Plus Minus Asesmen Kompetensi Minimal
AKM jelas bukan pengganti UN yang mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan secara nasional yang hasilnya dapat digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan di Indonesia.
Akhirnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaksanakan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) mulai bulan September-Oktober 2021 sebagaimana telah direncanakan.
Memerhatikan banyaknya perbedaan antara AKM dan Ujian Nasional (UN), saya tetap menganggap bahwa AKM tidak dapat dikatakan sebagai pengganti UN.
Kelebihan dan kelemahan
Lepas dari itu, harus diakui bahwa AKM berpotensi memiliki kelebihan yang cukup menjanjikan. Sedikitnya ada empat potensi kelebihan AKM. Pertama, AKM dirancang sebagai asesmen formatif, sebagai assessment for learning, yang hasilnya akan digunakan sebagai balikan untuk memperbaiki proses belajar dan mengajar.
Hasilnya dapat digunakan oleh para peserta didik untuk meningkatkan efektivitas strategi belajar mereka, dan oleh para pendidik untuk meningkatkan efektivitas strategi mengajar mereka.
Balikan dari hasil AKM masih dapat dimanfaatkan oleh peserta AKM karena mereka mengikuti AKM bukan pada akhir jenjang. Kedua, AKM bertujuan mengukur literasi membaca dan numerasi yang dianggap sebagai kompetensi yang sangat mendasar untuk membekali para peserta didik menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata.
Menurut Kemendikbudristek (http://pusmenjar.kemdikbud.go.id/AN), konstruk literasi membaca yang diukur dalam AKM adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat.
Baca juga : Menanti Hasil Asesmen Nasional
Konstruk numerasi yang diukur adalah kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia.
Ketiga, apabila para peserta AKM, pengelola satuan pendidikan, dan para pemangku kepentingan lainnya betul-betul dapat memahami bahwa hasil AKM akan dapat digunakan sebagai balikan bagi peningkatan mutu pendidikan dan peningkatan capaian pembelajaran peserta didik, AKM akan dianggap sebagai suatu kebutuhan dan penyelenggaraannya akan disikapi secara wajar.
Jika memang demikian, AKM tidak akan dianggap sebagai high-stake test, tidak akan dianggap sebagai asesmen yang hasilnya berisiko terhadap citra penyelenggara satuan pendidikan atau terhadap nasib peserta didik mereka, dan tidak akan menimbulkan dampak negatif terkait dengan kejujuran dalam penyelenggaraan AKM.
Keempat, dengan konstruk literasi membaca dan numerasi yang diukur dalam AKM, soal-soal yang dikembangkan akan lebih banyak yang menuntut High Order Thinking Skills (HOTS), keterampilan berpikir tingkat tinggi, para peserta AKM, sehingga memberikan motivasi dan inspirasi kepada para pendidik untuk meningkatkan proses belajar-mengajar mereka yang mengarah pada peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.
Kelemahan AKM
Namun, ada beberapa kelemahan AKM yang berpotensi untuk diubah menjadi kekuatan. Pertama, kelemahan yang paling serius adalah ketidaksesuaian antara apa yang diajar dan apa yang diases, ketidaksesuaian antara pembelajaran pada tiap mata pelajaran dalam kurikulum dengan isi yang diukur dalam AKM, ketidaksesuaian antara kompetensi yang dikembangkan sebagai capaian pembelajaran tiap mata pelajaran dan kompetensi yang diukur dalam AKM.
Kelemahan ini dianggap sangat serius karena dalam keilmuan bidang asesmen, ketidaksesuaian tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kaidah test-fairness (ketidak-adilan tes). Selain itu, ketidaksesuaian tersebut juga bisa berarti memperlemah validitas AKM karena kompetensi yang diukur dalam AKM tidak sesuai dengan kompetensi dalam kurikulum yang berlaku.
Ada pilihan solusi terhadap kelemahan ini: mengubah kompetensi dalam kurikulum agar sama dengan kompetensi yang diukur dalam AKM, atau mengintegrasikan literasi membaca dan numerasi ke dalam setiap mata pelajaran dalam kurikulum. Solusi pertama sulit dilakukan karena itu berarti kurikulum harus diubah.
