Dalam eksotisme Jalur Rempah tersekam sisi kelam masa lalu, antara lain perilaku eksploitasi alam secara masif dan merusak dalam praktik monopoli rempah-rempah. Perilaku yang masih
lestari di Negeri Rempah-rempah.
Oleh
FADLY RAHMAN
·6 menit baca
Beberapa tahun terakhir, acara-acara bertema jalur rempah bergema semarak di Indonesia. Berbagai pameran, seminar/webinar, hingga ekspedisi bahari dilakukan demi membangunkan kembali ingatan masyarakat terhadap kejayaan masa silam Nusantara sebagai poros jalur rempah yang terlupakan. Semua ini bersinergi dengan upaya pemerintah melalui Kemendikbudristek yang pada 2020 mengajukan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia ke UNESCO.
Proyek revitalisasi pemerintah terhadap Jalur Rempah ini adalah salah satu perkembangan mutakhir dari Maritime Silk Road yang bergaung pertama kali pada paruh pertama abad ke-20. Maritime Silk Road merupakan konsep imajiner spasial rute perdagangan rempah-rempah pada masa lalu yang menghubungkan China, Asia Tenggara, anak benua India, Semenanjung Arab, Afrika, dan Eropa. Ide menghidupkan rute jalur rempah ini merupakan pengembangan dari die Seidenstrasse alias Jalur Sutra (Silk Road) yang dicetuskan pertama kali pada 1877 oleh ahli geografi Jerman, Ferdinand Freiherr von Richthofen.
Jalur Sutra adalah jaringan rute perdagangan kuno via jalur darat yang menghubungkan China di timur dengan kawasan Mediterania di barat. Sejak masa abad ke-2 SM hingga abad ke-18 M, jalur sutra adalah pusat interaksi ekonomi, budaya, politik, dan agama. Setelah von Richthofen mencetuskan konsep die Seidenstrasse, pada awal abad ke-20, sejarawan seperti George Coedès dan Gabriel Ferrand mengkaji jalur sutra dengan merujuk ke rute laut yang menghubungkan Asia Timur dan Asia Tenggara dengan Asia Selatan, Persia, Jazirah Arab, Timur Dekat, Afrika Timur, dan Eropa Selatan.
Sebuah studi yang dilakukan Kwa Chong Guan, The Maritime Silk Road: History of an Idea (2016), menyatakan bahwa sebagai persimpangan dari Jalur Sutra Laut, kawasan Asia Tenggara bertransformasi dan berkembang akibat arus kedatangan berbagai bangsa, ide, serta pengaruh-pengaruh dari China, India, Asia Barat, dan Eropa. Untuk membedakan dengan jalur di atas darat yang menekankan pada perdagangan sutra oleh para pedagang China, untuk jalur di atas laut yang menekankan pada perdagangan rempah-rempah ini kemudian disebut dengan ”Jalur Rempah” (Spice Route).
Adalah fakta sejarah bahwa dalam konteks persimpangan Jalur Rempah, Nusantara merupakan produsen rempah-rempah terpenting di dunia. Iklim tropis mendukung lingkungan Nusantara yang cocok untuk pertumbuhan subur tanaman rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala. Semerbak harum cengkeh dan pala pula yang mendorong bangsa-bangsa dari berbagai benua datang melabuhkan sauh bahteranya di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, terutama Maluku sebagai asal dari kedua tanaman rempah ini.
Dalam konteks persimpangan Jalur Rempah, Nusantara merupakan produsen rempah-rempah terpenting di dunia.
Berbagai kronik kuno dari China, India, Arab, hingga Eropa mengesankan rempah-rempah sebagai komoditas ekonomi yang menggiurkan karena banyak dimanfaatkan untuk keperluan medis, bumbu masak, kosmetik, hingga mistik. Tidak mengherankan jika para pedagang asing datang ke Nusantara untuk ambil bagian dalam niaga komoditas ini. Agar misi niaganya berjalan lancar, mereka melakukan diplomasi politik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Kedatangan bangsa-bangsa asing menjadikan Nusantara sebagai melting-pot antarbudaya. Kondisi ini merupakan fondasi dari terbentuknya pluralisme kehidupan sosial masyarakat Nusantara dengan berbagai pengaruh budaya dan agama yang diresepsi dari berbagai pengaruh asing.
Rempah-rempah dan keserakahan
Ekonomi, politik, budaya, dan sosial merupakan unsur-unsur penting dalam menopang keberlangsungan Jalur Rempah yang setidaknya bertahan hingga abad ke-18 Masehi. Eksplorasi rempah-rempah oleh bangsa Eropa sejak abad ke-16 menjadi babak penting yang mengubah sejarah Nusantara.
Misi maskapai dagang Belanda, VOC, dari semula membeli rempah-rempah perlahan tapi pasti mengarah kepada aksi monopoli komoditas ini. Dengan politik devide et impera yang dilancarkan oleh VOC, kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara meredup. Konflik, peperangan, dan korupsi merupakan tiga kata kunci dalam narasi monopoli VOC terhadap rempah-rempah.
