Wajah Indonesia
Pandemi Covid-19 mengajarkan kita akan banyak hal di segala bidang, termasuk politik. Semua layak dipelajari dan dijadikan bahan renungan agar sistem demokrasi kita semakin mampu dan responsif.
Kita bersyukur bahwa Indonesia secara perlahan mampu dan bisa mengalahkan pandemi. Indonesia akan segera memulai masa dari pandemi menuju endemi meski kita harus tetap waspada dan tidak cepat puas diri.
Pandemi sejak 2020 mengajarkan kita banyak hal, tentang kepemimpinan, peran negara, kapasitas fiskal dan perpajakan, sistem kesehatan publik, peran ilmu pengetahuan. Semua layak dipelajari dan dijadikan bahan renungan agar sistem demokrasi kita semakin mampu dan responsif.
Namun, satu perkara penting tetapi kurang menjadi bahan renungan dan pembahasan adalah sejauh mana masa depan dan kualitas demokrasi. Apakah pada masa pandemi sistem politik dan birokrasi kita telah responsif. Pada derajat mana sistem demokrasi Indonesia sudah mampu mengoreksi kebijakan publik, termasuk respons masa pandemi.
Baca juga: Pandemi, Demokrasi, dan Daya Saing Bangsa
Karena itu, langkah awal adalah dimulai dengan memperhatikan apa yang menjadi perhatian warga. Melalui observasi di berbagai media sosial, pengaduan warga serta tulisan berbagai pengamat dan akademisi, saya menemukan empat arus politik warga negara yang akan membentuk politik masa depan.
Arus pertama adalah arus politik yang saya sebut sebagai demokrasi algoritma. Dengan media sosial dan internet, warga menikmati kebebasan bersuara dan menyampaikan pendapat. Mereka menciptakan netizen yang secara virtual dapat membentuk tindakan kolektif melalui berbagai kanal-kanal aksi, seperti Change.org dan Kitabisa.org.
Mereka juga menciptakan mural dan kaus yang berisikan kritik. Media sosial memudahkan warga menagih kinerja dan hasil kerja pemerintah dan sistem demokrasi. Pandemi memaksa layanan publik di semua bidang berpindah dari tatap muka (luar jaringan/offline) ke daring (online). Telemedicine dan teleducation menjadi normal dan praktik. Para guru dan murid harus berjibaku.
Mereka mewakili warga milenial dan generasi Z yang lahir dan besar ketika masa demokrasi pasca-1998. Mereka tidak pernah mengalami pahit getir zaman otoriter ketika warga Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya dipingirkan secara sistematis. Secara sosiologis, mereka terdiri dari kaum muda dan banyak di antaranya kalangan yang disebut ahli ekonomi Guy Standing sebagai kelompok precariat, kadang bekerja, kadang menganggur, serta mudah digoda dan ditarik kepada paham ekstrem.
Arus politik kedua yang saya sebut teknokrasi, yaitu arus politik yang menjadi keyakinan kelompok-kelompok kuat di masa lalu, tetapi juga gabungan antara ketakutan kepada dunia ”kacau balau” akibat internet dan media sosial serta warisan lama peran dominan kaum teknokrat dan birokrasi.
Meski Indonesia sudah melampui 20 tahun masa reformasi, pendekatan dan warisan lama ini masih terus kuat mewarnai Indonesia. Baik itu karena ketakutan atas disrupsi teknologi dan media sosial maupun ide-ide lama mereka yang masih diyakini.
Ketakutan dan aspirasi politik mereka menjadi wajar ketika media sosial dan internet menjadi kekuatan pemecah belah masyarakat dengan berita palsu, ujaran kebencian, dan penipuan-penipuan. Media sosial terbukti bisa mendekatkan yang jauh, tetapi juga menjauhkan yang dekat sebagaimana ilustrasi seorang anak yang pingin menjadi HP (telepon genggam) gegara ibunya lebih memperhatikan HP-nya ketimbang memperhatikan anaknya.
Baca juga: Dominasi Media Sosial dan Proyeksi Pemilu 2024
Yang ketiga adalah arus politik yang sebut sebagai Demokrasi 4.0, yakni mereka yang percaya dan mendukung sistem demokrasi dan bersikap seharusnya demokrasi tidak hanya diukur dari input demokrasi (pemilu dan parpol), tetapi juga dari sisi output–sistem demokrasi juga harus menghasilkan kebijakan dan jaminan sosial dan kesejahteraan warga.
Teknologi dan keterbukaan sistem politik mendorong mereka percaya bahwa agar negara dan sistem politik menjadi semakin inklusif, mendengar dan memenuhi semua kebutuhan warga. Salah satu ciri tuntutan mereka adalah agar sistem demokrasi semakin inklusif, semakin mampu memajukan-melindungi kesetaraan dan kebebasan.
Kesetaraan hak perempuan, kesetaraan layanan pemerintah, dan pemihakan kebijakan publik kepada yang lemah dan rentan menjadi fokus perhatian mereka. Salah satu aspirasinya adalah bagaimana sistem demokrasi segera dan mampu mengurangi kesenjangan, baik kesenjangan ekonomi maupun kesenjangan sosial.
Kesetaraan hak perempuan, kesetaraan layanan pemerintah, dan pemihakan kebijakan publik kepada yang lemah dan rentan menjadi fokus perhatian mereka.
Arus politik keempat adalah demokrasi hijau. Arus politik ini didorong baik oleh ketakutan dan harapan agar alam dan satwa fauna Indonesia terus lestari dan dunia tetap menjadi ekosistem yang berkelanjutan dengan menurunnya perubahan iklim.
Mereka memasang tekad agar secara cepat atau perlahan, Indonesia harus segera hijrah dari basis sumber daya alam dan energi kotor menuju ekonomi berbasis sumber daya manusia untuk mengurangi kerusakan alam dan emisi karbon. Mereka terdiri dari warga lintas generasi baik di dalam dan luar pemerintah yang ingin agar Indonesia memulai dan melaksanakan politik hijau sebagai tindakan nyata dan sebagai cara meraih target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs 2030).
Empat wajah Indonesia
Sistem demokrasi yang bertumpu pada jaman industri kini sudah beralih kepada pasca-industri. Teknologi informasi dan sektor jasa menjadi dominan. Pola-pola kerja menjadi fleksibel dan tidak menentu. Menjadi tantangan sistem demokrasi dan politik untuk membuat keseimbangan antara fleksibiltas kerja jaminan sosial.
Internet dan teknologi dari sekadar alat kini sudah berubah menjadi kekuatan politik. Tidak saja menjadi kuasa instrumental, tetapi juga menjadi kuasa struktural yang menentukan dan memengaruhi pengambilan kebijakan dan politik.
Saya menduga, pandemi dan krisis kesehatan akan mempertajam kesadaran dan kebutuhan warga akan sistem kesehatan yang modern dan dapat diandalkan. Media sosial menjadikan warga melek politik, selain memudahkan para penghasut dan pemecah belah masyarakat.
Saya melihat keempat arus politik itu sebagai kenyataan yang harus dihadapi dan bahkan sebagai undangan kepada sistem demokrasi kita.
Saya melihat keempat arus politik itu sebagai kenyataan yang harus dihadapi dan bahkan sebagai undangan kepada sistem demokrasi kita. Sejauh mana kita mau dan mampu menyerapnya ke dalam sistem politik kita, baik sebagai undang-undang, program dan kebijakan pemerintah, maupun sebagai indikator menilai keberhasilan pembangunan sosial ekonomi kita lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Keempat, arus politik itu akan terus menjadi tagihan dan tuntutan kepada pemerintah dan sistem demokrasi kita. Pemerintahan Presiden Jokowi telah membangun infrastruktur di seluruh pelosok NKRI sebagai jawaban kepada arus politik ketiga. Namun, kita perlu memberi perhatian lebih dan terus-menerus (koheren antarwaktu) untuk memperhebat investasi kepada SDM kita.
Politik inklusi
Saya ingin membela dan melanjutkan agar politik Indonesia tetap dalam tradisinya meraih dan mewujudkan hal-hal besar dan mulia. Kebangkitan ekonomi Amerika Serikat dari depresi besar tahun 1930-an adalah hasil sistem politik demokrasi di bawah Presiden Franklin Delano Roosevelt. Sebelumnya, penghapusan sistem perbudakan di AS diputuskan oleh Presiden Lincoln melalui sistem politik demokrasi.
Kesetaraan hak semua warga, termasuk hak memilih dan dipilih kaum perempuan, dihasilkan sistem demokrasi. Bahkan, sistem jaminan sosial modern oleh Lord Beveridge pasca-Perang Dunia Kedua juga dihasilkan oleh sistem politik demokrasi, yang kemudian meluas dan melebar ke berbagai penjuru dunia.
Masa depan Indonesia akan ditentukan sejauh mana keempat arus politik itu diserap oleh parpol dan sistem politik kita, dan sebaliknya sejauh mana sistem politik dan sistem demokrasi mengolah dan melansir tuntutan dan apsirasi tersebut.
Keempat arus itu bisa saya ringkas sebagai politik kesejahteraan atau politik inklusi. Mengapa kesejahteraan, mengapa inklusi? Karena, kita hendak meninggalkan kesenjangan dan ketimpangan. Karena, kita hendak berpindah dari kebiasaan dan praktik perusakan alam kepada keberlanjutan alam. Karena, kita hendak membuka peluang selebar-lebarnya kepada kaum muda untuk meraih pekerjaan dan profesi.
Baca juga: Demokrasi yang Inklusif
Saya mengajak agar para elite politik kita untuk membangun sistem demokrasi lebih inklusif–untuk semakin mampu mengurangi kesenjangan dan ketimpangan sosial ekonomi. Sejauh mana kita sudah membuka kesempatan anak muda memperoleh pekerjaan akan menjadi ukuran. Sejauh mana kemakmuran petani dan nelayan sudah menjadi perhatian dan ikhtiar kita. Sejauh mana perubahan basis ekonomi dari SDA kepada SDM sudah kita upayakan sekeras-kerasnya sesuai kebutuhan dan pilihan warga.
Abdul Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR dan Ketua Umum PKB