BRIN dan Produksi Pengetahuan Feminis
Marjinalisasi pengetahuan feminis di banyak aspeknya merupakan persoalan serius dalam dunia akademik dan riset kita. BRIN harus memberi perhatian khusus agar pengetahuan feminis semakin berkembang.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) resmi menjadi institusi birokrasi penelitian nasional di Indonesia. Saya ingin menyambut kehadiran BRIN dengan mendiskusikannya dalam konteks produksi pengetahuan feminis.
Bagaimana BRIN berpengaruh pada produksi pengetahuan feminis? Mengapa BRIN perlu didorong untuk memperhatikan khusus produksi pengetahuan feminis? Apa yang harus disiapkan agar BRIN berkontribusi pada produksi dan distribusi pengetahuan feminis?
Sepertinya, baik BRIN, akademisi, peneliti, atau aktivis feminis, belum memberikan respons dan pemikiran, bagaimana BRIN berdampak positif bagi pengembangan pengetahuan feminis. Respons ini bukan hanya penting untuk ”mengontrol” BRIN berada pada jalur riset-akademik dan tidak ”dibebani” kepentingan politik, jika itu ada, tetapi secara khusus bagi pengembangan pengetahuan feminis, terkait berbagai persoalan sosial.
Baca Juga: Menengok Lagi Kesetaraan Jender dan Feminisme
Indonesia telah menjadi laboratorium krusial bagi kajian jender, seksualitas, dan feminisme. Banyak peneliti, seperti Tom Boellstorff, Sharyn Davies, Saskia Wieringa, Evelyn Blackwood, Rachel Rinaldo, Carla Jones, Julia Suryakusuma, atau Dede Oetomo menghasilkan konsep dan analisis penting terkait jender lintas disiplin.
Dalam konteks lebih akademis, pengetahuan feminis merupakan hasil dari epistemologi feminis, metodologi pengetahuan yang menekankan jender dengan segala aspeknya—relasi, identitas, peran, yang dinamis dan beragam—sebagai dimensi krusial berpengetahuan, mengidentifikasi dan memahami persoalan sosial. Biasanya proses ini dilakukan para feminist scholar atau feminist activist, meski umum juga terbuka melakukannya.
Salah satu praktis terpenting pengetahuan feminis adalah memberi suara pada kelompok jender dan seksual marjinal sebagai sumber produksi informasi dan pengetahuan. Produksi pengetahuan nonfeminis hanya berpusat pada laki-laki (male-centric), misoginis, patriarkhal, homofobia, dan heteronormatif. Ia segan bahkan menolak memberi ruang pada kelompok jender dan seksual non-normatif baik sebagai peneliti, narasumber, atau konsumen untuk mengakses pengetahuan tersebut untuk tujuan emansipasi dan transformasi.
Produksi pengetahuan misoginis tidak menjadikan pengalaman dan pendapat perempuan sebagai sumber pengetahuan penting dalam memahami persoalan sosial. Pengalaman keseharian perempuan yang langsung merefleksikan persoalan sosial justru tidak diterima sebagai sumber data untuk menganalisa atau memahami suatu fenomena sosial. Meski menjadi korban diskriminasi dan ketidakadilan sosial secara lanngsung, pengalaman kelompok jender dan seksual minoritas seperti LGBT justru disangkal sebagai sebuah data.
Realitas sosial yang dipahami secara bias, male centric, adalah realitas sosial tidak utuh dan parsial.
Akibat marjinalisasi epistemologis atau pengabaian suara-suara kelompok jender dan seksual yang beragam dalam metodologi dan metode berpengetahuan, bukan saja pengetahuan nonfeminis gagal memahami sepenuhnya realitas sosial dengan segala kompleksitas persoalan sosialnya, tetapi juga realitas sosial yang dipahami secara bias, male centric, adalah realitas sosial tidak utuh dan parsial. Lebih lanjut, pengabaian epistemologis membuat pengetahuan non-feminis tidak bisa bersikap kritis dan tidak mampu berkontribusi pada perubahan sosial secara signifikan.
Marjinalisasi pengetahuan feminis di banyak aspeknya—produksi, sirkulasi, dan akses atau konsumsi—merupakan persoalan serius dalam dunia akademik dan riset kita. BRIN perlu dituntut dan didorong untuk memberi perhatian khusus dan memikirkan berbagai upaya agar pengetahuan feminis semakin berkembang. Jika tujuan utama BRIN adalah menyediakan pengetahuan inovatif dengan orientasi kuat pada upaya mengatasi berbagai persoalan sosial, salah satu jalan yang wajib ditempuh adalah mengembangkan produksi pengetahuan feminis ini.
Baca Juga: W-20, Tantangan Kesetaraan Jender dan Presidensi G-20
Pertama-tama yang dibutuhkan dari BRIN adalah penguatan paradigma dan perspektif pengetahuan feminis secara kelembagaan. Sensitivitas jender dan pengarusutamaan jender pada visi, misi, strategi, dan tujuan BRIN menjadi fondasi paling awal menuju BRIN yang bisa diandalkan sebagai birokrasi riset dengan orientasi kuat pada produksi pengetahuan feminis. BRIN perlu sejak awal menunjukkan posisi yang melawan marjinalisasi pengetahuan feminis dan de-centering produksi pengetahuan yang male-centric.
BRIN perlu didorong membuat declaration of academic freedom untuk menegaskan, atas nama kebebasan akademik tidak ada topik atau subyek terlarang dalam penelitian dan kajian tentang jender, seksualitas, dan feminisme. Juga tidak ada larangan untuk mengkaji berbagai persoalan sosial dengan perspektif jender dan feminis.
Dekralasi Kebebasan Akademik merupakan prioritas karena masih kuatnya perilaku seksis, intoleran terhadap keragaman seksual, dan serangan terhadap peneliti dan akademisi jender dan seksual beserta hasil penelitiannya. Dalam situasi politik yang demokratis, BRIN perlu menjadi institusi terdepan dalam mendemokratiskan pengetahuan terkait jender dan seksualitas.
Penguatan kapasitas
Penguatan sumberdaya peneliti yang memiliki kemampuan dan pemahaman pada penelitian berprespektif jender dan feminis bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan berbagai instutisi akademik dan riset. Penguatan kapasitas ini bukan hal mudah karena tidak hanya menyentuh aspek ”metode pengumpulan data”, tetapi terkait perspektif jender dan seksual yang terbuka (open minded) dan toleran terhadap kearagaman.
BRIN perlu melibatkan para peneliti feminis yang, meski belum banyak, ada di berbagai perguruan tinggi atau beberapa organisasi perempuan dalam penguatan kapasitas. Penguatan kapasitas dibarengi dengan pengayaan sumber-sumber penelitian berperspektif jender dan feminis terutama dari segi metodologi dan metode. Pusat-pusat studi jender dan perempuan di berbagai perguruan tinggi juga perlu menjadi partner penting agar bisa menjadi bagian penting produksi pengetahuan feminis.
BRIN perlu melibatkan para peneliti feminis yang, meski belum banyak, ada di berbagai perguruan tinggi atau beberapa organisasi perempuan dalam penguatan kapasitas.
Di luar penguatan institusi dan sumber daya peneliti, BRIN bisa memfasilitasi upaya membangun tradisi dan lingkungan akademik yang mendukung produksi, distribusi, dan akses terhadap pengetahuan feminis melalui berbagai kegiatan ilmiah. BRIN bisa fokus pada upaya membangun gagasan dan ide, lalu mengkampanyekannya pada berbagai pihak, tentang pentingnya kegiatan akademik semacam penelitian, kajian atau studi, seminar, konferensi, penerbitan jurnal, hingga buku tentang berbagai persoalan sosial dengan berdasarkan perspektif jender dan feminis.
Berkembangnya ”tradisi akademik virtual” juga perlu dimanfaatkan BRIN sebagai peluang dan potensi mengampanyekan gagasan dan ide terkait produksi pengetahuan feminis. Kegiatan akademik regular seperti penulisan skripsi, tesis, dan desertasi juga perlu perhatian khusus agar bisa menjadi sumber bagi produksi pengetahuan feminis.
Dana memang menjadi satu persoalan untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Namun, persoalan dana lebih mudah diatasi daripada persoalan terkait paradigma, ideologi, cara pandang dan cara berpikir dalam kelembagaan BRIN.
Perspektif jender dan feminis yang kuat mendorong BRIN mengusahakan berbagai sumber dana, termasuk ”gender budgeting” dari sumber-sumber keuangan negara. Kerja sama dengan berbagai pihak, baik dunia usaha, lembaga pendidikan, research foundation, dan lain-lain, baik dalam maupun luar negeri, bisa menjadi peluang potensial dalam pendanaan.
Baca Juga: Jender dan Kebijakan Kebudayaan
Kita sangat berharap, transformasi BRIN diikuti penguatan perspektif jender dan feminis. Saatnya birokrasi riset nasional menjadi garda depan produksi pengetahuan yang berkontribusi penting pada perubahan cara pandang dan perilaku bias jender dan intoleran terhadap keragaman jender.
Kita butuh birokrasi riset nasional yang tidak menganggap ketidakadilan jender dan kekerasan seksual sebagai persoalan sosial ”remeh-temeh”. Kita perlu institusi riset nasional yang tidak menyepelekan kajian jender, seksualitas, dan feminisme. Kita perlu lembaga birokrasi riset nasional yang memahami jender dan seksualitas sebagai subyek yang terkait erat dengan kebangsaan atau keindonesiaan.
(Farid Muttaqin, Kandidat PhD Antropologi Feminis, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, AS; Pendiri LETSS Talk)