Investasi Swasta di Pertahanan
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, kebijakan yang membuka keran swasta masuk ke industri pertahanan telah ketuk palu sehingga badan usaha milik negara industri strategis (BUMNIS) pertahanan harus menerimanya.
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Ke-76 TNI pada 5 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar TNI melakukan transformasi pertahanan guna menghadapi ancaman dengan spektrum yang meluas.
Dalam pidatonya, Presiden juga mengingatkan penguatan budaya strategis prajurit dan perwira TNI dalam wujud kemanunggalan TNI dengan rakyat melalui sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang defensif aktif dengan pertahanan berlapis serta memanfaatkan lompatan teknologi militer dan investasi pertahanan yang terencana.
Berbicara tentang teknologi militer, tentu tidak terlepas dari modernisasi pertahanan dan kesiapan alat utama sistem persenjataan (alutsista); di mana Presiden juga mengutarakan pentingnya sebuah terobosan yang menggeser kebijakan belanja pertahanan menjadi kebijakan investasi pertahanan yang berpikir jangka panjang, yang dirancang sistematis, dan yang dijalankan secara konsisten serta berkelanjutan.
Secara jelas, dalam pidatonya ini, Presiden menghendaki sebuah terobosan dalam pengelolaan ekonomi dan investasi pertahanan. Peluang menuju terobosan bagi investasi pertahanan sebenarnya telah terbuka lebar sejak diundangkannya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang membuka pintu masuk bagi peran swasta dalam pengembangan bisnis di sektor pertahanan.
Kebijakan ini secara spesifik diatur dalam Pasal 74 UU Cipta Kerja sebagai revisi dari regulasi terdahulu, yaitu Pasal 11 Ayat (1) Huruf a UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
Merujuk pada regulasi lama, maka industri alat utama (pertahanan) merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alutsista dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, serta bahan baku menjadi alat utama.
Secara jelas, dalam pidatonya ini, Presiden menghendaki sebuah terobosan dalam pengelolaan ekonomi dan investasi pertahanan.
Sedangkan dalam poin revisi, disebutkan bahwa selain BUMN, terdapat juga badan usaha milik swasta (BUMS). Pro dan kontra sempat mewarnai lahirnya revisi kebijakan ini; di mana kelompok yang menentang masuknya peran swasta dalam industri pertahanan menilai bahwa peran modal swasta yang kuat di sektor industri ini akan berpotensi mengubah arah, kebijakan usaha, serta kerahasiaan data yang berkaitan dengan sistem pertahanan Indonesia. Apalagi, industri pertahanan ini adalah sektor pendukung langsung dari alutsista milik TNI.
Kekhawatiran juga muncul, mengingat saat ini kondisi daya saing dari BUMN di sektor industri pertahanan masih belum memuaskan kendati mereka masuk dalam kategori BUMN industri strategis (BUMNIS), sebagaimana diatur dalam UU No 3/2014 tentang Perindustrian.
Faktor yang menyebabkan lemahnya daya saing BUMNIS ini adalah keterbatasan modal, minimnya dukungan riset dan pengembangan (R&D), serta kurang terserapnya hasil produksi dari industri tersebut di pasar pertahanan.
Baca juga: Industri Pertahanan Domestik Ciptakan Kapal Perang Baru untuk TNI AL
Namun, optimisme akan masuknya peran swasta juga mengemuka dengan argumentasi bahwa pelaku industri swasta akan meringankan beban investasi negara yang dibutuhkan guna membangun jaringan pasokan komponen industri pertahanan.
Dengan konsepsi lama bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dikuasai negara, itu berarti negara berperan mulai dari hulu ke hilir. Situasi ini akhirnya membawa kejatuhan bagi industri sektor pertahanan, terutama ketika krisis moneter menghantam Indonesia di pengujung 1997 dan manajemen anggaran yang dialokasikan untuk BUMN sektor pertahanan justru dianggap menjadi beban efisiensi.
Kita tentu tidak bisa gegabah mengatakan bahwa menguatnya peran swasta dalam industri pertahanan sebagai bentuk liberalisme. Sebaliknya, peran pemerintah, khususnya Kementerian Pertahanan, tetap kuat dalam merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di sektor industri pertahanan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Ayat (3) UU Cipta Kerja—sebagai revisi atas Pasal 38 UU No 16/2012—yang menyebutkan industri pertahanan dalam kegiatan produksi harus terlebih dulu memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Sedangkan Ayat (4) dari Pasal 74 mengatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh BUMN dan/atau BUMS yang mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan—peraturan ini sekaligus revisi atas Pasal 52 UU No 16/2012.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmennya untuk merumuskan formulasi agar perusahaan swasta dan perusahaan negara dapat berjalan bersama-sama dalam membangun industri pertahanan dalam negeri. Berdasarkan Direktori Industri Pertahanan Indonesia tahun 2018-2019, saat ini setidaknya terdapat 41 pelaku usaha yang bergerak di bidang industri pertahanan; delapan di antaranya adalah BUMN dan 33 lainnya adalah pelaku usaha industri pertahanan milik swasta.
Harus diakui bahwa industri pertahanan memiliki spesifikasi berbeda, jika dibandingkan dengan produk industri lainnya. Pertama, teknologi sebagai kata kunci dari industri pertahanan. Kedua, kerahasiaan—hal ini karena proses produksi dari alat utama pertahanan dilakukan melalui proses riset yang panjang dan mendalam terkait teknologi.
Teknologi dalam industri pertahanan berjalan sangat cepat, terutama karena pesatnya dinamika ancaman. Kalangan industri pertahanan kerap berujar bahwa membeli produk alutsista itu identik dengan membeli teknologi.
Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia mengalami perubahan konsepsi ancaman yang begitu cepat. Perang tidak lagi sekadar dalam bentuk fisik, tetapi menuju pada tren psikologi melalui jejaring dunia maya (cyber war).
Bentuk serangan pun tidak lagi sekadar agresi atau invasi yang dilakukan oleh militer suatu negara terhadap negara lain (state actor), melainkan telah pula terjadi intensitas perang yang sifatnya asimetrik dengan pelakunya yang tidak merupakan representasi negara (non-state actor).
Spektrum ancaman lainnya termasuk juga pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam di laut, radikalisme, dan ancaman biologi, termasuk juga ancaman bencana alam.
Penguasaan teknologi menjadi semakin penting ketika perkembangan era digital dan Industri 4.0 berjalan sangat cepat. Dengan pertumbuhan Industri 4.0 ini, pola-pola infiltrasi dan indoktrinasi dapat dilakukan melalui kontrol jarak jauh (remote) dengan dampak kerusakan yang bahkan bisa lebih parah dari sekadar perang fisik: hancurnya pertahanan suatu bangsa dari aspek mentalitas, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan bahkan ideologi.
Aplikasi teknologi termutakhir dalam alutsista TNI tentu merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar.
Aplikasi teknologi termutakhir dalam alutsista TNI tentu merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar. Hal ini menjadi bagian dari modernisasi alutsista yang mendukung terbentuknya postur militer yang ideal bagi Indonesia. Isu teknologi ini kerap terjadi dalam proses pengadaan alutsista; di mana tidak semua produsen alutsista dari luar negeri akan bersedia memenuhi klausul alih teknologi kepada Indonesia sebagai pihak pembeli.
Bahkan, kebijakan politik dalam negeri dari negara produsen alutsista terasa lebih kental ketimbang faktor business to business. Akibatnya, Indonesia akan kesulitan mengakses the-know-how-technology jika tidak mengatakan bahwa alih teknologi telah berubah menjadi isu politik internal dari negara produsen alutsista.
Pada titik inilah kemandirian alutsista kita menghadapi tantangan besar. Indonesia bukan satu-satunya negara yang tengah berusaha mewujudkan kemandirian alutsista. Turki dan Korea Selatan merupakan bagian dari negara-negara di dunia yang telah menunjukkan hasil positif dari upaya mereka membangun industri pertahanan.
Turki, misalnya, dalam dua dekade terakhir telah mampu melepaskan ketergantungan mereka atas suplai impor alat pertahanan hingga 70 persen. Beberapa industri pertahanan di Turki bahkan telah mampu masuk ke dalam 100 besar dunia penghasil produk pertahanan. Sebut saja Alsesan, Turkish Aerospace Industry (TAI), dan Roketsan, kesemuanya berbadan hukum BUMS.
Perubahan kebijakan Pemerintah Turki yang membuka pintu bagi masuknya sektor swasta di industri pertahanan memang tidak serta-merta menjadi kunci sukses dalam mendongkrak kapasitas industri pertahanan mereka; karena yang lebih utama adalah komitmen Pemerintah Turki dalam melindungi pertumbuhan industri pertahanannya.
Faktor penting lain yang mendukung pertumbuhan industri pertahanan di Turki adalah penerapan manajemen R&D yang diberlakukan pada sistem di dalam tubuh militer Turki (Turkish Armed Forces/TAF).
Korea Selatan memiliki langkah strategis yang tidak berbeda, yaitu menerapkan pentingnya klausul alih teknologi sebagai bagian dari skema offset atau timbal balik investasi; sehingga jika pada awalnya Korea Selatan mengimpor banyak alutsista, maka proses akuisisi reformasi prosedural terkait alih teknologi mereka lakukan secara berkala seraya menyiapkan industri pertahanan mereka.
Korea Selatan juga tidak ragu melibatkan konglomerasi besar, seperti Samsung dan Daewoo, untuk berpartisipasi mendukung kemandirian industri pertahanan di negara tersebut.
Mengaca pada kebijakan di kedua negara tersebut, kita semakin disadarkan bahwa di balik sebuah industri pertahanan, terdapat pertumbuhan yang cepat di sektor R&D. R&D memang menjadi sebuah investasi yang mahal.
Jika merujuk pada satu perusahaan di Turki saja, yaitu TAI, alokasi anggarannya untuk R&D per 2020 mencapai 402 juta dollar AS atau setara dengan Rp 5,63 triliun (dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS). Dalam situasi ideal, masuknya peran swasta seyogianya mendukung pertumbuhan industri pertahanan sehingga dapat secara perlahan mengurangi independensi kita pada impor alutsista. Ini akan berdampak secara signifikan pada efisiensi anggaran pertahanan.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, kebijakan terkini yang membuka keran swasta masuk ke industri pertahanan telah ketuk palu sehingga BUMNIS pertahanan harus menerimanya sebagai tantangan yang akan memicu daya saing, setelah selama ini seolah dininabobokan oleh keistimewaan posisi mereka sebagai anak emas negara.
M Herindra Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia