Mengompensasi Tahun yang Hilang
Seperti dikatakan Presiden Jokowi kepada para direktur utama BUMN, sekarang ini kecepatan mengambil keputusan itu penting. Tentu harus disertai profesionalisme agar tidak gegabah.
Ada pernyataan menarik dari ekonom Raden Pardede setelah dua tahun pemerintahan Joko Widodo- Ma’ruf Amin berjalan.
Pandemi Covid-19 membuat pemerintahan ini kehilangan dua tahun kesempatan meninggalkan warisan (legacy). Untuk menutup dua tahun yang hilang itu, tidak ada pilihan lain selain tiga tahun yang tersisa ini, pembangunan harus didorong dengan tingkat pertumbuhan rata-rata di atas 6 persen.
Bagaimana caranya? Kita tidak bisa lagi menjalankan pembangunan seperti yang kemarin, tidak bisa lagi business as usual. Kita harus melakukan transformasi besar. Semua sektor harus didorong untuk mampu memberikan nilai tambah yang tinggi.
Di sinilah titik persoalan yang harus dipecahkan. Berpikir out of the box harus bisa diterapkan. Sebab, pertumbuhan di atas 6 persen hanya bisa dilakukan apabila ada investasi besar di bidang yang memberi nilai tambah tinggi. Dari investasi itulah diharapkan terbuka lapangan kerja dan dari sanalah kemudian ada peningkatan daya beli masyarakat.
Perekonomian Indonesia selama ini memang sangat bertumpu pada konsumsi masyarakat dan investasi. Dari kedua sektor itu, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 70 persen. Stimulus pemerintah yang menjadi tumpuan selama pandemi Covid-19 hanya memberikan kontribusi sekitar 10 persen terhadap pertumbuhan.
Pada periode pemerintahan kedua ini, Presiden Jokowi sudah mencanangkan untuk mendorong investasi.
Pada periode pemerintahan kedua ini, Presiden Jokowi sudah mencanangkan untuk mendorong investasi. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang diluncurkan adalah untuk mempermudah masuknya investasi.
Penyederhanaan perizinan dengan menggabungkan lebih dari 70 undang-undang menjadi satu undang-undang bukan pekerjaan yang mudah di tengah kuatnya ego sektoral. Namun, pilihan itu harus diambil demi mengalirnya investasi ke Indonesia.
Tantangan sekarang bagaimana mengimplementasikan undang-undang tersebut. The devil is in detail. Pelaksanaannya harus melewati perjuangan yang lain karena ini berkaitan dengan perubahan sikap kerja, berkaitan dengan perubahan pola pikir dari banyak kementerian dan dari banyak orang.
Singapura saja bisa
Dengan penduduk sekitar 270 juta, sumber daya alam (SDA) melimpah, angkatan kerja yang masih muda dan produktif, serta proyeksi akan menjadi kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia, Indonesia dilirik banyak orang. Pengalaman satu tahun menjadi Duta Besar Indonesia di Singapura, saya bisa merasakan bagaimana besarnya perhatian dan minat masyarakat dunia kepada Indonesia.
Semua itu sekarang terpulang kepada kita sendiri. Seberapa besar sebenarnya keinginan dan kemauan kita bersama untuk memanfaatkan semua kesempatan itu? Seberapa besar kemampuan kita mau berubah dan bersikap terbuka terhadap masuknya investasi terutama dari luar negeri?
Kita harus jujur mengatakan, sikap xenofobia itu masih ada di antara kita. Kecurigaan kepada masuknya investasi asing masih tinggi. Akibatnya, pelaksanaan UU Cipta Kerja tak sejalan dengan minat kita untuk mengundang masuk investasi.
Presiden Jokowi sangat menyadari kenyataan itu. Saat memberikan pengarahan kepada para direktur utama BUMN, Presiden mengeluhkan upaya dirinya untuk membuka masuknya investasi, tetapi tak diikuti dengan kecepatan untuk melakukan eksekusi di lapangan. Bahkan Presiden menyatakan malu sudah menawarkan Indonesia, tetapi di lapangan para investor itu kesulitan untuk menanamkan modalnya.
Kita harus mau berkaca kepada negara-negara lain yang lebih terbuka dan ramah kepada masuknya investasi dari luar. Salah satu yang bisa jadi rujukan adalah Singapura. Bagaimana negara kota ini bisa berubah jadi negara maju dan mampu menyejahterakan rakyatnya—dengan pendapatan per kapita mencapai 65.000 dollar AS—padahal tak banyak SDA yang mereka miliki.
Kunci keberhasilannya terletak pada sikap mereka yang terbuka dan adanya kepastian hukum. Hampir semua korporasi besar dunia punya kantor dan investasi di Singapura. Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan, total investasi AS di Singapura mencapai 315 miliar dollar AS. Ini jauh lebih besar dari total gabungan investasi AS di China, India, dan Korea Selatan.
Mari sekarang kita lihat total investasi langsung (FDI) yang masuk ke Indonesia tahun lalu. Terbesar datang dari Singapura, yakni 9,8 miliar dollar AS. Jumlah itu sepertiga dari total FDI yang ditanamkan di negara kita. Artinya, total FDI 2020 yang masuk sekitar 30 miliar dollar AS.
Pertanyaannya, apakah untuk ukuran Indonesia yang begitu besar dan kaya SDA, jumlah FDI itu memadai? Pasti kita akan menjawab tidak. Seharusnya kita bisa lebih besar dari itu karena potensi yang kita miliki jauh lebih besar dari yang sudah direalisasikan.
Baca juga : Saat Presiden Jokowi Menyentil BUMN Gula
Belum terlambat
Tentu kita tak perlu kecil hati apalagi sampai patah semangat. Masih ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki sikap dan merebut peluang yang ada. Terutama pascapandemi Covid-19, ketika semua negara dan perusahaan berusaha untuk bangkit, mengganti dua tahun kesempatan yang hilang.
Dunia sedang menghadapi persoalan di sisi rantai pasokan. Pemulihan ekonomi terkendala oleh terbatasnya pasokan, baik energi maupun produk. Bahkan persoalan energi menjadi sangat serius karena memengaruhi sisi produksi.
China pada kuartal III ini pertumbuhannya tak mencapai 4,5 persen (yoy), padahal pada dua kuartal pertama 2021 pertumbuhan melesat tinggi.
Keterbatasan pasokan listrik membuat banyak pabrik mengurangi produksi dan akibatnya kuartal IV perekonomian China akan tertekan kalau mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan pasokan energinya.
Hal yang sama terjadi di negara-negara Eropa. Transisi energi untuk menciptakan dunia yang lebih hijau ternyata tak ditopang oleh energi alternatif yang lebih tersedia dan terjangkau harganya. Akibatnya, mereka tak hanya harus menghadapi musim dingin yang lebih dingin dan gelap, tetapi juga akan ada gangguan di sisi produksi.
Terganggunya rantai pasokan menyebabkan peningkatan inflasi di Inggris dan AS. Barang-barang kebutuhan masyarakat tak bisa dipenuhi dengan jumlah yang mencukupi sehingga membuat harga naik. Di Inggris bahkan orang harus membeli bensin dengan jeriken karena banyak mobil kehabisan bahan bakar di tengah jalan.
Kalau kita cerdas, kita akan bisa mengisi kekosongan barang yang dibutuhkan masyarakat dunia. Sebagai contoh sepatu. Tiga negara produsen utama Nike, misalnya, adalah Indonesia, China, dan Vietnam. Ketika sekarang produksi di China terganggu, saatnya Indonesia mengambil pangsa pasar China. Ini hanya membutuhkan peningkatan jalur produksi karena kita punya tenaga kerja yang terampil dan industri yang andal di sektor ini.
Saat Wakil Presiden AS Kamala Harris berkunjung ke Singapura, satu isu yang diangkat adalah sisi rantai pasokan. Terutama untuk memenuhi kebutuhan semikonduktor bagi perusahaan otomotif. AS mengajak Singapura bekerja sama mengisi kebutuhan ini. Indonesia bisa ikut serta menjadi bagian dari kolaborasi itu karena Singapura pasti membutuhkan tempat dan tenaga kerja untuk industri semikonduktor itu.
Begitu banyak peluang yang ada terutama pascapandemi Covid-19. Semua negara semakin terbuka matanya bahwa tak mungkin hanya bergantung pada satu negara. Selama ini nyaris China saja yang jadi sumber pasokan. Ketika China diguncang Covid-19, seluruh rantai pasok dunia jadi terganggu.
Sekarang yang kita butuhkan adalah memetakan disrupsi yang terjadi dan di sisi mana kita memiliki keunggulan. Kita optimalkan sisi keunggulan kita untuk jadi investasi yang benar-benar nyata. Kita berikan kemudahan bagi semua investor untuk masuk ke sektor yang akan jadi keunggulan kita itu.
UU Cipta Kerja sudah ada, sekarang tinggal butuh kemauan untuk memberikan kepastian pelaksanaannya kepada investor. Kita benar-benar berikan kenyamanan kepada mereka untuk berusaha di Indonesia dan jangan diganggu lagi dengan birokrasi yang panjang serta biaya yang mahal.
Seperti dikatakan Presiden Jokowi kepada para direktur utama BUMN, sekarang ini kecepatan mengambil keputusan itu penting. Tentu harus disertai profesionalisme agar tak gegabah. Kalau kita tidak bisa melakukan sendiri, ajak orang lain untuk berpartner.
Sekali lagi, yang ingin masuk Indonesia itu banyak, hanya sering kali mereka terlalu lama digantung dan tidak diberikan jawaban sehingga investor itu bingung. Indonesia ini merupakan tujuan investasi atau bukan?
Suryopratomo, Duta Besar RI untuk Singapura