Kecakapan Membaca dan Implikasinya di Era Informasi
Persoalan literasi bahasa kita sejak dahulu adalah kecakapan membaca. Tanpa kecakapan berbahasa yang baik, kita tak akan mampu mengembangkan perangkat kognitif untuk mengolah dan menyiangi informasi dengan benar.
Oleh
YUYUN SULISTYAWATI
·4 menit baca
Selalu ada yang baru dan mengejutkan di Twitter. Eka Kurniawan, novelis Indonesia yang paling dikenal dunia internasional saat ini, terseret topik viral yang muncul dari cuitan ulang seorang pengguna Twitter.
Cuitan pengguna tersebut berisi tanggapan atas video wawancara seorang pekerja seks komersial yang memakai kutipan salah satu karya Eka Kurniawan sebagai pembenaran atas pilihan profesinya.
Ayu, nama samaran pekerja seks komersial tersebut, berkata bahwa semua perempuan pada dasarnya adalah pelacur; istri baik-baik pun ”menjual” tubuhnya demi mas kawin dan uang belanja, dan cinta, kalau ada. Perbedaan antara pelacur profesional dan perempuan lain hanya terletak pada bayaran yang mereka terima.
Pernyataan Ayu yang dicomotnya dari novel Cantik itu Luka tersebut memantik kemarahan seorang pengguna Twitter. Alih-alih mengkritisi sikap Ayu yang menjadikan novel sebagai tameng, dia malah menyerang Eka Kurniawan dengan bermodalkan setumpuk fallacy. Eka Kurniawan dituduh sebagai penjahat moral yang lahir dari keluarga bejat, dan dengan sungguh-sungguh dia menyarankan siapa pun untuk tidak bergaul dengan penulis tersebut.
Sulit membayangkan orang-orang menjauhi Eka Kurniawan seperti yang diperintahkan. Di sisi lain, interpretasi Ayu dan kemarahan pengguna Twitter tersebut membuka kembali persoalan lama nan genting yang tak kunjung menemukan solusi: kemampuan membaca masyarakat Indonesia yang rendah.
Minat membaca vs kecakapan membaca
Pada Maret 2016, Central Connecticut State University merilis peringkat literasi bertajuk World’s Most Literate Nations. Pemeringkatan ini berdasarkan aspek infrastruktur dasar semacam ketersediaan perpustakaan, akses pendidikan, ketersebaran buku bacaan, dan ketersediaan komputer. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei.
Tahun tersebut menjadi tahun yang sibuk bagi pemerintah dan para pegiat literasi baca. Sadar bahwa minat baca masyarakat sedang tidak baik-baik saja, pemerintah membuat program khusus bernama Gerakan Literasi Nasional yang bertujuan mendongkrak minat baca masyarakat Indonesia. Metode utamanya terdengar sederhana: membangun sebanyak mungkin perpustakaan umum.
Sejak tahun 2016, sangat mudah bagi kita untuk mendapati perpustakaan umum, entah itu perpustakaan jalanan atau pun perpustakaan yang dikelola BUMN. Andai pun masyarakat masih kesulitan mengakses perpustakaan-perpustakaan tersebut, kehadiran perpustakaan digital semacam iPusnas dan platform penerbitan daring mampu menambal kekurangan tersebut.
Boleh dibilang, akses kita menuju bahan bacaan nyaris tak terbatas sejak saat itu. Namun, apakah kemudahan akses membaca berbanding lurus dengan kemampuan membaca masyarakat?
Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 merilis hasil tes terhadap 600.000 pelajar berusia 15 tahun dari 72 negara. Tes yang meliputi kemampuan membaca, matematika, dan sains itu mengeluarkan skor 371 untuk kemampuan membaca pelajar Indonesia, terpaut jauh dari skor rata-rata yang mencapai 487. Skor PISA pelajar Indonesia pada tahun 2018 bahkan kalah dari skor tahun 2015 yang mencapai 396.
Dalam tes yang menjadi salah satu parameter mutu pendidikan nasional tersebut, pelajar Indonesia gagal dalam menentukan ide pokok suatu narasi, menemukan relasi antar-kalimat, dan membuat kesimpulan sederhana. Pelajar Indonesia, dalam ungkapan yang lebih sederhana, bertindak seperti mesin scanner: mereka hanya mampu memindai narasi hingga tamat tanpa memahami konteksnya.
Pencapaian pada tes PISA itu pun memunculkan pertanyaan: jika pelajar yang saban hari berjibaku dengan buku saja mempunyai kecakapan membaca yang buruk, maka bagaimana sesungguhnya kecakapan membaca generasi yang lebih tua yang telah lama melupakan bangku sekolah?
Menjadi zombi di era informasi
Tak ada yang keliru dengan minat dan akses membaca masyarakat Indonesia dewasa ini. Perpustakaan, baik luring maupun daring, boleh dibilang telah menyebar hingga ke perdesaan. Andai pun tak ada perpustakaan di suatu wilayah, masyarakat bisa memberdayakan gawainya dan menemukan bahan bacaan dalam jumlah yang melampaui harapan mereka.
Persoalan literasi bahasa kita sejak dahulu adalah kecakapan membaca dan tentu saja hal itu bukanlah persoalan sesederhana mengenali huruf atau menguntal sebanyak mungkin buku. Seseorang bisa saja memiliki perpustakaan pribadi dengan jumlah koleksi yang akan membuat menteri pendidikan berkecil hati, tetapi hal itu tak menjamin ia lebih cakap membaca daripada siswa SD.
Persoalan literasi bahasa kita sejak dahulu adalah kecakapan membaca.
Para ahli bahasa masih berdebat mengenai akar penyebab masalah literasi kita. Sebagian ahli berpendapat bahwa mutu bacaan yang rendah dan tidak sesuai segmen usia pembacanya adalah penyebab utamanya. Sebagian lagi berkata bahwa persoalannya lebih pelik daripada itu: karakteristik bahasa Indonesia yang manipulatif bersama sikap mental komunal yang terlalu mengagungkan buku menciptakan bias kognitif yang membuat pembaca, berapa pun usianya, tak mampu menjadi pembaca yang ”bersih”.
Apa pun pendapat para ahli bahasa dan kesimpulan apa pun yang nanti disepakati, kita tahu bahwa masalah literasi bahasa perlu ditangani segera. Telah cukup lama kita hidup di era informasi, suatu era yang memungkinkan kita mendapatkan informasi apa pun bahkan tanpa perlu mencarinya. Tanpa kecakapan berbahasa yang baik, kita tak akan mampu mengembangkan perangkat kognitif untuk mengolah dan menyiangi informasi yang datang dengan benar.
Mempertontonkan kebodohan diri sendiri, seperti yang terjadi dalam kasus perisakan Eka Kurniawan di Twitter adalah dampak kecil dari kegagalan seseorang dalam mengolah informasi. Kita tahu bahwa ada yang lebih buruk: kematian nalar kritis akibat dilamun lautan informasi untuk kemudian muncul kembali serupa zombi.
Hanya zombi yang memamah apa pun yang dijumpainya, dan tak ada yang dikeluarkannya selain teror kepada liyan.
Yuyun Sulistyawati
Guru Bahasa Indonesia SMK Negeri Sekar, Bojonegoro,