Penyehatan Bumi Setelah Pandemi
Kepedihan global yang kita rasakan akibat pandemi Covid-19 semestinya menjadi peringatan keras dan terang. Agar mengerem keserakahan serta bersemangat berbagi dalam memanfaatkan sumber daya.
Gelagat pandemi Covid-19 beringsut menuju endemi makin kentara. Gelombang kedua semakin memudar, pertambahan kasus harian sudah di bawah 1.000 dan angka kematian di bawah 50.
Sangat jauh dibandingkan saat puncak, yakni 56.000-an kasus baru dan 2.000-an kematian harian tiga bulan lalu. Vaksin juga terlihat bekerja mengurangi kefatalan. Rasio kasus baru dan kematian dibandingkan saat sebelum adanya vaksin jauh menurun. Di kebanyakan negara lain situasinya juga kian membaik, meskipun belum sepenuhnya terkendali. Dan, makin disyukuri, belum terlihat ada varian baru yang sebengis varian Delta.
Pandemi ini telah memorakporandakan tatanan seluruh kehidupan global. Ekonomi anjlok, beribu-ribu perusahaan tekor, pengangguran membengkak, orang miskin dan stres bertebaran di mana- mana, dan terbengkalainya banyak agenda pembangunan. Sekolah dan kuliah terpaksa libur lebih dari satu tahun.
Banyak yang pening mengikuti pertemuan daring tiap hari mulai dari perkuliahan, berbagai seminar dan diskusi, rapat, tahlilan, hingga takziah.
Kini, ketika tekanan Covid-19 mereda, saatnya kita melakukan refleksi dan memahami pandemi sebagai fenomena alam dalam tataran makrokosmos. Virus korona yang berawal dari Wuhan sudah berevolusi dan bermutasi menjadi banyak varian baru dan menyebar ke berbagai belahan Bumi.
Ini adalah proses alamiah mengikuti hukum evolusi Darwin, yakni setiap makhluk hidup akan terus berusaha untuk mempertahankan eksistensinya, berkompetisi, bertarung, dan hanya akan menyisakan siapa yang kuat, bertahan dan bisa beradaptasi.
Vaksinasi massal bisa mencegah derasnya serangan korona.
”Survival of the fittest”
Setelah menyebar dan menginfeksi jutaan manusia di banyak negara, virus SARS-CoV-2 ini menghadapi perlawanan dari sistem kekebalan tubuh manusia yang terinfeksi. Menghadapi perlawanan manusia ini, virus korona terus berusaha bertahan dengan bermutasi, mengubah susunan genetikanya sehingga menjadi lebih adaptif pada lingkungan baru, bahkan lebih ganas dibandingkan sebelumnya. Inilah yang menjelaskan munculnya varian Delta yang jauh lebih maut dibandingkan varian induknya.
Di sisi lain, di luar proses ”alamiah”, akal manusia terus mencari cara untuk menghadapi serangan korona yang semakin hebat. Vaksinasi massal bisa mencegah derasnya serangan korona. Namun, si virus juga akan terus berusaha untuk memperbarui susunan genetikanya agar suatu saat bisa menembus kekebalan dari vaksinasi. Maka, yang terjadi adalah proses perang panjang antara virus korona dan manusia, entah kapan akan berakhir.
Mendengar ”protes” Bumi
Para ahli memperkirakan, nantinya perang ini bukan berakhir, tetapi hanya semacam gencatan senjata. Pada akhirnya, korona akan menjadi virus yang tetap hidup, tetapi sudah melemah sehingga menjadi seperti virus flu biasa. Di sinilah kondisi endemi terjadi, seperti yang sudah kita lihat gejalanya.
