Pembelajaran Bahasa dan Relevansinya bagi Kehidupan Siswa
Guru harus bisa menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa, termasuk dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan bukan sebatas pemahaman pengetahuan, melainkan juga untuk bekal bersosial siswa.
Setelah berulang kali melakukan pembelajaran di kelas, tiba-tiba saya dibuat kelabakan dengan satu pertanyaan yang sebenarnya sangat simpel dan sederhana, tetapi rasanya langsung menampar muka saya.
Pertanyaan itu tidak sekali dua kali ditanyakan dalam kelas yang berbeda. Kalimat pertanyaannya seperti ini, ”Pak, apa hubungan atau manfaat materi Bahasa Indonesia dengan kehidupan kami?” Dari pertanyaan itu saya coba mengambil jeda beberapa menit untuk sekadar berpikir mencari relevansi antara materi yang saya ajarkan waktu itu dan kehidupan mereka.
Kebetulan materi yang saya ajarkan adalah teks eksplanasi untuk kelas XI. Untungnya ketika pemaparan materi itu saya masih menyampaikan poin-poin materi di awal, yakni teks eksplanasi secara pengertian.
Pertanyaan tersebut tidak langsung saya jawab, tetapi saya kumpulkan dulu beberapa pertanyaan dari mereka. Lalu, di sesi akhir, saya himpun dan saya jawab satu per satu.
Baca juga: Cerdas Berbahasa, Tafsir Tak Pernah Seragam
Secara tidak langsung dari pertanyaan itu saya harus memutar otak kembali. Artinya, ke depan saat saya merancang pembelajaran dengan konteks materi yang berbeda, saya harus bisa menyelipkan satu pembahasan yang bisa menghubungkan materi itu dengan kehidupan mereka sehari-hari. Itung-itung sebagai bekal mereka.
Saya rasa itu memang sudah menjadi tanggung jawab seorang guru, menyelaraskan materi dengan pola hidup siswa. Tujuannya agar siswa mampu mengambil intisari dari materi, kemudian mereka gunakan sebagai cara pandang baru dalam menjalani kehidupan.
Di sisi lain, materi yang sudah disampaikan tadi supaya tidak hanya tertanam pada pemahaman siswa, tetapi juga mampu menjadi modal dasar mereka dalam hidup bersosialisasi. Cara tersebut juga bisa menambah motivasi diri para siswa agar lebih giat belajar bahasa Indonesia. Selain itu juga supaya materi yang sudah diajarkan di dalam kelas memang benar-benar menjadi suatu padanan ilmu yang sanggup diaplikasikan, bukan lagi hanya sebatas pengetahuan saja.
Pertanyaan yang mereka lontarkan sebenarnya hanya celetukan karena mungkin di pelajaran-pelajaran sebelumnya mereka belum bisa menemukan satu titik hubungan antara materi yang mereka pahami dan kehidupan yang mereka jalani.
Tentu permasalahan semacam itu tidak bisa dianggap remeh. Pendidikan seyogianya mampu mengubah mereka pada satu cara pandang tertentu dalam menjalani hidup. Sebab, ketika mereka di dalam kelas dengan durasi waktu berjam-jam itu semestinya bisa mengubah pola pikir mereka untuk menuju proses pendewasaan.
Pendidikan hanya sebatas pemahaman soal pengetahuan saja. Di luar dari itu, bekal yang mereka peroleh di dalam kelaslah justru sebagai modal mereka hidup bersosial. Contohnya, sebisa mungkin bagaimana dengan materi itu mereka lebih lihai cara berpikirnya ketika dihadapkan suatu fenomena atau wacana yang sedang berkembang saat ini.
Pendidikan hanya sebatas pemahaman soal pengetahuan saja. Di luar dari itu, bekal yang mereka peroleh di dalam kelaslah justru sebagai modal mereka hidup bersosial.
Kelihatannya memang agak sepele, tetapi kalau coba ditanamkan betul-betul, manfaatnya akan sangat besar. Para siswa tidak perlu dipaksa langsung paham saat itu juga. Pemahaman perlu diolah dengan beberapa masalah untuk melihat kebermanfaatan pemahaman itu. Minimal dari situ bisa sebagai bahan pengingat ketika mereka menghadapi problematika hidup yang agak menantang.
Para guru juga kadang tidak langsung begitu saja melihat kebermanfaatan itu karena yang bisa merasakan hanya para siswanya. Guru cukup menyampaikan dan memberikan metode bagaimana menyelesaikan masalah dengan materi yang mereka sampaikan.
Teks eksplanasi
Mengenai teks eksplanasi tadi. Perlu diketahui, hadirnya teks eksplanasi selalu berkaitan dengan fenomena yang berkembang saat ini, baik fenomena sosial maupun alam. Dengan demikian, teks eksplanasi tidak tercipta begitu saja, tetapi ia lahir dari proses sebab akibat kenapa fenomena tersebut bisa terjadi.
Teks eksplanasi membawa mereka pada satu batas sebelum mereka memandang suatu fenomena. Bahwa fenomena juga tidak bisa tercipta tanpa latar belakang kenapa fenomena bisa ada. Selain ada, tentu hadirnya fenomena juga memberikan dampak yang bisa berimbas pada lingkungan sekitarnya. Dari dampak itulah siswa bisa belajar lebih kritis lagi sebelum memberikan respons terhadap dampak fenomena yang terjadi.
Ada banyak fenomena yang bisa dianalisis keberadaannya. Salah satu contoh yang mudah diambil adalah fenomena percepatan arus informasi pada dunia digital. Dunia itu tidak bisa dipisahkan dari para siswa. Setiap hari mereka selalu menikmati informasi-informasi dengan berbagai macam topik di media sosial sehingga jarak dunia digital dengan mereka sangatlah dekat, sedekat urat nadi mereka.
Baca juga: Dari Kemudahan Akses Internet ke Literasi Digital
Dari mata membuka hingga terpejam, sampai membuka lagi anak-anak tidak mungkin bisa lepas dari informasi. Karena dengan semakin banyaknya mereka mengonsumsi informasi, mereka kecenderungan kurang bisa membedakan mana informasi yang prioritas dan tidak. Yang paling bahaya adalah mengonsumsi informasi berlebihan yang kurang manfaat atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan peningkatan kualitas diri mereka.
Adapun dunia digital yang serba cepat semacam itu membuat mereka kadang memiliki cara pandang sendiri yang mampu memengaruhi pola hidup mereka. Apalagi sebagai orangtua kadang dibuat keteteran karena kurang mampu membatasi akses mereka terhadap suatu informasi. Jadi, mau tidak mau, siswa diupayakan mampu memiliki daya benteng kuat untuk menilai informasi yang datang ke mereka.
Maka dari itu, salah satu bekal untuk menghadapinya adalah dengan menanamkan substansi teks eksplanasi di kehidupan mereka. Suatu terobosan baru untuk menilai, menganalisis, dan mengolah informasi agar mereka tidak salah tangkap dan salah tafsir.
Di dalam teks eksplanasi juga terdapat langkah awal yang saya rasa kalau dipraktikkan akan memiliki manfaat yang signifikan, yakni identifikasi fenomena. Bagaimana tidak, untuk memahami fenomena saja, siswa dibimbing agar mereka memiliki kepekaan tinggi dengan melakukan identifikasi fenomena.
Setelah identifikasi, selanjutnya siswa diarahkan untuk menganalisis sebab akibat kenapa dan mengapa fenomena itu bisa datang. Dari situ, mereka akan tahu hulu-hilirnya sebuah fenomena. Kadang tanpa tahu hulunya, orang mudah menilai. Dan, itu yang menjadikan orang akan salah sangka karena tidak tahu titik awal penyebabnya.
Setelah identifikasi, selanjutnya siswa diarahkan untuk menganalisis sebab akibat kenapa dan mengapa fenomena itu bisa datang.
Lebih mengerucut lagi, misalnya, para siswa bisa memperkirakan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekolahnya, terutama soal kebijakan, baik itu kebijakan sekolah maupun kebijakan yang berhubungan dengan keberlangsungan pendidikan mereka.
Sudah barang tentu pembuat kebijakan harus berhati-hati lantaran para siswanya sudah mempunyai daya kontrol sendiri terhadap diri dan pikirannya. Mereka bisa menimbang serta mengetahui dari awal bagaimana permulaan dan dampak apa saja yang terjadi ketika kebijakan itu diterapkan.
Secara otomatis dan tanpa disadari, hanya dengan teks eksplanasi saja kalau pemahaman antara guru dan siswa saling berkesinambungan, maka imbasnya bisa melatih kedewasaan berpikir para siswanya. Mereka akan mempunyai kewaspadaan dan kehati-hatian untuk merespons sesuatu.
Sejak pertanyaan itu, saya langsung kontak beberapa teman yang juga berprofesi sama. Saya langsung tanya apakah para siswanya juga pernah mempertanyakan hal yang sama dengan apa yang ditanyakan siswa yang saya ajar. Namun, ternyata saya menemukan hal berbeda. Satu dua orang menjawab ada. Namun, itu skalanya sangat sedikit.
Saya sebagai guru malah merasa senang. Meski pertanyaannya bersifat celetukan atau spontanitas, saya menganggapnya itu merupakan kemajuan karena tidak semua siswa bisa berpikir sampai ke sana.
Baca juga: Pendidikan yang Memerdekakan
Selain itu, jarang juga ada siswa yang berani bertanya tentang hal demikian. Itu pertanyaan yang memerlukan keberanian tinggi karena dengan pertanyaan seperti itu dan jika guru menangkapnya kurang baik, bisa juga guru akan mempunyai persepsi lain. Persepsi itu sejalan dengan anggapan bahwa murid itu menganggap remeh guru tersebut. Padahal, model pertanyaan sejenis itu memang wajib dan patut dipertanyakan.
Ahmad Baharuddin Surya, Aktivis Muda NU, Pengajar Bahasa Indonesia di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo