Duolog Tenggelamnya Jakarta
Mereka yang dibesarkan di Jakarta lebih dari 60 tahun hampir pasti akan berpendapat tak akan pernah semua bagian Jakarta terendam, apalagi tenggelam.
Charles Kingsley, pendeta merangkap guru besar sejarah-sosial Reformer, dari sebuah Universitas di Holne, Inggris, pada abad ke-19 menyampaikan hasil penelaahannya mengenai kebebasan.
Telaahan tersebut adalah sebagai berikut. ”There are two freedoms—The False, where a man is free to do what he likes; The True, where he is free to do what he ought…” Artinya, ”Ada dua macam kebebasan—Yang ”Salah”, di mana seseorang bebas melakukan apa yang ia sukai, dan Yang Benar, di mana ia bebas untuk melakukan apa yang seharusnya”.
Ahli di bidang geo-environmental engineering lebih menyukai istilah dikotomi atau ”pemahaman” yang terbelah menjadi dua: tidak betul Jakarta akan tenggelam, bahkan lebih dari sepuluh tahun kedepan, yang benar adalah sesuatu yang selalu terjadi puluhan tahun sebelumnya yaitu sebagian kecil-sedang dari kota Jakarta tergenang air di puncak musim hujan yang biasanya hanya berlangsung 12-36 jam.
Mereka yang dibesarkan di Jakarta lebih dari 60 tahun hampir pasti akan berpendapat tak akan pernah semua bagian Jakarta terendam, apalagi tenggelam. Apa pun skenario dramanya, mari kita luruskan pemahaman untuk kebenaran tadi. Mari kita dialog, bicara untuk satu pengertian, bukan duolog.
Mari kita dialog, bicara untuk satu pengertian, bukan duolog.
Penurunan tanah, bukan amblesan
Subsidence atau amblesan atau ambles adalah ”ambles mendadak” di mana permukaan eksisting berubah seketika menjadi kosong. Perubahan yang mendadak lebih banyak diakibatkan oleh aspek geologi, misalnya terbentuknya sinkhole yang di Negara Bagian Texas, AS, terbentuk akibat pengambilan minyak yang tersebar luas di kedalaman yang relatif dangkal.
Di Indonesia hal yang mirip terjadi di Dusun Tanah Takko, Desa Lebbo Tengae, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Selain itu, juga terjadi di Sukabumi, Jawa Barat; dan di Cipularang.
Sinkhole atau ruang kosong inilah yang menjadi pemicu amblesan tadi sehingga perizinan bangunan harus mengantisipasi hal tersebut. Ambles berarti meninggalkan lubang dan umumnya tidak terjadi di tanah lunak.
Beda dengan settlement atau penurunan tanah yang gradual, yaitu turunnya permukaan tanah yang terjadi perlahan-lahan dalam jangka waktu bertahun-tahun yang disebut konsolidasi sekunder. Fenomena inilah yang selama ini terjadi di sebagian kecil Jakarta.
Ahli geoteknik menyebut tanah amat lunak/lunak berperilaku tidak sebagai tanah biasa, di mana modulus elastisitas (E) yang berperan, tapi sebagai air kental di mana bukan viskositas yang dominan. Apa bedanya? Suhu, iklim, panas atau dingin dominan pengaruhnya pada tanah lunak/amat lunak.
Baca juga : Ancaman Tenggelamnya Kota-kota Pesisir di Indonesia
New York Times sempat menurunkan judul ”Jakarta is Sinking so Fast, It Could End Up under Water” yang diramalkan oleh Panel Ilmuwan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menenggelamkan Jakarta pada 2050. Ini keliru. Wartawan pasti ingat adagium ini: ”Jika anjing menggigit orang maka itu bukan berita, tapi bila orang menggigit anjing maka itu baru berita”. Pers lazim dan terbiasa mencari berita.
Sesungguhnya pernyataan Presiden AS Joe Biden di depan kantor direktur intelijen nasional pada 27 Juli 2021 hanya berupa kalimat pertanyaan berikut: ”What happens in Indonesia if the Projections are correct that in the next 10 years they may have to move their capital because they are going to be under water?” (Apa yang akan terjadi di Indonesia jika proyeksi-proyeksi itu benar bahwa dalam 10 tahun mendatang mereka mungkin harus memindahkan ibukotanya karena tenggelam?").
Pelapukan, bukan penurunan
Mengapa kita dengan mudah mengidentikkan penurunan ketinggian suatu bukit dengan penurunan tanah di bawah bukit? Bukit melapuk dan berkurang ketinggiannya disebabkan oleh pelapukan akibat perubahan cuaca, panas dan dingin. Tanah yang terdiri dari elemen padat, rongga, dan air akan turun apabila elemen padatnya kecil dengan rongga yang amat besar dan penuh berisi air.