Pandemi ini bukanlah karena jasad renik baru. Keluarga virus-virus pengganggu ini sudah ada sebelum ini. Dari rumpun korona, antara lain menjadi penyebar penyakit SARS-CoV, MERS-CoV, kini SARS-CoV-2. Sementara dari kelompok avian influenza-1 (H5N1) lahir flu burung, flu Hong Kong, flu babi, flu kuda, tergantung jenis hewan yang tertular. Bahkan seabad lalu sudah ada pandemi flu Spanyol yang disebabkan avian influenza-1 tipe H1N1. Jadi, induk dari virus ini diyakini sudah ada sejak sekian abad lalu.
Lalu, mengapa kemudian sampai menyebabkan pandemi hebat? Beberapa ahli mengatakan, ini adalah respons alamiah Bumi untuk menjaga keseimbangannya yang terganggu. Sejak revolusi industri dua abad lalu, manusia terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam secara masif dan mengganggu ekosistem.
Lahan masyarakat dirampas dengan bantuan negara, hutannya digunduli diambil kayunya, dibakar, lapisan tanahnya dikupas, mineralnya dikeruk, dan lahan bekasnya ditelantarkan, dan mewariskan konflik dengan masyarakat setempat yang sudah ratusan tahun sebelumnya mengelola dan menjaga wilayah itu. Gas rumah kaca meningkat, suhu Bumi naik, es kutub mencair, planet Bumi menjadi lebih panas.
Akibatnya, Bumi tidak lagi menjadi sebuah planet yang harmonis, tetapi panas penuh konflik. Bukan hanya antarmanusia yang berkonflik, melainkan juga antarmakhluk. Manusia dengan hewan, dengan tumbuhan, dan dengan makhluk kecil yang tidak kasatmata atau mikroorganisme, yang terganggu habitat dan ekosistemnya.
Maka, munculnya pandemi korona ini bisa dikaitkan dengan proses alamiah Bumi dan isinya. Bumi ”protes” karena keseimbangan dirusak oleh kerakusan manusia, terutama angkara murka elite penguasa ekonomi dan politik di banyak negara.
Baca juga : Bersiap dari Pandemi Menuju Endemi
Biang mega kebutuhan energi
China dilaporkan sekarang mengalami krisis energi yang bisa memicu krisis global. China adalah negara konsumen energi terbesar di dunia, membutuhkan bahan bakar dalam jumlah yang luar biasa besar untuk menopang mesin-mesin industri dan konsumsi rakyatnya yang berjumlah mendekati 1,5 miliar itu. China adalah eksportir terbesar, konsumen energi terbesar, sekaligus penyumbang emisi gas buang terbesar di dunia.
Untuk melindungi cadangan energinya, dalam beberapa tahun terakhir China membatasi produksi batubara dalam negerinya, tetapi menggenjot impor, di antaranya dari Indonesia. Akibatnya, harga batubara yang sekian tahun sebelumnya bertengger di kisaran 60-70 dollar AS per metrik ton (MT), sekarang melonjak gila-gilaan.
Oktober ini harga kontrak batubara di pasar ICE NewCastle mencapai 230 dollar AS per MT. Harga di pasar Eropa lebih gila lagi. Harga CIF untuk Amsterdam-Rotterdam-Antwerp (ARA) tembus 301 dollar AS per MT.
Namun, krisis ini juga membuat mereka yang bekerja di sektor batubara mulai dari kontraktor, trader, transporter, surveyor, perbankan, mediator, dan tentu saja para juragan pemilik tambang batubara menjadi kaya mendadak. Dan yang kita khawatirkan adalah kerusakan lanskap bekas tambang, yang selama minim dari upaya rehabilitasi, tetap berlangsung abadi meskipun tata niaga batubara mengutip iuran untuk biaya reklamasi dan rehabilitasi.
Semakin lengkaplah tragedi tahun ini. Alam semakin tereksploitasi tanpa perbaikan yang memadai, tetapi para pelakunya malah semakin kaya raya. Sementara di sisi lain miliaran rakyat dunia semakin miskin karena dampak pandemi yang belum pulih serta harus menanggung dampak lingkungan akibat eksploitasi berlebihan.