Kompleksitas perubahan kurikulum dan dampaknya bagi masyarakat akan sangat sulit dikendalikan.
Kompleksitas perubahan kurikulum dan dampaknya bagi masyarakat akan sangat sulit dikendalikan. Pilihan solusi kedua jauh lebih sederhana karena yang diubah hanyalah pendekatan pembelajarannya. Sebagai kompetensi yang dianggap mendasar, literasi membaca dan numerasi dapat diintegrasikan ke dalam setiap pembelajaran mata pelajaran yang ada dalam kurikulum.
Selain diarahkan pada terwujudnya capaian pembelajaran tiap mata pelajaran, kegiatan belajar-mengajar juga bisa disisipi pembelajaran yang terkait dengan pengembangan literasi membaca dan numerasi. Pendekatan pembelajaran literasi membaca dan numerasi seperti ini bisa disebut sebagai pembelajaran literasi membaca dan numerasi lintas kurikulum.
Kelemahan kedua yang perlu diubah menjadi kekuatan adalah potensi washback effect yang bersifat negatif. Washback effect negatif adalah dampak adanya asesmen yang dianggap sangat penting terhadap proses belajar-mengajar. Jika AKM yang mengukur literasi membaca dan numerasi dianggap sangat penting, proses belajar-mengajar, khususnya menjelang penyelenggaraan AKM, akan lebih banyak diarahkan kepada pengembangan literasi membaca dan numerasi, atau bahkan diarahkan ke pelatihan mengerjakan soal-soal AKM.
Akibatnya pembelajaran akan mengabaikan kurikulum yang berlaku. Agar kelemahan kedua ini menjadi kekuatan, para pengelola satuan pendidikan perlu selalu diyakinkan bahwa apapun hasil AKM tidak akan memberikan dampak negatif sama sekali bagi siapapun.
Baca juga : Asesmen Kompetensi Minimal, Pengganti Ujian Nasional
Jika pembelajaran literasi membaca dan numerasi dapat dilaksanakan lintas mata pelajaran, pembelajaran dalam setiap mata pelajaran akan tetap berjalan sesuai dengan kurikulum, sedangkan kompetensi peserta didik dalam literasi membaca dan numerasi dapat dikembangkan sebagai nurturing effect, sebagai dampak pengiring pelaksanaan kurikulum.
Yang perlu diantisipasi sebagai kelemahan ketiga adalah tidak mudahnya memperoleh pengembang soal yang sangat terlatih dan berdedikasi tinggi setiap tahun untuk menghasilkan soal-soal yang betul-betul mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Soal-soal AKM akan dianggap mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi apabila soal-soal dan teks yang digunakan sebagai konteks tersebut betul-betul baru, betul-betul belum pernah diakses oleh para peserta AKM.
Jika soal dan teks yang menjadi konteks soal AKM ada yang sudah pernah diakses oleh peserta AKM, pernah dibahas atau diajarkan sebelumnya, maka soal-soal tersebut semata-semata hanya akan mengukur keterampilan mengingat saja, bukan mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi lagi.
Yang juga mungkin perlu diwaspadai adalah rasa ketidak-adilan bagi para peserta didik, baik yang diikutkan maupun yang tidak diikutikan sebagai peserta AKM.
Yang diikutkan sebagai peserta AKM adalah para peserta didik yang dipilih secara acak sebagai sampel dari peserta didik yang duduk di kelas 5, kelas 8, dan kelas 11 dari semua satuan pendidikan. Jadi, dalam satu satuan pendidikan di kelas 5, kelas 8, dan kelas 11, ada yang mengikuti dan ada yang tidak mengikuti AKM.
Yang diikutkan mungkin bisa merasa memperoleh beban tambahan, sedangkan yang tidak diikutkan mungkin merasa tidak beruntung memperoleh pengalaman mengikuti AKM. Penjelasan yang dapat menetralisasi kemungkinan ada rasa tidak adil sangat perlu dilakukan.
AKM jelas bukan pengganti UN yang mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan secara nasional yang hasilnya dapat digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah ada cara lain, sebagai pengganti UN, yang dapat dilakukan untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan secara nasional?
Ali Saukah Guru Besar Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur