Masih ada masalah kelembagaan dalam pengelolaan imbal jasa lingkungan yang melibatkan pemerintah. Perlu peraturan yang menjelaskan peran-peran, hak, dan kewajiban dari tiap-tiap pemangku kepentingan dalam program itu.
Oleh
ARINDRA KARAMOY
·4 menit baca
Dalam Expo 2020 Dubai yang dibuka pada awal Oktober 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hadir mempromosikan serta membuka peluang investasi pada sektor kehutanan. Peluang investasi tersebut berupa pengelolaan kawasan hutan dan pemanfaatan hutan, jasa wisata alam, serta produk kayu dan turunannya.
Jasa wisata alam adalah salah satu manfaat alam atau jasa lingkungan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi ataupun ekologi bagi masyarakat sekitar dan juga pengunjung tempat wisata tersebut. Namun, implementasi mekanisme jasa lingkungan tidak mudah, terutama karena melibatkan banyak pihak. Kompleksitas kelembagaan dalam implementasi imbal jasa lingkungan di Indonesia menjadi tantangan tersendiri.
Emily Fripp (2014) menjelaskan bahwa istilah ”jasa ekosistem” mengacu pada berbagai manfaat yang diperoleh dari lingkungan alam. Contohnya, termasuk pasokan makanan, air, dan kayu (jasa penyediaan); pengaturan kualitas udara, iklim, dan risiko banjir (jasa pengaturan); kesempatan rekreasi, pariwisata, dan pendidikan (jasa budaya); serta fungsi mendasar yang penting, seperti pembentukan tanah dan siklus nutrisi (layanan pendukung).
Fripp menambahkan, pembayaran jasa ekosistem (payments for ecosystem services) terjadi ketika penerima manfaat atau pengguna jasa ekosistem membayar kepada penyedia jasa tersebut. Dalam praktiknya, dapat berupa serangkaian pembayaran sebagai imbalan atas penerimaan manfaat atau jasa ekosistem. Ide dasarnya adalah bahwa siapa pun yang menyediakan layanan harus dibayar untuk melakukannya.
Jika menggunakan pendekatan kelembagaan, berarti kita akan menganalisis tentang peraturan-peraturan dan juga lembaga-lembaga di suatu tempat. Acemoglu dan Robinson dalam karya monumentalnya, Why Nations Fail, menjelaskan tentang tesis mengapa negara gagal. Menurut mereka, kegagalan suatu negara untuk maju adalah masalah kelembagaan. Dengan demikian, peran kelembagaan dalam suatu negara sangatlah penting untuk ukuran kemajuan negara tersebut.
Masalah kelembagaan ini juga terjadi di Indonesia, bahkan sudah menjadi masalah klasik. Tidak hanya dalam pengelolaan lingkungan, tetapi juga dalam berbagai aspek pembangunan. Dari masalah tata kelola lembaga hingga peraturan-peraturan yang tumpang tindih.
Dalam studinya, Akhmad Fauzi dan Zuzy Anna (2013) mendeskripsikan dengan jelas tentang problem klasik ini yang terjadi dalam pengelolaan imbal jasa lingkungan. Masalah kelembagaan akan sangat kentara jika program imbal jasa lingkungan melibatkan pemerintah.
Di Indonesia, pemerintah daerah mengelola sepenuhnya pengelolaan lingkungan hidup. Masalahnya, dalam program imbal jasa lingkungan kemungkinan besar akan melibatkan transaksi antara penyedia jasa lingkungan dan masyarakat di hilir yang menikmati hasil dari penyedia jasa.
Jika program itu melibatkan pemerintah daerah atau lembaga negara tertentu, perlu peraturan yang menjelaskan peran-peran, hak, dan kewajiban dari masing-masing pemangku kepentingan dalam program tersebut. Terlebih lagi jika sudah melibatkan suatu nilai pembayaran.
Berbeda jika imbal jasa lingkungan hanya melibatkan sektor swasta, misalnya pabrik atau perusahaan yang bertindak sebagai konsumen dalam membeli jasa lingkungan masyarakat penyedia jasa lingkungan. Hambatan secara regulasi jauh lebih mulus karena tidak secara langsung melibatkan pihak pemerintah.
Masalah fiskal ini merupakan salah satu kendala dalam kelancaran perancangan skema program imbal jasa lingkungan. Lembaga pemerintahan tidak dapat dengan mudah menerima bayaran jika belum ada aturannya yang jelas. Jika dianggap melanggar dan dinilai telah menerima sejumlah uang, lembaga atau pejabat tersebut dapat dituduh terlibat korupsi.
Tumpang tindih regulasi
Tumpang tindihnya regulasi menjadi salah satu penyebab kurang luwesnya program imbal jasa lingkungan dalam merancang suatu skema. Regulasi antara peraturan antar-kementerian, lembaga pemerintah pusat dan daerah, saling tumpang tindih sehingga membingungkan peraturan mana yang seharusnya dipakai.
Masalah kelembagaan lainnya berkaitan dengan hak kepemilikan, terutama kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan sudah menjadi langganan menjadi masalah di daerah, misalnya yang berhubungan dengan hutan. Ada kepemilikan hutan komunitas, ada juga kepemilikan negara. Masyarakat juga dapat menyewa hutan yang bukan miliknya untuk beberapa tahun. Terkait dengan imbal jasa lingkungan di bidang kehutanan, misalnya, hak kepemilikan ini sangatlah penting agar semua pihak tahu hak dan kewajiban dalam menggunakan hutan tersebut.
Terkait dengan imbal jasa lingkungan di bidang kehutanan, misalnya, hak kepemilikan ini sangatlah penting.
Berikutnya yang juga penting adalah masalah biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang muncul belakangan, misalnya saat negosiasi dan melakukan kontrak. Ini membuat biaya total menjadi meningkat sehingga tidak lagi efisien. Biaya ini muncul karena masalah tata kelola lembaga, termasuk sumber daya manusianya. Korupsi, pungli, uang bawah meja, dan semacamnya, termasuk dalam biaya transaksi yang dalam konsep ekonomi neoklasik digolongkan dalam kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah.
Biaya transaksi ini juga terjadi di program imbal jasa lingkungan. Jika peraturan tidak jelas, biaya transaksi sangat mungkin akan muncul. Misalnya, negosiasi antara pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat yang berlarut-larut karena ketidakjelasan aturan, secara tidak langsung akan memunculkan biaya. Belum lagi dengan para pemburu rente yang berkeliaran di sekitar pemangku kepentingan dari program imbal jasa lingkungan bagaikan burung bangkai siap melahap mencari profit.
Dari penjelasan di atas, gambaran tentang masalah kelembagaan dalam imbal jasa lingkungan masih menjadi hambatan. Imbal jasa lingkungan sebagai salah satu cara untuk mengelola lingkungan berdasarkan sistem kerja pasar sudah baik meski mungkin ada sedikit perbedaan dengan di luar negeri yang bersifat sukarela.
Reformasi kelembagaan menyeluruh terutama terkait dengan peraturan-peraturan yang jelas tanpa tumpang tindih adalah hal mendesak. Harapannya, jika perubahan itu dapat terjadi, demikian pun perilaku pemangku kepentingan dalam imbal jasa lingkungan.
Arindra Karamoy, Mahasiswa Doktoral Program Pembangunan Berkelanjutan FEB Universitas Trisakti