Krisis listrik dan energi yang melanda sejumlah negara akhir-akhir ini juga menjadi pelajaran dalam mengelola transisi energi secara berkelanjutan. Transisi energi kelistrikan harus dikelola menjadi bagian kemandiraan.
Oleh
EKO SULISTYO
·5 menit baca
Hari Jadi Ke-76 Perusahaan Listrik Negara tahun ini ditandai dengan dua peristiwa penting, yakni terselenggaranya Pekan Olahraga Nasional XX Papua dan terbitnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030.
Dalam PON XX di Papua, PLN memberikan kontribusi dalam menyediakan listrik yang andal. Terutama saat upacara pembukaan, PLN menyiapkan sistem zero down time area atau layanan listrik tanpa kedip di area tertentu. Sistem kelistrikan tanpa kedip pernah sukses diterapkan di Jakarta dan Palembang saat penyelenggaraan Asian Games 2018.
Untuk memastikan keandalan listrik selama PON XX Papua, PLN telah meningkatkan kompetensi petugasnya pada empat arena pertandingan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Timika, dan Merauke. Kesuksesan PON XX Papua memberikan kebanggaan tersendiri mengingat masih ada wilayah di Papua yang belum teraliri listrik.
Peristiwa penting kedua adalah disahkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 sebagai pedoman penyediaan tenaga listrik untuk PLN oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021. Dalam RUPTL ini, komposisi energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit ditetapkan 51,6 persen, lebih besar dari energi fosil sebesar 48,4 persen. Wajar jika muncul narasi green atau greener pada RUPTL PLN 2021-2030.
Diproyeksikan mulai 2028, pembangkit EBT akan mengalami peningkatan besar-besaran seiring dengan kemajuan teknologi baterai yang semakin murah.
Transisi energi ke EBT
Upaya memperbesar pembangkit EBT dalam RUPTL adalah konsistensi Indonesia untuk memenuhi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) 2015 dan berperan aktif mengurangi emisi karbon. Di tengah ekonomi global yang bergerak menjauh dari batubara untuk menekan emisi karbon, PLN telah menyusun peta jalan menuju netral karbon 2060 yang menargetkan phase out batubara diganti EBT pada 2056.
Diproyeksikan mulai 2028, pembangkit EBT akan mengalami peningkatan besar-besaran seiring dengan kemajuan teknologi baterai yang makin murah. Kemudian, pembangkit EBT akan mengalami kenaikan secara eksponensial mulai 2040 dan sudah mendominasi total pembangkit pada 2045. Pada dekade berikutnya, semua pembangkit listrik di Indonesia berasal dari EBT.
Secara bertahap, mulai tahun ini sampai 2025, PLN akan mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) dengan pembangkit EBT baseload sebesar 1,1 gigawatt (GW).
Dilanjutkan pada 2030, PLN akan memensiunkan PLTU subcritical tahap pertama sebesar 1 GW dan tahap kedua pada 2035 memensiunkan PLTU subcritical sebesar 9 GW. Pada tahap ketiga 2040, memensiunkan PLTU supercritical 10 GW. Pada tahap terakhir 2045-2056, PLTU ultra-supercritical sebesar 25 GW juga akan dipensiunkan.
Skenario ini didasarkan pada market size utility di 2060 sebesar 1.800 terawatt hour (TWh). Luncuran dari Proyek 35 GW yang dirancang pada 2015 yang masih didominasi bahan bakar fosil sebesar 120 TWh atau 21 GW. Dengan produksi energi nasional per hari ini sebesar 300 TWh, diproyeksikan akan ada kesenjangan sebesar 1.380 TWh atau sekitar 230 GW, yang akan diisi oleh pembangkit EBT.
Pemenuhan target energi bersih oleh PLN yang bersumber dari EBT adalah realistis. Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 GW. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, potensi tersebut berasal dari arus laut samudra sebesar 17,9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW.
Pilihan transisi secara bertahap oleh PLN, selain didasarkan pada inovasi teknologi, juga faktor investasi dan kepentingan pembangunan nasional. Transisi yang cepat dari tenaga termal yang dominan ke EBT, tidak hanya dapat mengancam ketahanan energi nasional, tetapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi. Ini jelas bukan perkara mudah bagi PLN, apalagi kapasitas pembangkit listrik termal masih akan dominan sampai 2030.
Krisis listrik dan energi yang melanda sejumlah negara akhir-akhir ini juga menjadi pelajaran dalam mengelola transisi energi secara berkelanjutan. Transisi energi kelistrikan harus dikelola menjadi bagian dari kemandirian dan ketahanan energi. Sekaligus harus dioptimalkan untuk pembangunan ekonomi, penciptaan nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja.
Krisis listrik dan energi yang melanda sejumlah negara akhir-akhir ini juga menjadi pelajaran dalam mengelola transisi energi secara berkelanjutan.
Surplus daya listrik
Selain transisi ke EBT dan pencapaian nol emisi karbon (net zero emission), tantangan PLN saat ini adalah mengatasi kelebihan kapasitas (overcapacity). Hal ini disebabkan oleh tidak terjadinya keseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) sehingga menyulitkan PLN untuk mendapatkan margin keuntungan yang wajar.
Situasi surplus daya listrik ini telah menjadi salah satu yang memperlambat akselerasi EBT intermittent seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan PLTB (angin) dalam sistem kelistrikan nasional.
Surplus daya ini juga sangat berpengaruh terhadap arus kas perusahaan setrum negara, mengingat kontrak jual beli tenaga listrik dengan produsen swasta (IPP) melalui skema take or pay. Artinya, PLN diwajibkan menyerap listrik yang dihasilkan oleh IPP dalam jumlah tertentu dari kapasitas pembangkit.
Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 juga menyebabkan turunnya konsumsi listrik dan menambah surplus produksi meskipun pada kuartal ketiga tahun ini tanda pemulihan ekonomi sudah terasa dengan meningkatnya kembali konsumsi listrik. Bahkan, pada 14 Oktober lalu, dalam catatan PLN, beban puncak listrik Jawa Bali telah mencetak rekor tertinggi sejak 2019.
Untuk mengatasi kondisi kelebihan pasokan ini, strategi PLN adalah meningkatkan permintaan (demand) akan listrik agar pertumbuhan listrik dapat diserap oleh PLN dengan meningkatkan permintaan listrik, baik oleh pengguna baru maupun pengguna lama.
Di antaranya dengan berperan aktif membangun ekosistem kendaraan listrik, menangkap peluang captive power dan mendorong pertumbuhan kelistrikan untuk sektor pertanian, perikanan, perkebunan, melalui program Electrifying Agriculture. Pembatasan captive power yang dapat dialihkan ke PLN akan meningkatkan penjualan listrik.
Tentu masih banyak terobosan PLN untuk meningkatkan kinerja perusahaan dalam menjawab tantangan disrupsi.
Captive power dapat didefinisikan sebagai pasokan listrik yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan yang digunakan sendiri. Perusahaan dapat merujuk pada perusahaan tunggal, atau kawasan industri yang menghasilkan listrik untuk dijual kepada penyewa.
Tentu masih banyak terobosan PLN untuk meningkatkan kinerja perusahaan dalam menjawab tantangan disrupsi. Melalui empat pilar inovasi, Green, Lean, Innovative, dan Customer Focused, PLN berupaya meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan, mengadakan listrik andal dan efisien, perluasan sumber pendapatan baru, dan menjadikan PLN pilihan nomor satu pelanggan. Kemudian, sesuai mandat PLN menerangi negeri, adalah mencapai target elektrifikasi 100 persen pada 2022.