Inilah yang disebut tanah amat lunak. Tak ada hubungan antara pelapukan di ketinggian bukit akibat pergantian cuaca yang ekstrem dari dingin ke panas dengan perilaku tanah amat lunak yang disebut oleh ahli tanah lunak dari Jepang, Mononobe-Okabe (1926, 1929). Dalam hasil risetnya, Mononobe-Okabe menyebut tanah amat lunak, lunak sebagai air yang kental, viskositas yang relevan, bukan modulus elastisitas E.
Ahli geoteknik mengetahui creep (rangkak), sedangkan ketinggian pada bukit batuan berkurang akibat pelapukan. Itulah sebabnya, semua hasil pengukuran pengindraan jarak jauh dengan menggunakan satelit tak bisa otomatis disimpulkan sebagai penurunan tanah daratan yang kita pijak. Batuan melapuk karena panas matahari dan hujan atau proses alterasi dan fraksinasi, sedangkan tanah turun karena beban atau konsolidasi primer, sekunder, dan rangkak.
Air turun karena digunakan oleh manusia, air naik karena diisi air hujan.
Kasus Hotel Sanno yang miring di tahun 1992 dan kemudian diperintahkan oleh Pemerintah Provinsi DKI untuk dirobohkan segera, ambruknya subkompleks pertokoan antara Gedung Sarinah dan Menara Jakarta serta didongkraknya Gedung Sarinah akibat penurunan, atau turunnya jalan penghubung menuju Bandara Soekarno Hatta di dua arah (section) hingga sekitar 2.00 meter dan banyak lagi lainnya, adalah kekeliruan perencanaan yang menganggap tanah amat lunak adalah tanah, bukan air kental. Dua hal yang kelakuannya jauh berbeda hingga 100 persen.
Turun-naiknya muka air tanah di Kecamatan Grogol Petamburan menunjukkan perilaku tipikal naik turunnya muka air tanah seluruh tempat di Jakarta. Air turun karena digunakan oleh manusia, air naik karena diisi air hujan. Di sini berlaku hukum air/prinsip fisika dari Lavoisier Antoine Laurent, penerima Nobel bidang fisika, yaitu ”Rien ne se perd, rien ne se cree” yang artinya no water is destroyed, but none is generated either.
Tanah di sekitar Gedung Sarinah di Jalan Thamrin hampir setiap musim hujan sejak tahun 1960-an direndam air di musim hujan bulan Januari dan Februari. Anak-anak di sekitar kampung yang berdekatan ikut membantu mendorong mobil yang mogok karena terendam air hingga sekitar 1.00 meter dan seperti biasanya mendapat uang dari bantuan tersebut.
Secara geoteknik, Gedung Sarinah terletak di burried-valley (lembah terkubur) yang dihuni tanah lunak—amat lunaknya mencapai lebih dari 12 meter. Konstruksi jalan aspal yang lama ada sekitar 6 meter di bawah permukaan tanah. Ahli Geoforensik menyebutnya sebagai akibat konsolidasi sekunder atau rangkak (creep). Gedung Sarinah sendiri mengalami pendongkrakan hingga dua kali dan ini dilakukan oleh ”ahli” yang semula merencanakan.
Hasil riset oleh ahli tanah lunak di Jepang menyebutnya sebagai air yang kental, bukan tanah yang lunak, di mana daya dorong lateral aktifnya mencapai hingga dua kali lipat dari tanah biasa. Artinya, faktor keamanan yang biasa digunakan sebesar 1,25-1,50 amat keliru karena seharusnya identik dengan 2,50-3,00 karena tanah ini dianggap sebagai ”bubur kental” yang mengalir, bukan lagi tanah yang lunak. Karena perencana mendesain fondasinya keliru, setelah beroperasi beberapa tahun, dua lapis toko penghubung antara Gedung Sarinah ambruk.
Menurut definisi: genangan air secara normal hanya memiliki tinggi kurang dari 40 sentimeter, berbeda dengan banjir yang memiliki ketinggian air sementara lebih besar dari 40 sentimeter atau 1,00-2,00 meter.
Istilah banjir bandang terjadi saat hujan turun terus-menerus, di mana kemampuan tanah residual/sedimen menyerap air (permeability) berbeda hingga ribuan kali dengan kecepatan turunnya hujan (Desember-Februari). Di Jakarta Selatan pun, misalnya di Kawasan Kemang, genangan sungai yang meluap karena kiriman air yang terhambat sampah di hilir akan mengakibatkan genangan air sementara.
Tenggelam, singkat kata, adalah masuk terbenam ke dalam air. Limpasan adalah bagian curah hujan yang mengalir di sungai atau saluran secara berlebihan sehingga keluar menggenangi sementara wilayah di sekitarnya.
Chaidir Anwar Makarim
Guru Besar Geoteknik-Lingkungan, Universitas Tarumanagara Jakarta