Sebelum akhir tahun ini diharapkan sekolah sudah menerima hasil asesmen nasional. Ini akan menjadi acuan sekolah dalam menyusun program pembelajaran yang berkualitas selama satu tahun mendatang.
Oleh
ERI HENDRO KUSUMA
·4 menit baca
Di antara berbagai buku yang membahas tentang pendidikan, buku Yudhi Murtanto berjudul Sekolah Para Juara (2004) yang merupakan buku terjemahan dari karya Thomas Amstrong, berjudul Multiple Intelligences In The Classroom, termasuk yang paling menarik. Buku ini mengingatkan kita tentang pentingnya memahami kecerdasan yang dimiliki oleh setiap anak. Tidak ada anak ”bodoh”, karena setiap anak pasti memiliki salah satu kecerdasan yang menonjol. Karena itu, sekolah harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terkait cara belajar sesuai dengan keunikan seorang anak.
Gagasan dari Thomas Amstrong itu, saya kira sangat sesuai dengan tujuan dari kebijakan asesmen nasional (AN). Belakangan ini, beberapa sekolah telah selesai melaksanakan AN sebagai pengganti dari ujian nasional (UN). Berbeda dengan UN yang sekadar mengukur evaluasi penguasaan siswa terhadap materi di kurikulum nasional, maka AN ini lebih komprehensif karena meliputi Asesmen Kompetensi Minimum yang terdiri dari Literasi dan Numerasi, Survei Karakter, serta Survei Lingkungan Belajar
Perlu diketahui bahwa tidak semua siswa di sekolah menjadi peserta AN. Soal AN yang dikerjakan oleh siswa juga menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Jika jawaban siswa betul, tingkat kesulitan soal berikutnya juga semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, siswa juga akan mengerjakan survei karakter dan juga survei lingkungan belajar, sebagai bentuk evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran di lingkungan sekolah.
Untuk mendapatkan data yang lebih valid terhadap pembelajaran di lingkungan sekolah, kepala sekolah dan guru juga harus mengikuti kegiatan survei lingkungan belajar. Survei itu meliputi isian tentang pola manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah, metode pembelajaran yang dipakai oleh guru, keragaman peserta didik, nasionalisme, antiperundungan (bullying), toleransi terhadap SARA, dan kesetaraan jender.
Ada pertanyaan yang menarik pada saat saya mengikuti kegiatan survei lingkungan belajar. Pertanyaan tersebut adalah, ”Apakah Anda pernah melempar siswa dengan penghapus saat pembelajaran di dalam kelas?”
Sebuah fenomena yang mungkin sering dilakukan guru pada zaman saya saat masih menjadi siswa. Bukan hanya dilempar penghapus, tetapi juga ”dibedaki” penghapus papan tulis kapur pun saya juga pernah. Hal-hal seperti itu diharapkan tidak terjadi lagi pada saat proses pembelajaran di kelas berlangsung.
Keterlibatan kepala sekolah, guru, dan siswa dalam survei lingkungan belajar ini memang sangat penting. Semua komponen tersebut pada akhirnya harus saling mengevaluasi.
Guru menilai pola manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah, sebaliknya kepala sekolah juga mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Sesama guru juga saling mengevaluasi. Terakhir, siswa juga memberikan penilaian terkait kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru.
Perolehan data dari berbagai sumber tersebut, saya kira semakin menambah keaslian sebuah data. Akan tampak sekali jika ada data yang disampaikan oleh salah satu pihak secara tidak jujur. Misalnya, siswa menyatakan bahwa pernah melihat hukuman secara fisik yang dilakukan oleh guru, sedangkan pernyataan dari guru tidak pernah memberikan hukuman secara fisik kepada siswa. Hal demikian pada akhirnya akan menjadi catatan khusus bagi pihak sekolah untuk memperbaiki kondisi lingkungan belajarnya.
Menciptakan kondisi lingkungan sekolah yang ideal tentu bukan hal yang mudah. Ketersediaan infrastruktur, jumlah siswa di sekolah, ketersediaan anggaran, kondisi geografis, serta budaya masyarakat sangat memengaruhi bagaimana terciptanya kondisi pembelajaran ideal yang diharapkan sekolah.
Sekolah memang sudah seharusnya bertransformasi dari model tradisional menuju model kontekstual sesuai kebutuhan masyarakat. Kita juga harus sadar bahwa semakin hari kebutuhan masyarakat di dunia semakin kompleks. Sebagai contoh, sebelumnya kita mungkin tidak pernah berpikir akan melaksanakan pembelajaran ”tanpa ruang kelas”. Akan tetapi karena pandemi Covid-19 ini, kita akhirnya dipaksa untuk melakukan pembelajaran secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi.
Hasil yang dinanti
Saat ini setiap sekolah sedang menanti hasil AN. Bukan menanti hasil nilai yang diperoleh siswa, melainkan tentang laporan evaluasi kondisi pembelajaran secara menyeluruh yang dilakukan oleh sekolah. Hasil AN tahun ini akan menjadi acuan sekolah dalam menyusun program pembelajaran yang berkualitas selama satu tahun mendatang.
Pertanyaanya kemudian adalah kapan hasil AN itu akan diterima oleh sekolah? Harapannya, sebelum akhir tahun ini sekolah sudah menerima hasil dari AN. Dengan demikian, sekolah memiliki gambaran tentang program sekolah apa yang akan dipertahankan, diperbaiki, atau dibuat sesuai saran dan masukan data AN.
Menjelang akhir tahun seperti saat ini, sekolah sudah harus mulai menyusun Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah (RAKS) untuk satu tahun ke depan. Rekomendasi dari hasil AN saya kira harus dapat menjadi dasar dalam penyusunan RKAS itu.
Jangan sampai, hasil AN yang menjadi harapan sekolah untuk memberikan sebuah rekomendasi perbaikan kualitas pembelajaran, pada akhirnya hanya menjadi catatan sekolah yang tidak bisa diterapkan karena terlambat diterima oleh sekolah. Jika demikian yang terjadi, pelaksanaan AN kali ini akan menjadi sia-sia. Kalaupun tidak disebut sia-sia, harapan percepatan perbaikan kualitas pendidikan kita menjadi sedikit terhambat dan terlambat.