Dalam periode kehidupannya yang panjang, Bumi kenyang mengalami proses destabilisasi karena keseimbangan alam terganggu. Selain oleh sebab-sebab alamiah, ada proses destabilisasi karena ulah manusia, seperti perang kolosal yang mengakibatkan manusia mati dalam jumlah besar dan kehancuran peradaban.
Di luar itu, ada proses destabilisasi alam yang terjadi secara bertahap, tapi akumulasi kerusakannya sangat masif. Hutan alam, yang sebelumnya penuh keanekaragaman hayati, dibabat diganti menjadi tanaman industri yang monokultur seperti perkebunan sawit (demi agar makanan manusia terasa gurih). Akibatnya, ribuan plasma nutfah hilang dan satwa penghuninya makin terdesak.
Bahkan masyarakat adat, yang ratusan tahun hidup harmonis dengan menjaga hutan adatnya, sekarang tersingkir dan terjebak dalam kemiskinan struktural. Demikian juga yang terjadi pada eksploitasi untuk tambang batubara, emas, dan tembaga. Berbagai bentuk eksplotasi alam yang berlebihan ini mengakibatkan rusaknya lingkungan, membuat makin kaya segelintir pengusaha dan pejabat yang terlibat, tetapi masyarakat setempat tersingkir dan semakin miskin.
Dalam konteks ini, sebagian orang memosisikan pandemi Covid-19 sebagai alarm peringatan pada umat manusia. Bahwa keserakahan mengeksploitasi alam dengan cara menyingkirkan nilai kemanusiaan ini sudah kelewat batas. Jika alam dan isinya, termasuk rakyat kecil sudah tidak sanggup lagi menghadapi keserakahan elite dunia, bisa jadi inilah cara Tuhan memberi peringatan.
Demi menghasilkan generasi yang lebih baik, pemerintah harus menciptakan regulasi dan aksi nyata untuk mencegah berlanjutnya kerusakan alam.
”One Planet, one health”
Demi menghasilkan generasi yang lebih baik, pemerintah harus menciptakan regulasi dan aksi nyata untuk mencegah berlanjutnya kerusakan alam. Semacam ”revolusi mental” peduli Bumi. Regulasi ini harus mendukung energi hijau dan terbarukan dan bertahap mengurangi penggunaan sumber energi fosil. Apabila tidak segera dimulai, segala bentuk eksploitasi alam yang kelewat batas ini akan mengakibatkan kepunahan spesies.
Dalam jangka pendek, yang harus disiapkan adalah paradigma one health policy atau kesehatan untuk seluruhnya. Pendekatan one health harus bersifat kolaboratif, multisektoral, dan transdisipliner yang terkait dengan manusia, hewan, mikroorganisme, dan lingkungan. Sistem ini harus terbentuk secara berjenjang dari tingkat lokal, regional, nasional, dan global. Tujuannya agar Bumi mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
Paradigma one health memfokuskan pada pemanfaatan sumber daya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pendekatan one health di dalam masa pandemi memiliki banyak peran dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan, sumber makanan hewani, sistem peternakan, dan sanitasi lingkungan.
Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, one health menghubungkan antarkoneksi hewan, manusia, patogen, dan lingkungan secara holistik. Fakta bahwa kita sekarang hidup di zaman antroposen (anthropocene), yakni segala aktivitas manusia secara signifikan berdampak dalam mengubah ekosistem global. Contohnya, pola makan manusia seperti makan hewan sumber penyebaran penyakit, contohnya kelelawar, tikus, musang, dan ikan mentah, diusahakan dihindari. Pandemi ini bermula dari mutasi hewan ke manusia.
Baca juga : Wapres Amin: Pemerintah Siapkan Skenario Hadapi Masa Endemi
Tahun 2015 silam, Bill Gates, pendiri Microsoft, memprediksi bahwa nanti akan terjadi pandemi meskipun tidak spesifik menyebut Covid-19. Belum lama ini, Bill memprediksikan bahwa masalah kesehatan dunia berikutnya adalah perubahan iklim dan senjata biologi.
