Peran budaya kelir yang menjadi acuan pandangan hidup melalui kisah pewayangan dapat dilanjutkan oleh budaya layar yang baru dengan isi dan cara-cara yang sesuai dengan zamannya, jaman teknologi digital.
Oleh
PANDU WIJAYA SAPUTRA
·4 menit baca
Tanggal 7 November merupakan hari spesial bagi pegiat dan pencinta pewayangan. Pada 7 November 18 tahun lalu, UNESCO memproklamasikan wayang sebagai warisan budaya dunia. Berdasarkan persyaratan UNESCO, di antara kriteria yang menjadikan wayang layak mendapat tempat sedemikian terhormat di dunia internasional ialah karena tradisi wayang berakar dalam budaya dan sejarah masyarakat kita. Tak hanya itu, wayang hidup dan menjadi identitas masyarakat.
Tradisi yang mengakar dan hidup itu salah satunya tampak pada masyarakat Jawa. Bagi orang jawa, wayang bukan sekadar hiburan. Apa yang disajikan dalam pewayangan adalah referensi pandangan, ideologi, dan nilai-nilai hidup. Pituduh-pituduh yang disampaikan oleh dalang melalui tokohnya pun mampu merasuk ke hati penonton. Hampir setiap ada pertunjukan wayang, pengunjung datang berbondong-bondong menyaksikan.
Kisah-kisah dalam wayang pun ibarat sebuah kaca benggala (refleksi) tentang laku baik dan buruk. Penulis dan budayawan Marbangun Hardjowirogo bahkan mengatakan bahwa wayang merupakan identitas utama manusia Jawa (1984).
Kepada wayang pulalah masyarakat kerap mengasosiasikan diri mereka. Nama-nama karakter yang baik dipilih untuk nama anak sebagai harapan agar kelak berwatak seperti karakter tersebut, misalnya nama Pandu, Yudistira, Bima, Permadi, Sadewa, atau Karna. Tokoh-tokoh yang merepresentasikan watak buruk, seperti Durna, Dursasana, dan Sengkuni pun tak pernah jadi idola apalagi dipilih sebagai nama.
Dari sini kita membaca bahwa wayang tak hanya sebuah tontonan, tetapi juga memiliki fungsi sebagai media menyampaikan pesan dan ajaran hidup. Dan, sebagai sebuah media komunikasi sekaligus seni, teknologi pada masa itu berperan dalam penyampaian pesan secara efektif, estetis, dan menarik.
Budaya layar
Wayang barangkali merupakan salah satu seni pertunjukan paling tua yang menggunakan teknik multimedia. Sejak dahulu pementasan wayang sudah memadukan elemen audio dalam bentuk olah vokal sang dalang, iringan gamelan dan sinden, serta visual pada sorot cahaya dan kelir (screen). Kelir atau layar menjadi ciri khas dari pertunjukan wayang, terutama wayang kulit karena apa yang dilihat penonton adalah citra pantulan dari wayang-wayang itu sendiri.
Kemudian hari kita tahu industri modern menyuguhkan bentuk lain dari budaya layar, yakni televisi, bioskop, layar gawai, dan bermacam perangkat. Budaya layar modern ini memengaruhi, kalau tak disebut mengambil alih, minat masyarakat. Namun, dari sisi lain, ia ibarat kelanjutan dari budaya layar kelir yang lebih dulu mapan di masyarakat kita.
Media layar modern beserta isi yang dibawanya berfungsi sama dengan wayang, yaitu media komunikasi. Televisi, bioskop, gawai dan perangkat-perangkat digital dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan dengan sangat efektif.
Namun, berbeda dengan wayang yang menampilkan cerita berangkat dari epos Ramayana dan Mahabharata, tontonan masa kini jauh lebih variatif. Konten apa pun dapat dilihat di layar modern, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada standar nilai yang ketat. Sajiannya lebih bebas, mulai dari tayangan yang penuh inspirasi sampai sajian picisan, dari yang memang menyebar manfaat sampai yang hanya mencari rating, dari khotbah keagamaan sampai tayangan yang mengumbar aib orang.
Film, sebagai salah satu bentuk tayangan bercerita, barangkali adalah tontonan modern yang dapat kita bandingkan dengan wayang.
Film, sebagai salah satu bentuk tayangan bercerita, barangkali adalah tontonan modern yang dapat kita bandingkan dengan wayang. Salah satu kelebihan film dibandingkan dengan wayang tentu pada visualisasi yang nyata. Segala aspek cerita dapat dihadirkan mulai dari suasana, emosi, hingga ruang. Potensi film memengaruhi penonton pun bisa lebih besar daripada sebuah pertunjukan wayang. Karena itu, ia dapat menjadi media yang efektif menyampaikan nilai-nilai.
Beberapa film bahkan dianggap berhasil memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap bagaimana mereka beragama, misalnya film Ayat-ayat Cinta (2008) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009). Selain itu, ada juga film yang menjadi inspirasi nilai-nilai keluarga, misalnya serial Keluarga Cemara (1996-2005) atau tentang kesetiaan, seperti film Ziarah (2017).
Potensi film yang besar bahkan hingga menjadi alat propaganda. Kita bisa sebut film Pearl Harbour (2001) sebagai propaganda nasionalisme Amerika atau Iron Man (2008) sebagai wujud pamer kekuatan angkatan udara Amerika.
Kita memasuki era dimana budaya layar sudah menjadi bagian hidup setiap individu. Karena itu, sungguh disayangkan seandainya konten-konten di dalamnya tidak berkualitas dan bermakna, hanya untuk mengeruk keuntungan dan rating dengan sekadar memenuhi selera pasar yang akhirnya menjadi produk tontonan picisan.
Layar televisi, bioskop, hingga gawai memiliki daya yang berlipat-lipat melebihi apa yang bisa dijangkau oleh sebuah kelir wayang. Sajian di dalamnya berpotensi tak hanya menjadi refleksi, tetapi sekaligus referensi. Pesan-pesan yang memberi nilai pada hidup dapat disebarkan melalui layar-layar tersebut. Dengan begitu, peran budaya kelir yang menjadi acuan pandangan hidup melalui kisah pewayangan pun dapat dilanjutkan oleh budaya layar yang baru dengan isi dan cara-cara yang sesuai dengan zamannya.
(Pandu Wijaya Saputra,Peminat Kajian Sosial dan Budaya, Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek)