G-20 dan Tata Kelola Ekonomi Global
Agenda presidensi Indonesia harus mampu menyelaraskan agenda global dengan prioritas domestik sehingga dua tujuan sekaligus dapat dicapai.
Untuk pertama kalinya, Indonesia akan memegang posisi keketuaan (presidensi) di G-20 pada tahun depan. Menjadi presidensi G-20 mencerminkan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia untuk mengarahkan pembahasan isu-isu terkini yang sangat penting dalam menentukan arah tata kelola ekonomi global.
Dalam konteks G-20, peran penting tersebut diterjemahkan oleh presidensi melalui penyusunan agenda pembahasan (agenda setting) yang akan didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan mulai dari tingkat kelompok kerja hingga tingkat kepala negara/pemerintahan (konferensi tingkat tinggi/KTT).
Lantas apa signifikansi presidensi G-20 ini bagi kita?
G-20, yang beranggotakan 19 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar dan Uni Eropa, bertujuan untuk mengoordinasikan kebijakan dalam mencapai stabilitas ekonomi global dan pertumbuhan yang berkelanjutan, mempromosikan reformasi sektor keuangan untuk memitigasi risiko dan mencegah krisis keuangan, serta menciptakan arsitektur keuangan internasional baru (G20 Leaders’ Statement 2011).
Menurut Hajnal (2019), G-20 telah menjelma menjadi aktor utama tata kelola ekonomi global pascakrisis keuangan global 2008, terutama sejak KTT G-20 di Pittsburg tahun 2009. Kesepakatan-kesepakatan G-20 memandu reformasi ekonomi dan keuangan di level domestik dan global.
Kesepakatan-kesepakatan G-20 memandu reformasi ekonomi dan keuangan di level domestik dan global.
Perkembangan agenda G-20
Pembahasan dalam G-20 terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Di awal pendirian G-20 pada 1999 yang masih dalam level menteri keuangan dan gubernur bank sentral, pembahasan G-20 lebih berfokus pada pencegahan dan resolusi krisis, globalisasi, pembangunan, demografi, dan bantuan pendanaan.
Dalam perjalanannya, G-20 juga merespons shock non-ekonomi, seperti serangan teroris 11 September 2001, melalui kacamata kerja sama keuangan, yaitu memerangi pendanaan terorisme.
G-20 pertama kali melakukan pertemuan tingkat kepala negara/pemerintahan (KTT) pada 2008 saat merespons krisis keuangan global dan membangun kembali fondasi tata kelola ekonomi global untuk memastikan krisis serupa tidak terulang lagi. KTT tersebut membuat G-20 semakin strategis dalam memandu tata kelola ekonomi global.
Baca juga : Presidensi G-20 dalam Pemulihan Ekonomi Dunia
Pada periode 2008-2012, G-20 fokus menangani krisis keuangan global, reformasi sektor keuangan, dan pemulihan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari fokus agenda masing-masing presidensi.
KTT Washington (2008) menghasilkan 47 butir rencana aksi (action plan) untuk reformasi regulasi sektor keuangan jangka menengah. KTT London (2009) menyepakati stimulus 1,1 triliun dollar AS, membentuk Financial Stability Board (FSB) untuk memperkuat arsitektur keuangan global, serta mereformasi Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Regional.
KTT Pittsburgh (2009) menghasilkan komitmen reformasi sistem keuangan internasional yang lebih berdaya tahan serta regulasi sektor keuangan yang lebih ketat bagi hedge funds dan lembaga pemeringkat utang (rating agencies).
KTT Toronto (2010) berfokus pada pemulihan ekonomi pascakrisis keuangan global, kesinambungan fiskal, dan reformasi struktural untuk mendorong investasi.
KTT Seoul (2010) menghasilkan kerangka kerja bagi pertumbuhan ekonomi global yang kuat, seimbang, berkelanjutan, serta membentuk Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI) sebagai platform untuk mempromosikan inklusi keuangan.
KTT Cannes (2011) meluncurkan Action Plan for Growth and Jobs untuk memandu kebijakan ketenagakerjaan dan perlindungan sosial. KTT Los Cabos (2012) mengeluarkan Accountability Framework untuk memastikan efektivitas implementasi atas komitmen-komitmen kebijakan pertumbuhan G-20.
Pada periode 2013-2019, agenda G-20 fokus pada reformasi tata kelola ekonomi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif.
Di antara output atau deliverables terpenting ialah rencana aksi bagi pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, dan seimbang (2013); investasi infrastruktur untuk pertumbuhan (2014); reformasi perpajakan melalui adopsi G20/OECD Base Erosion and Profit Shifting (2015); rencana aksi bagi pertumbuhan yang pro-inovasi dan rencana aksi untuk Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 (2016); kerangka kerja sama global dalam mengatasi pemanasan global, proteksionisme, dan terorisme (2017); future of work, reformasi WTO, dan infrastruktur sebagai kelas aset (2018); serta investasi infrastruktur berkualitas, jaminan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC), dan digitalisasi ekonomi dan inovasi keuangan (2019).
Menghadapi krisis global akibat pandemi Covid-19, presidensi G-20 Arab Saudi (2020) dan Italia (2021) fokus pada penanganan pandemi. Melalui spirit multilateralisme, G-20 mampu mengoordinasikan kebijakan-kebijakan penanganan Covid-19 dan upaya pemulihan ekonomi. G-20 dengan sangat sistematis melakukan ini serta memonitor implementasinya melalui rencana aksi G-20 yang terus diperbarui secara berkala.
G-20 mempromosikan vaksin sebagai global public good dan memastikan semua negara dapat mengakses vaksin secara adil, merata, dan terjangkau. Melalui The Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator (ACT-A), G-20 mendorong kolaborasi dalam pengembangan, produksi, dan akses terhadap vaksin serta peralatan tes dan terapi.
Adapun COVAX adalah pilar vaksin dari ACT-A yang dipimpin bersama oleh Gavi, CEPI, dan WHO dalam rangka akselerasi pengembangan dan produksi vaksin serta mendukung akses terhadap vaksin bagi semua negara. Melalui COVAX, pada 2021 dan 2022 akan didistribusikan 1,8 miliar dosis vaksin bersubsidi penuh bagi negara berpendapatan rendah.
Baca juga : G-20, Indonesia, dan Remitansi
Mengingat pandemi Covid-19 sebagai krisis kesehatan yang telah menyebabkan terjadinya krisis ekonomi global, G-20 juga mengoordinasikan kebijakan ekonomi negara-negara sehingga kebijakan ekonomi negara-negara terkoordinasi dan harmonis.
Negara-negara G-20 melakukan langkah-langkah luar biasa dalam merespons pandemi, baik dari sisi fiskal, moneter, maupun sektor keuangan.
Efektivitas G-20
Karakteristik unik yang dimiliki oleh G-20 telah menjadikan platform kerja sama internasional ini sarana yang efektif dalam memandu tata kelola ekonomi global. Pertama, G-20 memberikan fleksibilitas dan kelenturan dalam merespons berbagai perkembangan ekonomi global karena sifatnya yang informal (Kathuria dan Kukreja, 2019).
Fleksibilitas yang dimiliki G-20 berbeda dengan lembaga formal seperti PBB yang sangat terikat dengan formal treaty. Oleh sebab itu, G-20 menjadi sangat adaptif dalam menyediakan kerangka pembahasan agenda tata kelola ekonomi global yang solutif dan akomodatif berbasis konsensus.
G-20 telah menghasilkan 457 komitmen tata kelola ekonomi global, di mana pada setiap KTT dihasilkan 20-40 komitmen.
Kedua, tingkat kepatuhan (compliance) yang tinggi dari anggota G-20 terhadap komitmen yang dihasilkan. Wang (2018) melakukan studi mengenai jumlah komitmen tata kelola ekonomi global yang dihasilkan oleh G-20 dari 2008 hingga 2017 serta tingkat kepatuhan atas komitmen-komitmen tersebut.
G-20 telah menghasilkan 457 komitmen tata kelola ekonomi global, di mana pada setiap KTT dihasilkan 20-40 komitmen. Dengan menggunakan sampel 28 komitmen, Wang menemukan bahwa tingkat kepatuhan atas komitmen tata kelola global G-20 mencapai 80 persen. Angka 80 ini tentunya menunjukkan efektivitas agenda-agenda global G-20.
Ketiga, tingginya komitmen kepala negara/pemerintahan dalam membahas agenda tata kelola ekonomi global. G-20 dipandang cukup efektif dalam merespons berbagai gejolak dan krisis ekonomi global atau jadi crisis responder, seperti krisis keuangan global 2008 dan krisis ekonomi akibat pandemi saat ini.
Menghadapi krisis keuangan global 2008, di mana berbagai lembaga multilateral tak dapat merespons dengan mencukupi, komitmen kepala negara/ pemerintahan untuk memprioritaskan aspek ekonomi dan keuangan menjadikan G-20 sangat gesit (agile) dalam mengoordinasikan kebijakan global melalui berbagai kebijakan-kebijakan makroekonomi dalam rangka stabilisasi ekonomi global, dan selanjutnya memandu pemulihan ekonomi pascakrisis.
Melalui kemampuan mengorkestrasi pemulihan ekonomi pascakrisis ini, G-20 telah pula menjadi steering committee dari perekonomian global (Kathuria dan Kukreja, 2019).
Signifikansi presidensi Indonesia
Lini masa peran G-20 yang semakin penting inilah yang menjadi pijakan bagi signifikansi presidensi Indonesia di G-20. Keanggotaan Indonesia dalam G-20 merupakan salah satu tonggak penting sejarah diplomasi Indonesia untuk terus berperan aktif dalam kerja sama internasional, sejalan dengan amanat konstitusi.
Presidensi Indonesia tahun depan akan meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu emerging markets yang memiliki peran strategis.
Peran aktif dalam kerja sama internasional tak terlepas dari komitmen Indonesia terhadap agenda-agenda global yang tentunya memiliki potensi dampak bagi kondisi domestik Indonesia.
Presidensi Indonesia tahun depan akan meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu emerging markets yang memiliki peran strategis. Presidensi ini akan memberikan kesempatan kepada Indonesia memperkuat diplomasi guna mendukung kepentingan nasional dan mendorong kerja sama global yang lebih kuat.
Agenda presidensi Indonesia harus mampu menyelaraskan agenda global dengan prioritas domestik sehingga dua tujuan sekaligus tercapai: peranan kepemimpinan dalam agenda global dan optimalisasi manfaat dari presidensi bagi pembangunan dan reformasi domestik, termasuk dalam mendukung pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Melalui presidensi Indonesia, semangat kerja sama global yang saling mendukung tecermin paripurna dalam tema ”Recover together, recover stronger”. Hanya dengan bekerja sama, kita akan pulih bersama dengan lebih kuat.
Suminto, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal/G-20 Finance Deputy 2019-2021