Selain fenomena zoonosis (penyakit menular dari hewan) yang sedang terjadi, perubahan iklim diprediksi akan menjadi pokok permasalahan kesehatan beberapa tahun mendatang. Lihatlah bagaimana suhu udara di Bumi yang semakin meningkat sehingga es kutub mulai mencair.
Efek rumah kaca yang membuat panas di Bumi terus terpantulkan karena gas chloro fluoro carbon (CFC) akibat pembakaran zat emisi. Hal-hal seperti inilah yang harus segera diperbaiki oleh paradigma one health, untuk mendorong ketahanan jangka panjang di semua sistem dalam lingkungan planet kita bersama.
Oleh karena itu, kampus perlu nyaring menyuarakan agenda penyehatan kembali Bumi ini.
Pendidikan kesehatan planet
Perguruan tinggi, baik sebagai institusi maupun para akademisinya, punya pengaruh besar untuk mengarahkan cara pandang masyarakat sehingga disebut sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, kampus perlu nyaring menyuarakan agenda penyehatan kembali bumi ini. Dan ini bisa dijadikan roh pada semua disiplin ilmu yang diajarkan, pada semua strata pendidikan. Bukan sekadar menciptakan SDM pintar dan terampil yang berlomba berebut lahan kerja dan lahan bisnis yang lepas dari karakter budi luhurnya.
Bagaimana caranya? Jurnal Lancet memublikasikan gagasan ”A Framework to Guide Planetary Health Education”. Intinya membekali mahasiswa dengan wawasan dan pengetahuan transdisipliner dengan tujuan untuk menanamkan kepedulian dan komitmen pada upaya pemulihan kesehatan planet Bumi. Saat menjadi pemimpin nantinya, diharapkan kebijakannya berwawasan pada tujuan pembangunan berkelanjutan.
Usulan ini mempresentasikan ”kerangka pendidikan kesehatan planet” yang mencakup lintas disiplin, menggambarkan luasnya spektrum pendidikan kesehatan planet. Antara lain, mempromosikan praksis, metode pengajaran partisipatif, dan jalur pembelajaran unik yang menanggapi konteks dinamika lingkungan dan sosial, prioritas lokal, teknologi, dan sumber daya yang tersedia di setiap pengaturan pembelajaran dengan penuh tanggung jawab.
Kerangka kerja ini memfasilitasi penciptaan beragam spektrum program pendidikan dan sumber belajar dalam kesehatan planet. Kerangka ini relevan untuk mahasiswa di semua strata.
Selain itu semua, kerangka pendidikan kesehatan planet ini mempertimbangkan lima domain dasar yang memiliki esensi pengetahuan, nilai, dan praktik kesehatan planet. Kelima domain itu adalah interaksi alamiah, sistem pemikiran dan kompleksitas, kesetaraan dan keadilan, antroposen dan kesehatan, serta gerakan membangun dan perubahan sistem menuju kesejahteraan yang berkeseimbangan.
Jika perguruan tinggi menerapkan kerangka pendidikan kesehatan planet ini secara terus-menerus, nanti alumninya yang menjadi pemimpin di beragam sektor. Akan bisa menelurkan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan yang berkelanjutan (MDGs-SDGs). Demi menyehatkan kembali planet Bumi yang sekarang sedang gering.
Rumit? Memang. Karena mengubah paradigma dan merevolusi mental memang tak mudah. Namun, dengan kepedihan global yang kita rasakan akibat pandemi Covid-19, semestinya menjadi peringatan keras dan terang. Agar mengerem keserakahan serta bersemangat berbagi dalam memanfaatkan sumber daya. Demi merawat planet yang sejauh ini satu-satunya yang layak huni di alam maharaya ini.
Djoko Santoso
Guru Besar FK Unair, Ketua Majelis Kesehatan MUI Jatim