Integrasi, dalam diri bangsa Indonesia, masih merupakan cita-cita. Keteladanan dan curahan rasa aman dari para pemimpin sangat dibutuhkan, pemimpin yang adil dan mampu mendorong bertumbuhkembangnya bangsa yang ”integer”.
Oleh
LIMAS SUTANTO
·5 menit baca
Kata ”satu” terasa menonjol dan penting pada teks Sumpah Pemuda. Ia memekarkan gagasan tentang integrasi, keberpaduan. Latar belakang sejarah masyarakat, sebagai korban devide et impera yang menghasilkan kecerai-beraian yang melemahkan, pada gilirannya melahirkan kaum muda plural berwawasan maju yang meletakkan integrasi sebagai keniscayaan untuk sebuah bangsa yang utuh.
Kata Latin integer berarti utuh. Sesuatu itu akan optimal apabila mengejawantahkan integrasi, yaitu keterhubungan kooperatif, berhasil guna, antara bagian-bagiannya yang masing-masing berspesialisasi dalam kepiawaian tertentu atau dalam ciri yang khas. Perkembangan alamiah setiap unsur tidak terelakkan, tetapi keberpaduan mereka tidak serta-merta hadir. Pada perspektif demikian, integrasi perlu dan layak untuk diusahakan karena buahnya penting, yaitu emergence, terjadinya kebaruan-kebaruan yang bermanfaat.
Acap kali hal itu sulit. Lebih mudah mengatakannya dalam ucapan mengawang dan muluk yang tidak pernah diwujudnyatakan. Salah satu hal yang sungguh diperlukan adalah peristiwa psikis dan psikososial ”mengangkat pengalaman hingga melampaui kekhususan diri”; bisa disebut transendensi, atau transpirasi. Semacam mengatasi (menjadi lebih bagus daripada) keadaan yang sempit, melampaui yang partikular. Ini mengandung pergolakan intrapsikis berupa pengorbanan diri diliputi anxiety, kecemasan.
Namun, hal itu layak—semacam ”derita yang sah”, legitimate suffering, yang dipikirkan Jung—karena dalam integrasi nanti berkembang kebaikan-kebaikan baru yang melampaui kepicikan: harmoni, rasa aman bersama, keterbukaan dan dialog, fleksibilitas, kedekatan yang sungguh, kreativitas, kooperasi, keefektifan, keefisienan, keadilan, dan buah-buah baru lainnya yang memberikan berkah yang sebelumnya tiada. Nilai-nilai ini mempertahankan bangsa dan menumbuh-kembangkannya.
Berbagai pemikiran tentang pentingnya integrasi untuk pencapaian hidup yang optimal telah disuarakan oleh Plato, Aristoteles, dan Kant. Dalam psikoanalisis, Freud, yang mengajukan pemikiran tentang struktur psike yang terdiri dari bagian-bagian distingtif—ia sebut id, superego, dan ego—sesungguhnya juga memikirkan integrasi ketiganya untuk peraihan hidup yang baik. Integrasi juga menjadi sebuah nilai yang diperjuangkan dalam manajemen bisnis, ilmu komputer, dan teknologi, dan dalam pelbagai penerapan mereka.
Psikiater Daniel Siegel menyoroti sembilan macam integrasi yang seluruhnya diperlukan buat bertumbuhkembangnya kehidupan harmonis, fleksibel, dan kreatif. Sebuah bentuk integrasi mendasar, yang oleh Siegel disebut integrasi bilateral, antara bagian otak yang kaya perasaan (belahan otak kanan serta kawasan otak subcortical) dan bagian otak yang bijak (hemisferium kiri serta wilayah otak cortical), dapat menggambarkan pentingnya keberpaduan bagi keoptimalan hidup.
Orang yang menjalani kehidupan hampir senantiasa dengan otak bijaknya saja, biasanya jarang mengalami mimpi; ia berbahasa tertib dan berpikir logis, tetapi karena ”kurang berperasaan” maka orang-orang lain menghayatinya sebagai pribadi yang ”tidak enak diajak berelasi”. Sementara orang yang cenderung hanya menggunakan otak emosionalnya, rentan untuk mengalami mimpi buruk yang berulang; ia menjalani kehidupan sehari-hari dengan ”penuh perasaan”, emosinya sering membanjir, afeknya tidak terkelola dengan baik. Pada akhirnya ia pun kurang berhasil dalam berelasi dengan liyan.
Untuk kehidupan yang optimal, kedua-duanya perlu menghadirkan dan menterbiasakan diri dengan new ways of being and relating yang mengintegrasikan peran the thinking brain dan the emotional brain sehingga berkembang menjadi ”pribadi berpikir yang berpijak pada landasan hidupnya yang afektif”.
Tidak hanya Homo sapiens, tetapi juga Homo affectivus. Sosoknya adalah Homo sapiens et affectivus. Insan yang lebih berempati, memiliki belas kasihan (compassion), kesadaran diri (self-awareness), dan kemampuan kognitif serta interpersonal yang baik; pribadi humanis, yang mentransendensi narsisisme bawaannya.
Tidak hanya Homo sapiens, tetapi juga Homo affectivus. Sosoknya adalah Homo sapiens et affectivus.
Penelitian dalam neurosains menunjukkan bahwa upaya melampaui pengalaman hidup sehari-hari (transendensi; transpirasi), misalnya yang dilaksanakan dengan praktik mindfulness—mengalami hidup rasional dengan kesaksamaan afektif dan sensoris—akan memperkuat bagian otak yang disebut lobus insularis. Struktur ini mewujud-nyatakan integrasi antara kawasan otak bijak dan wilayah otak emosional.
Namun, ini yang teramati dalam keseharian hidup psikis dan psikososial. Setiap kelompok, bahkan tiap individu, nyaris tanpa hambatan menonjolkan kepiawaian spesifiknya, sifat uniknya, mereka terbenam dalam spesifisitas atau keunikan tertentu, tidak beranjak naik melampauinya. Transendensi psikososial, transpirasi psikis individual, keduanya tidak terjadi secara memadai.
Masih menjadi cita-cita
Dalam bangsa ini, integrasi masih merupakan cita-cita. Perkembangan individual dan kelompok memang pada dirinya baik, tetapi keberlangsungannya telah jauh melampaui kemungkinan integrasi. Pengaruh tokoh-tokoh yang memakai partikularisme sebagai peranti menaikkan daya tarik pribadi mereka terasa makin besar.
Gejala ini kian kuat dan meluas di tengah ketersediaan media sosial yang seolah-olah adalah ruang tanpa batas untuk menegaskan partikularisme. Ada keasyikan narsistik di dalamnya. Yang berkecamuk adalah grandiositas atau rasa diri tinggi dan besar dengan empati yang tipis, rasa diri penting yang melambung, rasa diri paling benar yang membubung, dengan kebutuhan besar untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari orang-orang lain.
Psikoanalisis pasca-perkembangan self psychology yang dipelopori oleh Kohut tidak melihat kecenderungan narsistik sebagai semata-mata keadaan psikopatologis. Pada umumnya ia menjadi bagian normal dari proses tumbuh kembang yang panjang menuju kematangan dan kedewasaan. Dalam proses itu, narsisisme dilampaui.
Warga bangsa ini tergolong masih memerlukan banyak waktu buat mentransendensi kecondongan narsistiknya. Keteladanan dan curahan rasa aman dari pemimpin-pemimpin, yang oleh Kohut disebut idealizing selfobjects, pembimbing-pembimbing yang rasional sekaligus berkesaksamaan afektif dan sensoris, senantiasa diperlukan oleh warga bangsa yang cemas tatkala akan melepas kecenderungan narsistik mereka melalui transendensi atau transpirasi, melampaui kepicikan menuju kematangan dan kedewasaan.
Pemimpin bagaikan pedang bermata dua. Pemimpin yang haus kuasa dapat mengeksploitasi kecenderungan narsistik warga, mengobarkan emosi primitif kepicikan, untuk meraih dukungan politis temporer. Ia adalah peniada integrasi dan penghambat pencapaian kematangan dan kedewasaan warga bangsa yang sangat mementingkan dirinya sendiri. Namun, pemimpin yang dapat melampaui kepicikan dirinya, melayang-layang anggun di atas bentangan partikularisme, berbuat adil terhadap semua kelompok, menjadi pemudah dan pendorong bertumbuhkembangnya bangsa yang integer.