Guru Aktor Perekat Bangsa
Guru yang memelopori gerakan kemerdekaan bangsa 100 tahun lalu. Guru pula yang melanjutkan gerakan merawat dan merekatkan persatuan Indonesia.
Thomas Friedman mengungkapkan keprihatinan terhadap munculnya tribalisme di negaranya, Amerika Serikat.
Dalam artikel di The New York Times (NYT, 14/9/2021), penulis The World is Flat dan kolumnis NYT itu menyesalkan negara adikuasa, seperti AS, yang semula berambisi menjadikan negara-negara Timur Tengah (Timteng) menghargai keberagaman dan menghormati hukum sipil justru sudah berubah dan makin menjadi seperti Timteng.
Menurut Friedman, keterbelahan Sunni-Syiah di Timteng sudah ditiru masyarakat AS dalam tribalisme Demokrat dan Republikan yang sudah membelah warga dalam permusuhan dan kebencian satu sama lain.
Situasi keterbelahan kadang kala juga terasa di Indonesia, terutama mendekati pemilu. Polarisasi berdasarkan pilihan politik memanas di ruang publik, secara luring maupun daring. Gorengan politik merobek rasa persatuan ketika polarisasi ini membenturkan kelompok berdasarkan identitas primordial. Pemilu hanya terjadi sekejap, tetapi ongkos sosial-politis jadi sangat mahal dan mempertaruhkan keutuhan bangsa.
Situasi keterbelahan kadang kala juga terasa di Indonesia, terutama mendekati pemilu.
Harapan pada guru
Kode kebangsaan yang membentuk ke-Indonesia-an dicetuskan pada deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dua dekade sebelum Kemerdekaan RI. Yudi Latif mencatat kaum guru yang memelopori pembentukan ruang-ruang publik modern sejak akhir abad ke-19.
Sebagai intelektual baru, guru mengemukakan konsep ”kemajuan” sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Gagasan kemajuan dan kritik kaum guru diartikulasikan dalam ruang publik melalui media cetak dan berbagai perkumpulan yang mereka dirikan, seperti Soeloeh Pengadjar (sejak 1887) dan Taman Pengadjar (sejak 1899), beserta perkumpulan guru yang paling berpengaruh, Mufakat Guru.
”Pada tingkat embrional, pergerakan kaum gurulah yang membuka jalan bagi kebangkitan nasional yang mendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia” (Pendidikan yang Berkebudayaan, 2020).
Bagaimanakah situasi para guru saat ini? Lebih dari satu abad kemudian, sangat membanggakan ketika kesadaran untuk merawat kebinekaan masyarakat dalam bingkai persatuan bangsa Indonesia sudah bertumbuh di kalangan guru. Tampaknya titik jengah terhadap sikap dan perilaku intoleransi dan ekstremisme sudah muncul dalam nurani guru.
Di Jawa Timur, sebagian guru membentuk Forum Guru yang menggagas gerakan pencegahan ekstremisme dan radikalisme di lingkungan sekolah dan melaksanakan kegiatan-kegiatan penguatan jaringan antarpemangku kepentingan. Pada salah satu kegiatan yang diadakan daring oleh para guru dan Pusat HAM Surabaya, 20 September 2021 dan 2 Oktober 2021, beberapa guru mengungkapkan kejengahan menghadapi narasi antitoleransi yang diluncurkan di dalam lingkaran media sosial.
Ungkapan-ungkapan radikal dirasakan kurang menghargai perbedaan, mengingkari sejarah perjuangan merebut kemerdekaan dan membangun bangsa yang melibatkan para pejuang dari berbagai latar belakang suku, etnik, agama, dan kelas. Lebih parah lagi, gerakan radikalisme yang mengarah pada kekerasan mengabaikan kebutuhan melibatkan semua elemen bangsa untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sebagian guru lain juga mengutarakan kecemasan terhadap disintegrasi bangsa jika narasi-narasi radikal dibiarkan berkembang liar. Yang menggembirakan, keprihatinan para guru ini sudah menggugah kesadaran dan membangun keberanian guru untuk mengungkapkan kontranarasi dan membangun jejaring untuk menghargai keanekaragaman dan merawat persatuan Indonesia.
Bahkan para guru dalam forum ini sudah melangkah pada tindakan konkret penyusunan indikator pencegahan ekstremisme di lingkungan sekolah.
Modal sosial, kultural, dan intelektual guru
Prasyarat bagi tercapainya Profil Pelajar Pancasila adalah ketersediaan guru yang berjiwa dan berkomitmen Pancasila. Guru punya peran sentral.
Terlepas dari berbagai keterbatasan dan ekses, adagium guru digugu lan ditiru masih berlaku, terutama pada jenjang pendidikan usia dini dan dasar. Guru punya modal sosial kultural untuk memberi contoh, kode, dan tolok ukur perilaku berkebangsaan di lingkungan sekolah.
Beberapa tindakan oknum pendidik yang telah mencederai rasa keadaban publik belakangan ini menjadi viral di media sosial. Tindakan-tindakan itu telah melanggar kode etik guru karena tak menghargai martabat peserta didik dan menafikan realitas keragaman suku, ras, dan agama yang sudah membentuk kode ke-Indonesia-an.
Baca juga : Peran Guru Memajukan Indonesia
Migrasi penduduk antarprovinsi seharusnya bisa mendorong para penguasa dan pendidik di daerah untuk membuka wawasan dan mengubah pola pikir dan berinteraksi yang lebih berbudaya. Fanatisme berkedok menjaga kekhasan daerah menodai kode kebangsaan dan menghambat kemajuan di masa depan karena keberagaman dalam kehidupan sudah menjadi keniscayaan umat manusia dan alam semesta.
Guru juga punya modal intelektual untuk menjadi pembawa terang dalam kegelapan dan kesesatan berpikir yang disebarkan oleh pengusung narasi kebencian dan ekstremisme. Narasi-narasi ini sebenarnya sangat mudah dibongkar dan dipatahkan melalui penggunaan akal budi manusia. Keterampilan berpikir tingkat tinggi dan berpikir kritis perlu terus dikembangkan di kalangan guru dan peserta didik.
Jejaring pemegang kepentingan
Tentu saja upaya pencegahan ekstremisme dan radikalisme bukan hanya urusan para guru, melainkan multipihak. Untuk memelihara kehidupan masyarakat yang rukun, aman, tenteram, damai, dan sejahtera, Provinsi Jawa Timur telah menerbitkan Perda No 8/2018 tentang penyelenggaraan toleransi kehidupan bermasyarakat.
Tentu saja upaya pencegahan ekstremisme dan radikalisme bukan hanya urusan para guru, melainkan multipihak.
Yang menggembirakan, terbentuknya Forum Guru mendapat respons dan dukungan dari multi-pemegang kepentingan. Guru menjadi aktor perekat berbagai pemangku kepentingan dan aktor perekat dengan masa depan bangsa lewat anak didik.
Forum Guru yang digagas di Jawa Timur sudah tiba pada titik kesadaran untuk terus membangun dan merawat kebangsaan melalui pendidikan dan kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai luhur budaya sesuai konsepsi Ki Hajar Dewantara untuk mengantar anak-anak Indonesia menjadi pemimpin ”bangsa bahagia-mulia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Tentu kita berharap gerakan ini bisa juga menyebar ke daerah lain di seluruh Indonesia. Guru yang memelopori gerakan kemerdekaan bangsa 100 tahun lalu. Guru pula yang melanjutkan gerakan merawat dan merekatkan persatuan Indonesia.
Anita Lie, Guru Besar FKIP Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya