaran rumah tangga dan konsumsi kalori hariannya di bawah 80 persen dari ketetapan UU (BPS, 2021).
Kelompok rentan yang mengalami rawan pangan itu sepatutnya jadi perhatian serius pemerintah.
Kelompok rentan yang mengalami rawan pangan itu sepatutnya jadi perhatian serius pemerintah. Fenomena rawan pangan itu sekaligus mengindikasikan bantuan pemerintah terhadap rumah tangga miskin belum mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar bagi mereka, yaitu kecukupan pangan sesuai ketentuan UU.
Kerawanan pangan yang terjadi pada kelompok rentan di masa pandemi ini diperkirakan kian meningkat sejalan dengan bertambahnya rumah tangga miskin di Tanah Air.
Sangat diharapkan, tambahan bantuan pemerintah terhadap rumah tangga miskin tak terhenti hanya pada masa PPKM, tetapi dilanjutkan hingga mereka dapat hidup mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya sesuai ketentuan UU.
Razali Ritonga,Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan; Alumnus Georgetown University, AS