Dua belas tahun silam, seorang oknum pejabat kepolisian mengibaratkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai cicak ketika menyelidiki kasus-kasus korupsi yang melibatkan polisi, sedangkan polisi diibaratkannya buaya.
Oleh
Linda Christanty
·5 menit baca
Suatu sore saya menerima telepon dari Ida, sahabat masa sekolah di Pulau Bangka. Dia baru pulang dari memetik sahang atau lada di Kelurahan Sinar Baru, Kecamatan Sungailiat. Tetapi, ini bukan cerita utamanya. Dia kemudian berkisah tentang teman kerjanya di kebun lada itu, seorang perempuan yang memiliki kakak kembar seekor buaya. Ibu perempuan tersebut harus merelakan putranya dihanyutkan di sungai oleh sesepuh kampung yang telah membantu proses persalinan. Di waktu tertentu, dia pergi ke sungai, dengan membawa ketan, telur ayam, dan pisang emas untuk santapan putranya. Ida berharap saya tertarik mewawancarai temannya, adik buaya itu.
Kisah-kisah manusia melahirkan buaya terdengar lumrah dalam budaya Melayu di pulau timah terbesar di dunia ini.
Salah seorang tante saya, Rosmala, yang biasa dipanggil Mak Nga An oleh keponakan-keponakannya, juga pernah bercerita tentang pertalian keluarga antara buaya dan manusia.
Suatu malam Mak Nga An menemani seorang perempuan kerabatnya pergi ke Sungai Kranggan. Perempuan itu menenteng seplastik telur ayam kampung. Mereka membawa senter masing-masing, berjalan menembus udara dingin dan kegelapan.
Tiba di tepi Sungai Kranggan, Mak Nga An mendengar perempuan itu berseru, ”Buntung!”, berkali-kali. Seekor buaya terlihat muncul di permukaan sungai. Ekornya buntung. Mulutnya menganga lebar. Seplastik telur lantas dimasukkan ke mulut Si Buntung. Buaya itu adalah saudara kembar nenek buyut si perempuan. Leluhur tersayang.
Ketika usia dan pengetahuan bertambah, saya pun mulai memahami betapa berbahaya sampah plastik. Saya sungguh prihatin memikirkan nasib Si Buntung dan buaya lain. Terlalu banyak menelan plastik dapat membuat nyawa buaya melayang.
Masa kecil saya dan Ida dimeriahkan oleh sosok Mang Bandu. Lelaki ini bertubuh tinggi gemuk, berperut besar, berambut tipis. Kulitnya hitam keling. Mang Bandu orang Bugis, yang menikahi Bik Isah, orang Melayu-Toboali. Dia pegawai di perusahaan penambangan timah. Hobinya memelihara buaya. Meski tidak melihat langsung, dia dapat mengetahui kapan peliharaannya terancam bahaya atau sukar tidur akibat ulah manusia. Ida masih ingat pengalamannya bermain di sungai dan menginjak sebatang kayu yang mengambang. Pada hari itu juga, Bik Isah tiba-tiba mendatangi ibunya untuk menyampaikan pesan khusus Mang Bandu: Tolong jangan ganggu buaya itu.
Buaya juga dipercayai sebagai reinkarnasi leluhur dalam budaya Buton. Johan Willem Schoorl, pejabat Belanda dan guru besar di Vrije Universiteit, Amsterdam, menulis antara lain tentang Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum yang berubah menjadi buaya, dalam bukunya, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Wilayah Kesultanan Buton dulu meliputi sejumlah pulau, termasuk Pulau Buton dan Pulau Muna, sebelum menjadi bagian dari negara Indonesia. Kini Pulau Buton dan Pulau Muna berstatus kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Keadaan Sangia-i-rape sungguh meresahkan putranya, Sangia Wambulu, karena dia mulai menunjukkan tanda-tanda akan menjadi buaya. Sangia Wambulu lantas mengajak sang ayah pergi ke laut. Setelah melepas sarung dan dimandikan dengan air laut oleh putranya, Sangia-i-rape berubah menjadi buaya. Perubahan fisik dan alam Sangia-i-rape dimaknai sangat suci, dinamai dauru, berakar dari kata dawr, yang berarti perubahan. Schoorl menulis pernyataan informannya tentang buaya istimewa ini, ”… ia jelas telah begitu dekat dengan Tuhan (opoopoti oputa) karena dapat menjadi apa saja yang diinginkannya”.
Schoorl melakukan penelitian di Buton tahun 1981 sampai 1982. Penelitian terhadap sejarah dan budaya Buton, khususnya terhadap orang-orang Muna, telah dimulai Jules Couvreur lebih awal. Dia bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda yang ditugaskan di Muna pada 1933 sampai 1935. Tugas negara waktu itu memberinya kesempatan untuk mengetahui sejarah dan budaya setempat.
Couvreur memperoleh informasi bahwa kelahiran bayi berbentuk hewan, seperti ular, buaya, atau katak, disebabkan oleh perbuatan inses atau hubungan seks antarsaudara kandung atau dengan orangtua kandung. Dia menguraikannya pada bab ”Kebiasaan pada Pembukaan Ladang dan pada Panen Jagung dan Padi” dalam bukunya, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna.
Dalam seminggu, ada tiga hari baik bagi orang Muna untuk membakar hutan dan membuka ladang, yaitu Selasa, Rabu, dan Kamis. Jika hujan turun pada hari-hari tersebut, Couvreur menjelaskan, ”maka ini adalah tanda bahwa roh-roh marah karena ada sesuatu yang tidak baik yang terjadi di kampung, umpamanya terjadi perbuatan inses”. Bayi-bayi manusia berbentuk hewan harus dibuang ke laut agar panen berhasil. Jika meninggal, tidak boleh dikubur dalam tanah. Kakak teman Ida, seekor buaya di Pulau Bangka, pun dihanyutkan di sungai yang mengalir ke laut meski tidak lahir dari hubungan inses.
Di paragraf lain, Couvreur merekam sebuah kasus yang terjadi ketika dia berada di Muna, ”Pada tahun 1934 di kampung Lemoambo seorang ayah bersenggama dengan anaknya sehingga anaknya menjadi hamil. Hal itu terungkap karena ladang tidak bisa dibakar karena hujan terus-menerus.” Orang-orang masa itu rupanya lebih menganggap kasus ini sebagai penyebab gagal panen, bukan tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Kata ”inses” pun lebih dekat maknanya dengan kata ”penyimpangan” ketimbang kata ”kejahatan”. Kata ini tidaklah tepat untuk menjelaskan tindak kejahatan kekerasan seksual dari sisi korban.
Sayang sekali, buaya di Indonesia memiliki reputasi lumayan buruk secara umum jika dihubungkan dengan sejarah penegakan hukum. Siapa yang masih ingat kasus Cicak versus Buaya? Dua belas tahun silam, seorang oknum pejabat kepolisian mengibaratkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai cicak ketika menyelidiki kasus-kasus korupsi yang melibatkan polisi, sedangkan polisi diibaratkannya buaya. Kasus Cicak versus Buaya berlangsung sampai tiga jilid, berlanjut dalam versi-versi lain. Alhasil, cicak sekarang tengah sekarat.