Kapitalisme Kebablasan
Di Skandinavia, perpaduan antara sistem ekonomi pasar dan pemikiran sosialisme dalam mengelola negara berjalan dengan serasi dalam konsep ’negara kesejahteraan’. Perpaduan seperti ini bisa menjadi ilham.
Ketika Tembok Berlin rontok, ketika Uni Soviet dan beberapa negara satelitnya terpecah belah, ketika itu seorang Francis Fukuyama menyimpulkan bahwa ideologi kapitalisme-liberalisme telah memenangi pertarungan.
Ideologi komunisme yang di beberapa negara menampilkan diri dalam wajah sosialisme sepertinya telah tamat. Secara gradual semua negara mulai menerapkan sistem ekonomi pasar (market economy) dalam berbagai bentuk dengan segala ketaksempurnaannya.
Negara seperti Rusia, sisa Uni Soviet yang bertahan, mulai mengadopsi sistem ekonomi pasar. China juga melakukan hal yang sama, mengimpor kapitalisme meski pemerintahnya dijalankan oleh Partai Komunis yang masih sangat dominan.
Negara-negara satelit Uni Soviet seperti Cekoslowakia dan Yugoslavia terpecah dalam beberapa negara, tetapi sistem ekonominya berpaling pada kapitalisme. Beberapa di antara mereka mulai masuk ke dalam blok Uni Eropa yang memang terang-terangan menjadi benteng kapitalisme. Dunia sedang berubah dengan cepat.
Beberapa kali saya mengunjungi China, dari Beijing sampai ke Shanghai, saya melihat keceriaan rakyat seperti saya menemukannya di pusat kota New York dan Tokyo: semuanya trendi dan bergaya dengan telepon genggam mereka, dan mulai terdengar percakapan dalam bahasa Inggris. Saya tak menemukan suasana tertekan.
Ideologi komunisme yang di beberapa negara menampilkan diri dalam wajah sosialisme sepertinya telah tamat.
Mungkin saya salah, tetapi kunjungan demi kunjungan saya terus merasa terkesan bahwa China sedang mengalami perubahan drastis dan tak ayal lagi ekonomi China memang tumbuh sangat mengesankan. Semua barang China mengalir ke semua pusat perbelanjaan di semua kota besar dunia.
Banyak brand ternama dunia produknya dibuat di China karena diberikan lisensi, dan beberapa malah membuka pabrik di China dan menjadi bagian dari rantai pasok global (global supply chain) yang menentukan. Telepon genggam Apple tak lagi dibuat 100 persen di Cupertino, California. Apple sudah jadi produk global.
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, banyak industri di Jerman, Amerika, dan negara lain macet karena pasokan suku cadang dari China terhenti. Ekonomi dunia seperti terhenti. Memang pandemi Covid-19 meredam laju pertumbuhan industri dan perdagangan dunia, tetapi satu hal yang pasti bahwa kapitalisme telah merambah ke mana-mana. Ideologi tak lagi jadi kendala atau trade barrier.
Kapitalisme global
Sekarang China sudah menjadi raksasa ekonomi dunia. Produk domestik bruto (PDB)-nya berada di bawah Amerika, tetapi diramalkan akan melewati Amerika tak lama lagi. Semua provinsi di China sudah terkait dengan ekonomi global dan memasok produk mereka ke seluruh penjuru dunia.
Ada pengamat politik yang mengatakan bahwa sekarang ini sebetulnya yang berkuasa bukanlah G-20 atau G-7, tetapi G-2 yang terdiri dari Amerika dan China. Pengamatan itu tak sepenuhnya keliru karena memang faktanya seperti itu.
China sudah berhasil mengembangkan dirinya menjadi ekonomi supermaju dan melakukan inovasi yang melebihi dugaan banyak kalangan. Tak pernah ada yang menduga bahwa China bisa punya kereta api supercepat paling canggih. Kalau kita ke New York atau San Francisco, kita akan heran melihat betapa kereta api mereka begitu ketinggalan.
Tak ayal lagi China memang tumbuh secara sangat signifikan, di luar perkiraan.
Tak ayal lagi China memang tumbuh secara sangat signifikan, di luar perkiraan. Huawei membuat banyak negara khawatir bahwa China sudah mempunyai kemampuan intelijen yang menyusup melalui teknologi komunikasi komersial yang mereka kembangkan. Ali Baba telah menjadi raksasa digital yang ditopang oleh ratusan juta pengguna. Ada We Chat, Tencent, Baidu, dan beberapa lagi.
Industri lainnya juga bertumbuh sangat besar. Perusahaan-perusahaan itu memiliki daya ungkit (leverage) yang punya bobot politik, disegani dan membesar karena kumulasi modal yang luar biasa.
Perusahaan-perusahaan itu seperti ikut membentuk watak manusia dan secara perlahan menimbulkan keraguan akan keunggulan ideologi partai yang berkuasa. Memang tak ada dualisme kekuasaan, tetapi ada bayang-bayang kekuatan ekonomi (economic power) yang menggurita: kapitalisme yang semakin raksasa. Presiden Xi Jinping mulai merasakan ada sesuatu yang salah dengan pertumbuhan ekonomi China di mana kapitalisme sudah jadi alternatif.
Baca juga : Kapitalisme Menimbulkan Masalah Global
Kekhawatiran ini semakin lama semakin menguat dan akhirnya Presiden Xi mulai bicara mengenai ekses kapitalisme atau apa yang saya terjemahkan sebagai ”kapitalisme kebablasan”. Apakah yang terjadi memang kapitalisme kebablasan?
Meski China telah berhasil mengangkat lebih dari separuh rakyatnya dari lembah kemiskinan, ketimpangan (inequality) sangat terasa. Jurang kaya-miskin bisa dilihat dan rasakan. Sebanyak 20 persen masyarakat lapis atas menguasai 45 persen pendapatan nasional, sementara 1 persen orang kaya memiliki 30 persen dari kekayaan rumah tangga.
Ini berbahaya. Ini mengancam kesatuan negara. Kapitalisme mulai disalahkan. Tak ada perekonomian yang bisa diserahkan kepada sistem ekonomi pasar tanpa campur tangan negara, karena ketika dibiarkan, kekuasaan negara akan tergerus dan kepentingan ekonomi rakyat akan diabaikan.
Atas dasar ini, Presiden Xi Jinping mulai melakukan serangkaian tindakan yang mencoba melakukan koreksi terhadap kebablasan kapitalisme yang terjadi. Pemerintah China mulai menggergaji Ali Baba ketika anak perusahaannya, Ant Group, gagal melakukan penjualan saham kepada publik.
Jack Ma, pemilik Ali Baba, untuk beberapa waktu hilang dari peredaran. Lalu perusahaan properti Evergrande dibiarkan gagal bayar (default) atau bangkrut ketika perusahaan ini mencoba melakukan penjualan sahamnya di bursa Amerika. Kemudian perdagangan uang kripto (cryptocurrency) juga dilarang.
Perangkat kapitalisme dipereteli dengan satu tujuan bahwa mereka harus tunduk pada negara, mereka tak bisa berbisnis tanpa mengikuti kebijaksanaan negara.
Yang mengatur perekonomian China bukan ’pasar’, tetapi ’negara’. Presiden Xi Jinping, seperti melakukan otokritik, melancarkan kampanye tentang ’common prosperity’, kemakmuran bersama, yang artinya mesti ada pemerataan dan pembagian kekayaan.
Baca juga : Sinyal Krisis dari Evergrande
Masih belum jelas sejauh mana kampanye ini akan membawa China, tetapi yang jelas Xi Jinping sendiri sedang berusaha menarik simpati publik agar dia bisa melanjutkan kekuasaannya pada periode berikutnya. Namun, terlepas dari itu, yang pasti adalah penolakan terhadap sistem ekonomi pasar kalau hanya semata untuk ekonomi pasar. Market economy just for the sake of market economy is politically wrong.
Krisis finansial Asia 1998 dan krisis finansial 2008 adalah bukti kegagalan sistem ekonomi pasar. Adalah sifat perusahaan untuk terus ekspansi, tetapi nafsu ekspansi yang besar selalu membawa petaka, dan itulah yang terjadi. Apa yang terjadi pada 1998 dan 2008 adalah gunung gagal bayar (default) yang merusak sendi-sendi perekonomian nasional dan global.
Karena itu, negara harus ikut campur melalui kerangka peraturan (regulatory framework) yang memberi insentif pada pengusaha sekaligus menciptakan lapangan kerja, kelas menengah, dan perolehan pendapatan (income). Dalam bahasa ekonomi harus ada ’tetesan ke bawah' (trickle down). Kampanye ’kemakmuran bersama’ terdengar punya dasar yang kuat kalau kita bicara mengenai keberlanjutan (sustainability).
Kampanye ’kemakmuran bersama’ terdengar punya dasar yang kuat kalau kita bicara mengenai keberlanjutan (sustainability).
Negara kesejahteraan
Kritik terhadap kapitalisme itu sudah ada sejak dulu kala. Diskursus mengenai itu sangat kaya. Di Eropa sekarang ini kita melihat berbagai pemerintahan dikuasai oleh ideologi kiri (bukan komunis) yang pada intinya tetap menganut sistem ekonomi pasar, tetapi dengan komitmen akan kesejahteraan.
Jerman menyebutnya sebagai ’social market economy’. Negara-negara Skandinavia, Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia, dan Eslandia sekarang diperintah oleh koalisi partai-partai kiri (dan hijau). Jerman juga baru saja dimenangi partai beraliran kiri.
Kesemua negara ini menunjukkan bahwa kapitalisme itu adalah sistem yang relatif baik kalau dia disertai dengan tanggung jawab sosial, dengan komitmen akan pemerataan dan keberlanjutan.
Peta demografi Eropa yang ditandai dengan tingkat kesejahteraan yang cukup memadai membuat Eropa menjadi model dari kapitalisme yang berkelanjutan secara sosial dan ekonomi (socially and economically sustainable). Turunan dari semua ini adalah menguatnya demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.
Baca juga : Perwujudan Nyata Pancasila
Di negara-negara Skandinavia, semua itu dibungkus dalam terminologi ’negara kesejahteraan' (welfare state). Negara mendorong perekonomian yang bertumpu pada pasar, tetapi mengalokasikan jumlah sangat signifikan bagi kesejahteraan publik, apakah itu dalam bentuk infrastruktur, perumahan, pendidikan, kesehatan, ataupun jaminan hari tua.
Yang sangat menarik di sini, khususnya Norwegia, adalah peran sangat instrumental dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki negara dalam menjalankan roda perekonomian.
Hampir semua perusahaan besar di sini ada penyertaan saham negara, baik itu yang bergerak di bidang penambangan minyak dan gas bumi, energi terbarukan, maupun transportasi publik, lembaga keuangan, konstruksi, dan sebagainya.
Di sini kita melihat sektor negara dan swasta bergandengan tangan memajukan perekonomian di bawah pengaturan rezim hukum yang pasti.
Selain itu, pemerintahan daerah (municipality, kommune) juga ikut menjalankan peran ekonomi mereka secara aktif. Di sini kita melihat sektor negara dan swasta bergandengan tangan memajukan perekonomian di bawah pengaturan rezim hukum yang pasti. Adalah menarik melihat betapa sedikit kebocoran yang terjadi karena transparansi dan akuntabilitas itu terlihat kasatmata.
Welfare state di sini terbukti berhasil karena mampu menyejahterakan rakyatnya. Norwegia dikenal sebagai negara dengan pendapatan per kapita sangat tinggi, demokrasi yang bekerja, angka korupsi rendah, dan masyarakat yang bahagia.
Ini adalah hasil survei yang diadakan oleh beberapa lembaga internasional. Memang pajak relatif tinggi, biaya hidup juga mahal, tetapi negara memberikan segalanya. Pandemi Covid-19 seperti tak menghambat roda perekonomian, tak membuat defisit perdagangan dan tak membuat apatisme.
Negara melalui dana minyak yang sudah dikelola secara bertanggung jawab selama ini telah mampu membiayai jejaring pengaman sosial (social safety net) yang membuat negara tetap berjalan sambil menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Di Skandinavia, tak ada apa yang dikhawatirkan sebagai kapitalisme kebablasan. Pemikiran sosialisme berakar kuat dalam masyarakat dan pemerintah menerjemahkan semua itu dalam konsep ’negara kesejahteraan’.
Perpaduan antara sistem ekonomi pasar dan pemikiran sosialisme dalam mengelola negara berjalan dengan serasi, dan seharusnya perpaduan seperti ini bisa menjadi ilham buat semua kita.
Todung Mulya Lubis, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Eslandia