Perubahan paling ekstrem dari eksploitasi rempah-rempah ini berdampak terhadap kondisi lingkungan alam Nusantara. Sebuah kritik dari ilmuwan Prancis Henri-Alexandre Tessier (1779) dilayangkan ke Belanda atas sikap mereka dalam pemonopolian komoditas cengkeh dan pala: ”Kedua tanaman eksotis ini dijual Belanda yang mereka peroleh di salah satu kepulauannya (baca: Maluku) dan diperdagangkan khusus untuk negara-negara lain, disertai segala kecemasannya dengan melakukan penghancuran benih-benih tanaman rempah yang baru tumbuh agar pihak lain tidak dapat menyimpannya. Efek aneh dari keserakahan orang yang berdagang, yang menginginkan alam hanya bermanfaat untuk dirinya saja!”
Kritik Tessier sejatinya mewakili sikap Perancis yang mengesankan bahwa dalam mengelola negeri koloni—dibandingkan dengan Belanda—bangsa ini lebih mengedepankan prinsip ilmu pengetahuan di atas kepentingan ekonomi terhadap alam di mana rempah-rempah tumbuh. Secara tulus ia menyampaikan apresiasinya terhadap Herbarium Amboinense (1741), sebuah karya ahli botani yang bekerja untuk VOC, Rumphius: ”Dari Rumphiuslah kami memperoleh berbagai pemikiran hebat”.
Hal tersebut berkebalikan dengan sikap VOC yang mengembargo selama hampir 40 tahun atas hasil penelitian Rumphius terkait sejarah, geografi, serta kekayaan rempah-rempah dan keanekaragaman hayati Maluku. Alasannya, maskapai dagang ini cemas buah karya Rumphius ini dapat memberikan informasi kepada para rivalnya dari Eropa sehingga laba Belanda terhadap cengkeh dan pala menjadi berkurang.
Selain memicu banyak konflik dan peperangan, despotisme VOC dalam niaga rempah-rempah juga menghasilkan banyak praktik korupsi hingga akhirnya meruntuhkan maskapai dagang ini pada 1799 karena bangkrut akibat tidak sanggup menanggung besarnya beban utang. Keserakahan VOC dalam eksploitasi cengkeh dan pala juga berbuah keterbengkalaian alam Maluku yang pada abad-abad sebelumnya dikenal sebagai produsen cengkeh dan pala nomor wahid di dunia.
Keserakahan VOC dalam eksploitasi cengkeh dan pala juga berbuah keterbengkalaian alam Maluku.
Ketika Perancis sukses membudidayakan tanaman rempah-rempah di tanah-tanah koloninya di Afrika. Sebaliknya, budidaya rempah-rempah di Hindia Belanda terus mengalami kemunduran memasuki abad ke-19. Ahli botani Reindwardt yang melakukan observasi ke Banda pada 1821 melaporkan bahwa pohon-pohon pala hampir menutupi pulau ini, tetapi sayang itu semua disia-siakan begitu saja. Ia menyayangkan, Banda yang menurut dia salah satu tempat terkaya di muka bumi (one of the richest places on earth) menjadi pulau yang tidak terurus.
Kemasyhuran Maluku sebagai ”pulau rempah-rempah” pun menjadi terbengkalai setelah Belanda mengalihkan orientasi ekonominya ke Jawa dengan mengembangkan pembudidayaan komoditas gula, kopi, dan teh yang dinilai lebih menguntungkan. Demikianlah nasib rempah-rempah, habis manis sepah dibuang.
Antara romantisisme dan revivalisme
Sejak akhir abad ke-18, keagungan kisah Nusantara sebagai poros Jalur Rempah telah memudar di kancah global seiring keberhasilan politik kolonialisme Belanda menaklukkan kedaulatan kerajaan-kerajaan lokal lalu menyatukan wilayah-wilayah di Nusantara dalam kekuasaan Pax Nederlandica. Legasi dari teritori geopolitik kolonial itu kini telah bertransformasi menjadi NKRI. Bukan hanya itu, setelah era kejayaan Jalur Rempah, kolonialisme juga mewariskan berbagai masalah terhadap kondisi lingkungan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan mental bangsa Indonesia.
Romantisisme atas Jalur Rempah kerap menyeruak ketika meneropong kisah dan gambaran rempah-rempah Nusantara nan eksotis di masa lalu. Namun, dalam semangat revivalisme saat ini, hendaknya kita berefleksi juga dari fakta sejarah bahwa dalam eksotisme Jalur Rempah terekam sisi kelam masa lalu yang tidak boleh dilupakan.
Sisi kelam itu tecermin dari perilaku eksploitasi alam secara masif dan merusak, perampasan lahan, korupsi, konflik, serta kekerasan dalam praktik monopoli rempah-rempah. Perilaku lama yang hingga kini masih hidup lestari di ”Negeri Rempah-rempah”. Dan dari sejarah Jalur Rempah pula kita sejatinya belajar untuk tidak mengulangi segala bentuk despotisme masa lalu itu.
(Fadly Rahman, Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran)