Kita membutuhkan mantra bangsa yang cerdas dan bisa menggelorakan dan menggerakkan semangat semua pihak, terutama kaum muda, sebagaimana pekik ”Merdeka!” pada masa pra dan awal kemerdekaan.
Oleh
JOHANES EKA PRIYATMA
·5 menit baca
Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari bangsa kita ketika menyadari bahwa meskipun kita memiliki segalanya, kesejahteraan umum belum terwujud. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, wilayah yang luas, penduduk yang banyak dan kreatif, serta iklim yang ramah, kita juga telah memakai sistem politik dan tata negara modern yang menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi. Namun, angka kemiskinan kita masih tinggi, kualitas pendidikan kita masih rendah, serta infrastruktur fisik yang menjadi kebutuhan publik dan industri masih jauh dari memadai. Dibandingkan dengan negara tetangga yang jauh lebih muda, kita tertinggal.
Sesuatu yang hilang tersebut adalah daya gerak bangsa yang menggelorakan semua pihak. Daya gerak ini bukan pertama-tama sebuah perintah atau undang-undang. Daya gerak ini adalah sesuatu yang dapat menghipnotis sebagian besar komponen bangsa untuk mewujudkannya. Kita seolah kehilangan musuh bersama yang nyata sebagaimana kita miliki pada jaman penjajahan. Daya gerak itu bukan hanya akan menjadi magnet yang menarik hati semua pihak, melainkan juga bagai mesin besar yang mendorong semua pihak untuk serempak maju.
Sesuatu yang hilang tersebut mungkin hanya berupa kata. Namun ini bukan sebarang kata dan bukan semata kata yang indah. Kata ini hanyalah ekspresi dari sebuah spirit yang menggelora, menggerakkan, sekaligus menggairahkan. ”Merdeka” adalah contoh kata dengan daya gerak dasyat itu.
Di era prakemerdekaan dan tahun-tahun awal kemerdekaan, kata ini telah menjadi magnet raksasa yang menawan hati semua pihak dan menjadi energi dahsyat keberanian melawan penjajah bersenjata mesin. Semboyan ”Merdeka atau mati!” akhirnya menjadi mantra sakti sebab merdeka menjadi perkara hidup dan mati.
Bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia adalah mantra sakti lain yang kita miliki jauh sebelum kemerdekaan. Sumpah pemuda itu telah berhasil menggelorakan, menggerakkan, dan mengobarkan semangat persatuan dan kesenasiban. Sumpah pemuda ini luar biasa dampaknya kalau kita menyadari bahwa di tahun 1928 masyarakat masih berjuang sendiri-sendiri dan belum ada teknologi komunikasi yang canggih seperti sekarang.
Sumpah pemuda itu telah berhasil menggelorakan, menggerakkan, dan mengobarkan semangat persatuan dan kesenasiban.
Kata-kata lain yang telah menjadi energi bangsa meskipun belum sebanding dengan kata merdeka adalah revolusi, reformasi, dan pembangunan. Pada era Presiden Soeharto, kata stabilitas telah menjadi rujukan konkret nan jelas bagi semua pejabat dalam mengambil kebijakan dan mengelola kegiatan.
Meskipun terjadi di luar negri, kita mengakui kedasyatan kata swadesi ciptaan Gandhi ataupun glasnost dan perestroika yang diluncurkan oleh Mikhael Gorbachev.
Swadesi telah menggerakkan seluruh masyarakat India untuk fanatik mandiri, percaya diri, dan akhirnya merebut kemerdekaan dari Inggris. Demikian pula glashnot mampu membuka dan akhirnya meruntuhkan kekakuan dan kebekuan sistem politik komunis di Rusia.
Tugas pemimpin
Menjadi tugas pemimpin negeri ini untuk mencari kata yang mampu menjadi mantra sakti demi lahirnya greget kehidupan berbangsa. Mengapa tugas pemimpin? Tugas utama pemimpin adalah menggerakkan, dan bukan pertama-tama mengatur dan mengendalikan. Namun ini bukan perkara mencari kata yang indah atau bombastis kosong seperti ”Katakan tidak!” dalam pemberantasan korupsi. Kata tersebut harus dicari lewat laku tapa dan permenungan mendalam supaya sungguh mewakili jeritan keprihatinan bangsa.
Menemukan kata yang mampu menjadi mantra ini sangat penting ketika akhirnya kita menyadari bahwa sumber persoalan pembangunan bangsa terletak jauh di dalam mentalitas dan identitas kita. Keberhasilan kita mewujudkan kesejahteraan umum bukan karena semata hadirnya pemimpin yang kuat atau pun yang baik hati.
Sumbernya juga bukan pada sistem politik dan demokrasi tertentu, apalagi pada ketersediaan perangkat hukum. Bahkan sumbernya bukan pula pada melimpahnya sumber daya ekonomi. Kelimpahan sumber daya alam malah sering menjadi kutukan karena melahirkan kemalasan dan ketamakan. Sumber perkaranya lebih terletak pada kemampuan pemimpin merumuskan gagasan besar yang menghipnotis semua pihak untuk mengusungnya.
Sumber perkaranya lebih terletak pada kemampuan pemimpin merumuskan gagasan besar yang menghipnotis semua pihak untuk mengusungnya.
Mungkin benar bahwa kita sekarang lebih sulit menemukan mantra tersebut dibandingkan di era perjuangan merebut kemerdekaan. Kita bisa berdalih begitu karena saat ini bangsa kita mengalami divergensi arah dan tujuan. Setiap elemen bangsa berusaha merumumuskan sendiri mantra tersebut di berbagai level.
Hal ini dipicu bukan hanya oleh realitas variasi patron politik setiap daerah, melainkan juga oleh semakin lebarnya kesenjangan di berbagai aspek kehidupan. Kesenjangan ini telah melahirkan variasi orientasi kepentingan dan cita-cita besar. Itulah mengapa mantra ”ganyang koruptor” sekalipun tidak akan menggelorakan semua pihak.
Akan tetapi apabila kita cermat dan fokus mencari apa yang menjadi common good bangsa ini, variasi yang ada tidak akan menjadi masalah. Ini karena common good tersebut bukan terletak pada aspek kehidupan tingkat kasat mata seperti pertumbuhan ekonomi, melainkan lebih tersembunyi dalam diri kemanusiaan kita sebagai bangsa besar. Tepatnya, hal itu lebih terkait dengan harga diri dan rasa malu kita sebagai manusia Indonesia. Oleh karena itu, kita harus menemukan apa yang menjadi pertaruhan hidup bersama, terlepas dari perbedaan keyakinan, etnik, maupun tingkat kesejahteraan.
Ketidakmampuan kita dan terutama para pemimpin menggali mantra itu akan mendorong lahirnya divergensi cita-cita yang membahayakan. Sebagian akan tergoda untuk menjadi radikal karena frustrasi. Sebagian kecil yang lain menjadi acuh tak acuh karena merasa sudah mapan dan nyaman.
Sejak sebelum menjadi presiden, Bapak Jokowi memang telah meluncurkan mantra ”revolusi mental”. Sayangnya, mantra ini semakin sayup gemanya dan layu realisasinya. Belum ada satu hal konkret yang mewujud secara revolusioner serta belum jelasnya mentalitas apa yang akan direvolusi. Frasa ini belum menjadi mantra sakti yang mampu menggelorakan apalagi menggerakkan bangsa. Padahal, idealnya mantra sakti itu dapat pula menginspirasi para seniman dan pemikir untuk berimajinasi tentang Indonesia di masa depan sebagaimana terjadi dengan pekik ”Merdeka!”.
Di saat kita memperingati Sumpah Pemuda, alangkah baiknya para pemimpin bangsa menggali mantra bangsa sebagai turunan mantra sakti nan dasyat ”Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, Indonesia”. Kita perlu duduk bersama untuk menggali kembali apa sejatinya yang menjadi kerinduan kita bersama sambil mengesampingkan kekhasan kita masing-masing. Kita sungguh membutuhkan energi segar bagi lahirnya mantra bangsa yang tidak hanya akan mempersatukan seluruh elemen bangsa, tetapi juga memperkokoh fondasi eksistensi keindonesiaan kita.
Di tengah usaha kita bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19, kita sungguh membutuhkan kepercayaan diri, komitmen, dan konsistensi. Hal tersebut paling efektif dibangun lewat perumusan mantra hidup berbangsa yang cerdas nan menggelorakan. Meniru Gus Dur, barangkali mantra ”gitu saja kok enggak bisa” menggugah dan menggelorakan kaum muda Indonesia untuk bangkit sebagaimana kakek dan nenek mereka di zaman Sumpah Pemuda.
Johanes Eka Priyatma
Rektor Unversitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Anggota Pusat Kajian Pendidikan Tinggi APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik) Indonesia