Inovasi dan Arah Bangsa
Indonesia perlu menegaskan kembali arah bangsa menyambut usia 100 tahun dengan strategi yang lebih cerdas untuk membangun knowledge-based nation (negara berbasis ilmu pengetahuan).
”Aku tak tahu manfaat penemuanku sekarang, tetapi aku yakin suatu saat ratu akan bisa menarik pajak darinya.”
Michael Faraday
Pada 13 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sebuah lembaga baru yang prestisius, strategis, dan mendesak untuk negara sebesar Indonesia.
Prestisius karena lembaga ini akan mengonsolidasikan berbagai potensi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi di Indonesia. Strategis karena membangun momentum penting bagi Indonesia untuk melompat menjadi negara maju berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi, sebagaimana jalan yang ditempuh berbagai negara maju.
Mendesak, karena dengan bergeraknya dunia semakin dinamis dan penuh ketidakpastian akibat perkembangan Revolusi Industri 4.0 dan diperparah oleh pandemi Covid-19, setiap negara harus merumuskan ulang kekuatan dan perannya dalam konteks geopolitik, di mana alat utamanya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah bangsa-bangsa di dunia sejak beratus tahun lalu mengajarkan bahwa beberapa negara bisa lahir bersamaan, tetapi arah dan tingkat kemajuannya bisa berbeda-beda.
Penentu arah dan pemicu ekosistemnya, suka tak suka, adalah kebijakan politik negara tersebut. Setiap negara bisa lahir dengan keunggulan geografis atau demografis yang tak dimiliki negara lain, tetapi negara itu mampu memanfaatkan keunggulannya atau malah gagal tumbuh dan mati ditelan sejarah, tergantung keberpihakannya pada pengembangan iptek dan kemampuan membangun ekosistem inovasi berkualitas.
Bung Karno pada 1953 telah merencanakan membangun banyak pusat riset dan inovasi.
”Cities of Intellect”
Indonesia sebenarnya telah menyiapkan peta jalan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi, bahkan sejak 10 tahun setelah merdeka. Bung Karno pada 1953 telah merencanakan membangun banyak pusat riset dan inovasi.
Ia memperkenalkan istilah City of Intellect pada saat istilah Smartcity bahkan belum dikenal seperti saat ini. Bung Karno mengirimkan banyak pemuda Indonesia belajar ke pusat-pusat keunggulan teknologi di seluruh dunia, dengan tujuan ketika mereka kembali dapat mengembangkan teknologi yang terbaik bagi Indonesia.
Tapi, sejarah berkata lain. Bung Karno dijatuhkan. Ribuan pemuda yang belajar tadi dimusuhi Orde Baru yang mengambil jalan kapitalis developmentalis: memberikan tambang emas ke Freeport, revolusi hijau, PMA, dan tentara mengurusi politik sehingga gagal jadi angkatan perang modern.
Pembangunan memakai jalan teknokratis kapitalis. Sementara otoriterisme Orde Baru gagal meniru otoriterisme Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan di Korea (1966-1988) yang sukses menempatkan diri dalam Revolusi 1.0, Revolusi 2.0, dan Revolusi 3.0 (yang terakhir ini dirintis para mantan aktivis penentang mereka yang menjadi industrialis).
Baca juga : BRIN Perlu Fokus Sinergikan Seluruh Ekosistem Riset
Orde Baru yang merupakan gabungan rasionalis Barat, tradisionalis, dan militeris lama kelamaan jadi tradisionalis keluarga. Kini, kita harus membayar utang-utang sejarah itu akibat membiarkan otoriterisme berkuasa terlalu lama, tetapi malas mengerjakan pekerjaan rumah (PR): membangun infrastruktur fisik, mendisiplinkan dan memodernisasi nilai-nilai.
Presiden Joko Widodo dengan ngotot sedang mengerjakan salah satu pekerjaan rumah tersebut, yaitu infrastruktur.
Kecepatan dan keanekaragaman
Inovasi teknologi pada hakikatnya adalah untuk menaklukkan waktu (meraih kecepatan) dan mengelola keanekaragaman. Dua hal ini selalu jadi obsesi manusia dalam konteks individu dan tugas utama setiap kepemimpinan negara dalam konteks sosial masyarakat.
Pertanyaan besarnya adalah PR dan arah bangsa seperti apa yang harus disiapkan dalam tantangan kompetisi global yang semakin ketat.
Dalam kompetisi kemajuan inovasi dan teknologi global, ada lima sektor teknologi strategis yang harus dibangun oleh suatu negara.
Kalaupun tak bisa unggul di lima sektor itu, setidaknya harus eksis di salah satunya. Kelima sektor teknologi adalah teknologi semikonduktor, teknologi penyimpanan energi, teknologi kuantum, bioteknologi, dan nanoteknologi.
Dalam rangka meraih kecepatan dan mengelola keanekaragaman, penulis akan menyoroti khususnya tentang teknologi kuantum dan bioteknologi. Ketika era teknologi kuantum terjadi, kekuatan dan kecepatan komputasi akan jauh melampaui komputasi klasik saat ini, bahkan bermiliar kali lipat kecepatannya dibanding supercomputer tercepat saat ini yang ada di Jepang.
Dengan kekuatan komputasi sehebat itu, akan banyak solusi teknologi untuk berbagai hal yang sebelumnya tidak bisa dihitung, diprediksi, dan dianalisis. Banyak bidang akan terdampak, seperti bidang komunikasi, pertahanan, energi, kesehatan, pertanian, keuangan, iklim dan kebencanaan, bahkan juga pola interaksi antarmanusia dan antarbangsa.
Saat ini, berbagai negara dan dunia industri berlomba mengejar keunggulan di bidang teknologi kuantum dengan mengalokasikan anggaran yang cukup besar. China pada 2017 mengumumkan pembangunan kawasan seluas 37 hektar untuk Laboratorium Ilmu Informasi Kuantum di Hefei. Anggarannya 11,5 miliar dollar AS untuk jangka waktu sepuluh tahun.
AS mengalokasikan anggaran 1,3 miliar dollar AS pada 2017, Uni Eropa 1,15 miliar dollar AS pada 2018 untuk jangka waktu sepuluh tahun, Inggris 350 juta dollar AS pada tahun 2013.
Potensi pasar global untuk teknologi kuantum sendiri, menurut data riset Business Wire, adalah 31,57 miliar dollar AS pada 2026. Dampak ekonomi pada sektor lainnya, memberikan peluang nilai pasar hingga ratusan miliar dollar AS.
Keunggulan ini tak akan pernah mampu disamai negara lain, karena kombinasi geografis darat dan laut Indonesia sangat unik.
Sementara pengembangan bioteknologi sangat penting untuk Indonesia karena potensi keunggulan keanekaragaman flora dan fauna terbesar di dunia yang dimilikinya. Keunggulan ini tak akan pernah mampu disamai negara lain, karena kombinasi geografis darat dan laut Indonesia sangat unik.
Jika setiap jenis pohon dan serangga adalah data bagi riset bioteknologi, di mana ketika dilakukan intervensi iptek menghasilkan item riset inovasi dan manfaat bagi manusia, maka Indonesia memiliki peluang untuk memberikan miliaran manfaat lebih banyak daripada negara lain.
Kompetisi global di bidang bioteknologi juga berlangsung dengan ketat, terlebih dipicu oleh masalah kesehatan global akibat pandemi Covid-19.
Sebagai contoh perbandingan, sepuluh besar pelaku industri bioteknologi terbesar dunia memiliki nilai pasar sebesar 45 miliar dollar AS. Negara-negara maju seperti AS, Perancis, Inggris, Jerman, dan Jepang memimpin dalam kompetisi inovasi bioteknologi. Sementara potensi nilai pasar global untuk bioteknologi, menurut riset Grand View Research di AS, adalah sebesar 2,4 triliun dollar AS pada tahun 2028.
Baca juga : BRIN Perlu Dukungan Politik dan Teknokratik dari Dewan Pengarah
Menegaskan arah bangsa
Seratus tahun Indonesia pada 2045 tinggal 24 tahun lagi. Sebuah periode waktu yang bisa jadi masih lama untuk ditempuh. Cukup disikapi dengan menjalankan kehidupan sosial masyarakat berdasarkan kebanggaan atas kejayaan masa lalu saja, sambil berharap kejayaan ini akan hadir kembali. Namun, 24 tahun adalah waktu yang singkat, berjarak satu generasi baru saja.
Penuh tantangan dan ketidakpastian sekaligus menghadirkan peluang membangun bangsa Indonesia dikagumi dunia. Ledakan disrupsi teknologi digital sebagai pemicu Revolusi Industri 4.0 dan momentum pandemi global menegaskan bahwa masa depan suatu negara kian ditentukan oleh kemampuannya dalam membangun iptek serta percepatan ekosistem inovasi.
Hal ini karena saat ini standar tatanan ekonomi, industri, sosial masyarakat sedang disusun ulang berbasis penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Indonesia perlu menegaskan kembali arah bangsa menyambut usia 100 tahun dengan strategi yang lebih cerdas untuk membangun knowledge-based nation (negara berbasis ilmu pengetahuan). Visi kebangsaan dan kepemimpinan politik menjadi semakin penting untuk menggerakkan berbagai hal esensial ini melampaui sekadar tetek bengek sensasional.
Budiman Sudjatmiko, Ketua Pelaksana Bukit Algoritma