COP26: Harapan dan Tantangan
Kunci keberhasilan penurunan emisi yang ambisius akan sangat bergantung pada kesiapan sumber daya, khususnya SDM. Kepemimpinan dan tata kelola yang baik akan menjadi prakondisi yang penting untuk mewujudkan harapan.
Perhelatan akbar perubahan iklim tahunan yang disebut Konferensi Para Pihak sudah sepekan ini digelar di Glasgow, Skotlandia, setelah absen pada 2020 akibat pandemi Covid-19.
Konferensi Para Pihak atau Conference of the Parties (COP) kali ini dihadiri sekitar 25.000 peserta, termasuk lebih kurang 100 kepala negara dari berbagai penjuru dunia. Hiruk-pikuk perubahan iklim sudah ramai dibicarakan di COP lebih dari seperempat abad lalu (sejak 1995) tanpa kepastian kapan berakhir.
Sekjen PBB Antonio Guterres saat pembukaan COP 26 secara dramatis mengatakan kepada para pemimpin negara yang hadir (termasuk Presiden Joko Widodo: ”Yang Mulia, saat ini kita menghadapi momen tentang kebenaran. Atas nama generasi saat ini dan generasi yang akan datang, saya mendesak Anda untuk memilih ambisi dan memilih solidaritas. Itu satu-satunya pilihan untuk melindungi masa depan kita dan menyelamatkan umat manusia.”
Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP 13 tahun 2007 di Bali dan dihadiri sekitar 10.000 peserta, dan dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden COP. Setiap COP berakhir dengan kesepakatan global dengan ciri tertentu. Hasil COP 13 yang disebut ”Bali Action Plan” memuat empat hal: mitigasi, adaptasi, teknologi, dan cara-cara implementasinya.
Hiruk-pikuk perubahan iklim sudah ramai dibicarakan di COP lebih dari seperempat abad lalu (sejak 1995) tanpa kepastian kapan berakhir.
Dari rangkaian COP yang telah berlangsung sampai saat ini, COP 21 tahun 2015 dianggap sebagai tonggak sejarah penting yang diharapkan bisa mengubah peta jalan solusi krisis iklim global ke depan.
Hasil COP 21 yang disebut Kesepakatan Paris mengharuskan setiap negara melakukan aksi iklim yang lebih ambisius untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 20 derajat celsius, dan melakukan upaya apa pun agar kenaikan itu maksimal 1,50 derajat celsius untuk menghindari dampak perubahan iklim global yang berbahaya untuk kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini.
Yang perlu dipahami, perubahan iklim dicirikan oleh tiga hal penting. Pertama, borderless issue, atau tak mengenal batas wilayah/negara. Aksi atau tindakan yang dilakukan satu negara akan berdampak pada wilayah/negara lain.
Kedua, long term issue, yaitu perubahan atau dampaknya akan terasa dalam jangka waktu sangat panjang, bisa 50-100 tahun.
Ketiga, scientific based, yaitu berdasarkan analisis dan rekomendasi ilmiah yang didukung lebih dari 2.000 peneliti di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang tergabung dalam Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Inter-governmental Panel on Climate Change/IPCC). Maka tak heran apabila isu perubahan iklim selalu dibawa-bawa dan dikaitkan dengan rencana pembangunan wilayah di tiap negara.
Baca juga : Mencari Optimisme di Berbagai Perjanjian COP 26
Apa yang dicari?
Para ahli mengingatkan ancaman bencana iklim jika kita tak dapat menahan kenaikan suhu bumi lebih dari 1,50 derajat celsius dibandingkan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri pada abad ke-18. Mencairnya es di kutub utara, misalnya, akan terus berlanjut dan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut serta mengancam kota-kota di pesisir lautan sehingga memerlukan migrasi penduduk besar-besaran.
Menurut laporan IPCC terakhir, 20-40 persen populasi penduduk di muka bumi tinggal di wilayah yang terdampak seperti ini. Pada dekade 2006-2015, mereka telah mengalami pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas suhu bumi rata-rata zaman praindustri, setidaknya dalam satu musim.
Untuk mengatasi dampak buruk krisis iklim ini, COP 26 keluar dengan empat agenda utama. Pertama, memastikan emisi nol global bisa dicapai pertengahan abad ini (2050) dan mempertahankan kenaikan suhu global tak lebih dari 1,50 derajat Celsius sesuai Kesepakatan Paris. Untuk ini, setiap negara diminta menyampaikan target pengurangan emisi pada 2030 yang lebih ambisius.
Kedua, meningkatkan upaya adaptasi untuk melindungi masyarakat dan makhluk hidup lain yang terdampak bencana iklim yang sudah terjadi dan akan terus berlangsung walau upaya pengurangan emisi terus dilakukan.
Ketiga, memobilisasi pendanaan perubahan iklim untuk memenuhi dua tujuan tadi. Negara-negara maju harus memenuhi janji mereka untuk memobilisasi setidaknya 100 miliar dollar AS per tahun sebagaimana dijanjikan di 2020.
Keempat, meningkatkan kerja sama untuk mengatasi tantangan krisis iklim, baik dalam hal teknologi, pendanaan, maupun kemampuan SDM.
Harapan dan tantangan
Beberapa laporan menyebutkan, akumulasi kontribusi penurunan emisi nasional (nationally determined contribution/NDC) semua negara jika ditotal tak cukup untuk memenuhi tujuan Kesepakatan Paris. Para pakar IPCC mengatakan perlunya pengurangan emisi yang lebih ambisius, lebih cepat, dan berkelanjutan guna membatasi pemanasan global dan mencegah dampak iklim lebih buruk.
Baca juga : COP 26 Bidik Penurunan 30 Persen Emisi Metana per 2030
Salah satu tantangan terbesar ialah bagaimana mengajak China dan India, dua ”raja” emisi dunia, untuk turut terlibat secara aktif mendukung gagasan ini.
Di COP 26 kerja sama antarnegara diharapkan lebih kuat dalam melaksanakan aksi iklim untuk memenuhi tujuan Kesepakatan Paris. Seminggu sebelum COP 26 digelar, tiga negara dengan luas hutan tropis terbesar di dunia, yakni Indonesia, Brasil, dan Kongo, bersepakat menghentikan laju deforestasi pada 2030.
Kesepakatan yang kemudian disebut dengan Glasgow Leaders’ Declaration on Foresst and Land Use ini kemudian diamini oleh sekitar 105 negara lain sehari setelah pembukaan COP 26.
Para negosiator harus memutuskan bagaimana mengevaluasi aksi iklim yang dilakukan oleh setiap negara secara kolektif. Keputusan ini akan sangat membantu dalam memastikan pengumpulan dan pelaporan data yang transparan dan konsisten, yang mengarah pada potret kemajuan global yang dapat menyatukan negara-negara dalam upaya mengatasi krisis iklim.
Target penurunan emisi harus ditetapkan dengan terukur dan kemajuan perlu dinilai secara berkala. Penilaian itu disebut dengan ”pengambilan stok global” (global stock taking). Pengambilan stok, yang akan terjadi setiap lima tahun, akan dimulai 2023, untuk melihat kemajuan kolektif yang telah dibuat setiap negara dalam melakukan aksi iklim.
Pemerintah harus menyediakan sumber daya khusus untuk aksi iklim. Melakukan hal itu tak hanya akan mendukung pengukurannya, tetapi juga meningkatkan respons program terhadap perubahan iklim.
Untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim, emisi nol karbon bersih harus dicapai paling lambat pada 2050, dengan pengurangan emisi yang ambisius sampai 2030.
COP 26 diharapkan menjadi titik perubahan penting pada upaya kolektif untuk mengatasi krisis iklim. Para pemimpin dari semua lini harus bertindak cepat untuk memastikan tujuan penting ini dapat dicapai pada akhir dekade ini.
Sebanyak 12 negara menyepakati komitmen pendanaan hutan global sebesar 12 miliar dollar AS atau sekitar Rp 170 triliun selama empat tahun mendatang. Selain itu, ada juga komitmen pendanaan dari 14 negara senilai 1,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 24 triliun untuk menyokong masyarakat adat menjaga kelestarian hutan.
Namun, komitmen ini perlu terus-menerus diawasi dan dimonitor secara ketat mengingat kesepakatan COP pada hakikatnya bersifat tak mengikat secara hukum (illegally binding agreement).
Presiden Jokowi menyampaikan upaya-upaya Indonesia untuk mengatasi krisis iklim.
Posisi Indonesia
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato tentang komitmen Indonesia memangkas emisi pada kesempatan memberikan sambutannya pada hari pertama. Presiden mengklaim Indonesia berhasil mengurangi 82 persen luas kebakaran hutan dan lahan sehingga menurunkan laju deforestasi ke titik terendah sejak 20 tahun terakhir.
Selanjutnya disampaikan komitmen Indonesia mengakselerasi pengembangan energi baru dan terbarukan serta mendorong kemitraan global.
Untuk meningkatkan ambisi penurunan emisi global yang ambisius, dalam COP 26 diperlukan kesepakatan bahwa negara yang target penurunan emisinya pada 2030 tidak dalam koridor 1,50 derajat Celsius diwajibkan untuk meningkatkan target reduksi emisinya selambat-lambatnya tahun 2023. Oleh karena itu, hasil global stock taking menjadi bagian penting yang akan menentukan apakah target penurunan emisi suatu negara perlu diperbaiki atau tidak.
Menurut beberapa pengamat perubahan iklim, dengan target penurunan emisi 29-41 persen pada 2030 dibandingkan emisi tahun 2010, Indonesia masih berada di luar jalur 1,50 derajat Celsius dan oleh karena itu diperlukan tambahan aksi iklim yang ambisius.
Presiden Jokowi menyampaikan upaya-upaya Indonesia untuk mengatasi krisis iklim. Penanaman mangrove seluas 600.000 hektar sampai 2024 adalah salah satu aksi yang sedang dan akan dilakukan. Potensi lainnya, dengan menjaga dan mengelola lahan gambut yang luasnya 15 juta hektar, peluang penurunan emisi akan jauh lebih besar lagi.
Kunci keberhasilan penurunan emisi yang ambisius akan sangat bergantung pada kesiapan sumber daya, khususnya SDM.
Penggunaan batubara untuk pembangkit tenaga listrik harus dihentikan dan diganti dengan sumber energi baru dan terbarukan, termasuk pemanfaatan energi matahari, air, dan tenaga nuklir yang aman. Pengembangan mobil listrik dilanjutkan, mengganti bahan bakar fosil yang mengeluarkan emisi tinggi.
Akan tetapi, semua aksi iklim ini perlu diterjemahkan di lapangan dengan tindakan-tindakan yang lebih konkret, cermat, transparan, dan terukur serta dimonitor dan dilaporkan secara berkala, baik di tingkat pusat maupun di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Kunci keberhasilan penurunan emisi yang ambisius akan sangat bergantung pada kesiapan sumber daya, khususnya SDM. Kepemimpinan dan tata kelola yang baik akan menjadi prakondisi yang penting untuk mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Semoga.
Doddy S Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, Mantan Negosiator Perubahan Iklim untuk Alih Guna Lahan dan Kehutanan