Kemajemukan, jika tidak diikat oleh ikatan persatuan, bisa berakhir ke arah ”kutukan keragaman”.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
KOMPAS/ANTONY LEE
Sukidi
Setiap hari, bangsa ini dihantui oleh bahaya sektarianisme, polarisasi, dan perpecahan antarmasyarakat. Hantu ini menciptakan pesimisme tentang masa depan Indonesia, memunculkan gambaran sebagai negara yang gagal, dan kita pun tercerai-berai.
Dalam konteks ini, kita seyogianya terpanggil secara kolektif untuk merajut ikatan persatuan dalam kebinekaan. Spirit ini yang membuat kita mampu bertahan dan tumbuh kuat sebagai bangsa yang bersatu di tengah kebinekaan.
Secara historis, bangsa Indonesia memiliki memori kolektif sebagai rujukan bersama tentang pentingnya spirit persatuan. Spirit ini telah ditorehkan oleh para pemuda, putra dan putri Indonesia, melalui ikrar persatuan dengan mengakui bahwa ”bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Peristiwa monumental 93 tahun lalu itu, yakni 28 Oktober 1928, meneguhkan ikatan persatuan dan identitas keindonesiaan yang diselenggarakan di rumah milik peranakan Tionghoa, Sie Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Hal ini menjadi self-evident truth tentang partisipasi, kecintaan, dan kebanggaan orang-orang keturunan Tionghoa untuk menjadi bagian dari komunitas yang mengikatkan diri pada ikatan tali persatuan dan keindonesiaan.
Spirit persatuan dan keindonesiaan juga diserukan oleh salah satu pendiri bangsa berketurunan Arab, Abdul Rahman Baswedan (1908-1986), yang menulis artikel berjudul ”Paranakan Arab dan Totoknya” di Harian Matahari Semarang tanggal 1 Agustus 1934.
Pikiran brilian AR Baswedan mengenai seruan tentang pengakuan Indonesia sebagai Tanah Air itu akhirnya teraktualisasikan pada momentum Sumpah Pemuda di kalangan orang-orang Arab pada tanggal 4 Oktober 1934 yang mengikrarkan diri mereka pada (1) ”Tanah Air peranakan Arab adalah Indonesia; (2) peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan sendiri; dan (3) peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap Tanah Air dan bangsa Indonesia” (Huub de Jonge, ”Abdul Rahman Baswedan and the Emancipation of the Hadramis in Indonesia”, Asian Journal of Social Science, Vol 32, 3, [2004]:373-400).
Memori kolektif sejarah ini meneguhkan suatu komitmen tentang integrasi kearaban dalam konteks keislaman dan keindonesiaan.
KOMPAS/ANDREAS MARYOTO
Foto peserta Sumpah Pemuda yang muncul di Kompas tanggal 29 Oktober 2017.
Tegaknya kita sebagai bangsa yang bersatu tanpa tercerai-berai juga ditopang oleh kenyataan sejarah bahwa republik ini didirikan oleh para pendiri bangsa dengan kesadaran penuh tentang spirit persatuan di tengah kebinekaan, karena spirit inilah yang terbukti ampuh dalam mempersatukan masyarakat kita di tengah kebinekaan Indonesia. Kesadaran kebinekaan ini sesungguhnya berakar kuat pada sejarah kita sendiri.
Moto bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, yang berasal dari ”Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa” karya Empu Tantular dalam Kitab Kakawin Sutasoma ini telah terekam dalam memori kolektif kita sebagai suatu rujukan historis tentang pentingnya kita menjaga persatuan dan kesatuan di tengah kebinekaan.
Visi brilian Bapak dan Ibu Pendiri Bangsa tentang Bhinneka Tunggal Ika yang berakar pada budaya kita ini, dalam perspektif komparatif, selaras dengan semboyan negara Amerika: E Pluribus Unum, out of many, one! yang diusulkan oleh para pendiri bangsanya, mulai dari Benjamin Franklin, John Adams, sampai Thomas Jefferson.
Meskipun makna kedua semboyan itu berbeda dari segi konteks dan perjuangan, para pendiri bangsa dari kedua negara itu sama-sama menyadari sepenuhnya bahwa spirit persatuan dan kesatuan bangsa harus berdiri tegak dan kuat di tengah masyarakat yang begitu majemuk.
Kompas/Priyombodo
Helikopter TNI Angkatan Udara membawa bendera Merah Putih raksasa dengan latar depan monumen Selamat Datang pada peringatan HUT ke-76 RI di Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Kita sadar bahwa kemajemukan, jika tidak diikat oleh ikatan persatuan, bisa berakhir ke arah ”kutukan keragaman” (the curse of diversity). Karena itu, kita sadar penuh bahwa Indonesia dan Amerika adalah dua negara besar dengan kemampuannya dalam merawat persatuan dan kesatuan di tengah tingkat kemajemukan yang luar biasa.
Last but not least, optimisme yang rasional tentang spirit persatuan juga memiliki rujukan sejarah dari dasar negara kita, Pancasila, yang terbukti ampuh dalam sejarah panjang perjalanan bangsa ini sebagai kekuatan pemersatu di antara elemen bangsa yang berbeda-beda.
Sila demi sila dalam Pancasila merefleksikan spirit gotong royong dalam membangun kesatuan Indonesia dalam kebinekaan. Republik ini sengaja didirikan oleh para pendiri bangsa untuk selalu terikat pada spirit persatuan dan kesatuan. Memori kolektif dan perjuangan bersama kita sebagai bangsa telah ikut memberikan kontribusi signifikan atas terawatnya spirit persatuan dan kesatuan dalam kebinekaan.
Namun, perlu diingatkan bahwa kebinekaan akan terkoyak jika kita tidak melibatkan diri secara aktif dan konstruktif dalam merawat Indonesia.