COP 26, Pembiayaan Iklim dan Penghentian Bahan Bakar Fosil
Denmark akan terus mencari cara untuk mendukung upaya transisi hijau Indonesia agar dapat mencapai target mengurangi emisi gas rumah kaca lebih dari 41 persen sebelum 2030, dan jadi netral karbon lebih cepat dari 2060.
Oleh
LARS BO LARSEN
·4 menit baca
Dua bulan lalu, laporan terbaru yang diterbitkan panel pakar perubahan iklim antarnegara (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) mengeluarkan peringatan mendesak: kita harus bertindak sekarang. Suhu bumi meningkat dan kita hanya memiliki 10 tahun tersisa untuk mengubah perkembangan ini.
Jelas, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang paling rentan terhadap bencana alam dan kemungkinan akan berada di antara negara-negara yang sangat terpengaruh oleh perubahan iklim.
Sebagai bagian dari upaya internasional untuk mengatasi hal ini, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol (net-zero) pada 2060 atau lebih cepat dengan bantuan internasional dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 41 persen pada 2030.
Dengan adanya keterbatasan waktu, semua negara harus mempercepat aksi iklimnya untuk menjaga kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius. Itulah tugas yang diberikan kepada kita semua.
Pada COP 15 di Kopenhagen tahun 2009, negara-negara maju di dunia menjanjikan pembiayaan iklim sebesar 100 miliar dollar AS per tahun untuk negara-negara berkembang.
Seperti yang disebutkan Presiden Joko Widodo selama COP 26 di Glasgow, negara-negara maju memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan janji masing-masing sehingga kita dapat secara kolektif memberikan jumlah yang dijanjikan. Angka OECD baru-baru ini dengan jelas menunjukkan bahwa kita belum ada di sana.
Denmark siap berkontribusi. Pada 2023, Denmark akan menyediakan setidaknya 500 juta dollar AS per tahun dalam pembiayaan iklim berbasis hibah.
Kami memperkuat upaya kami untuk memobilisasi keuangan publik dan swasta dari sumber lain. Dengan keuangan berbasis hibah gabungan dan pembiayaan yang dimobilisasi, kami akan mencapai 1 persen dari target kolektif 100 miliar dollar AS. Ini jauh melampaui bagian proporsional Denmark, dan kami berharap ini akan mendorong negara-negara lain untuk turut berkontribusi.
Menepati janji kami dari Kopenhagen sangat penting untuk membangun kepercayaan dan memastikan keadaan optimal untuk COP 26 yang sukses.
Dengan berperan aktif, Denmark sedang dalam proses memperluas kerja sama iklim dengan Indonesia. Kami telah meluncurkan Kerja Sama Sektor Strategis (SSC) untuk energi, limbah dan pertanian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Denmark.
Kerja sama ini bertujuan mendukung Indonesia dalam mencapai ambisi transisi iklim dan hijau dengan melibatkan otoritas pusat dan daerah Denmark dan Indonesia serta pemangku kepentingan terkait lainnya.
Pemerintah Denmark juga telah mengusulkan kepada Parlemen Denmark untuk lebih meningkatkan dukungannya terhadap konservasi bakau dan kehutanan sebagai pengakuan atas upaya besar yang sedang dilakukan untuk melestarikan dan merehabilitasi habitat alami.
Upaya bersama dalam kerja sama hijau ini dapat membawa Indonesia lebih dekat dengan transisi pembangunan hijau sejati karena kerja sama ini tidak hanya berfokus pada regulasi nasional, tetapi juga pada realisasi implementasi ambisi hijau pada proyek.
Di Indonesia, program Sustainable Island Initiative (SII) merupakan fokus penting dari kerja sama Denmark-Indonesia dalam energi dan lingkungan. SII bertujuan untuk meningkatkan kapasitas regional untuk menerapkan solusi hijau dan berkelanjutan di provinsi-provinsi regional seperti Lombok dan Kepulauan Riau.
Untuk menjembatani kesenjangan antara ambisi, komitmen, dan kenyataan, kita juga perlu lebih melibatkan sektor swasta. Akhir bulan ini, kami berharap dapat memulai platform untuk menghubungkan investor-investor dalam energi dan limbah dengan mitra berpotensi di Indonesia.
Untuk menjembatani kesenjangan antara ambisi, komitmen, dan kenyataan, kita juga perlu lebih melibatkan sektor swasta.
Penghentian bahan bakar fosil
Di Glasgow, Presiden Jokowi menekankan bahwa Indonesia bergerak maju dalam penggunaan energi baru dan terbarukan. Tentunya, mencapai tujuan Perjanjian Paris membutuhkan pengurangan produksi dan penggunaan batubara, minyak, dan gas alam yang cepat.
Dekarbonisasi sektor energi sering kali merupakan pilihan yang lebih praktis karena lebih murah daripada berinvestasi dalam kapasitas daya berbahan bakar fosil. Oleh karena itu, dengan proyeksi peningkatan permintaan listrik di Indonesia, kemungkinan pemulihan ekonomi melalui investasi energi terbarukan akan menguntungkan dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, kami juga berusaha menghentikan rencana-rencana baru untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara, karena ini adalah salah satu langkah paling efektif yang bisa kami ambil untuk membatasi kenaikan suhu. Tidak diragukan lagi, beberapa pembangkit listrik tenaga batubara mungkin sudah dalam pembangunan dan tidak dapat dihentikan.
Namun, tinjauan peta pengembangan pembangkit listrik mungkin merupakan cara yang sangat hemat biaya untuk mengurangi risiko stranded assets (aset yang terdampar) di pembangkit listrik batubara, yang tidak dapat menutupi biaya operasional mereka dibandingkan dengan energi terbarukan dalam waktu kurang dari lima hingga 10 tahun dari sekarang.
Dengan waktu yang sangat ketat risiko kegagalan akan selalu ada, tetapi kegagalan dalam konteks perubahan iklim bukan sesuatu yang dapat diterima. Sangat penting bahwa negara-negara berkumpul di COP26 untuk membangun kembali kepercayaan dan mengembalikan semangat Kesepakatan Paris.
Denmark akan melakukan yang terbaik untuk mempercepat tindakan dan meningkatkan ambisi, sehingga kita dapat meneruskan dunia yang makmur, adil dan berkelanjutan kepada generasi mendatang.
Pada akhirnya, Denmark akan terus mencari cara untuk mendukung upaya transisi hijau Indonesia agar Indonesia dapat mencapai target ambisiusnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca lebih dari 41 persen sebelum 2030, dan menjadi netral karbon lebih cepat dari 2060.
Lars Bo Larsen,Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Malaysia, Papua Niugini, Timor-Leste, dan ASEAN