Liberalisasi Ekonomi Kebablasan
Kalau kita tempatkan dengan latar belakang falsafah tentang sistem ekonomi, sangat jelas Indonesia termasuk yang menjalankan kebijakan ekonomi sangat liberal. Perekonomian Indonesia sejak 1967 di tangan kaum neoliberal.
Sejak Republik Indonesia berdiri sampai 1967, tidak pernah ada rincian konkret dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang bunyinya: ”Barang yang penting bagi negara dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Yang ada, rinciannya justru dimulai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dengan maksud agar ”Barang yang penting bagi negara dan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak” itu bisa dikuasai swasta, terutama swasta asing.
Mari kita telaah lebih dalam.
UU Nomor 1 Tahun 1967
Undang-undang ini adalah yang pertama kali terbit sebagai hasil kerja tim ekonomi yang terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley (The Berkeley Mafia).
Saya kutip buku Economists with Guns yang menggambarkan kelahiran undang-undang tersebut.
Sangat jelas betapa besar pengaruh Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang praktis mendiktekan isi undang-undang yang sangat krusial itu guna mewujudkan ”penjajahan ekonomi” oleh korporatokrasi dan Pemerintah AS. Tentang terbitnya UU No 1 Tahun 1967 tersebut, Bradley Simpson menulis sebagai berikut.
Halaman 235: ”AS sangat dominan memengaruhi penyusunan undang-undang tentang investasi Indonesia. Seorang konsultan dari Van Sickle Associates yang berdomisili di Denver (yang baru saja menandatangani kontrak bagi hasil untuk pembangunan dan pengoperasian dua perusahaan plywood) membantu ekonom Widjojo (Nitisastro—Red) membuat undang-undang tentang penanaman modal asing. Setelah drafnya selesai, para pejabat Indonesia mengirimkannya ke Kedubes AS di Jakarta dengan permohonan agar Kedubes AS memberikan komentar untuk ’perbaikan-perbaikan yang mencerminkan pendirian para investor AS’.”
Ditambahkan, ”Para ahli hukum dari Kementerian Luar Negeri AS mengirimkan kembali draf undang-undangnya dengan usulan baris demi baris...”.
Ditambahkan, ”Para ahli hukum dari Kementerian Luar Negeri AS mengirimkan kembali draf undang-undangnya dengan usulan baris demi baris. Mereka keberatan terhadap draf undang-undangnya karena draf tersebut memberikan terlampau banyak kewenangan kepada pemerintah (too much discretionary authority to the government), dan karena itu merupakan hambatan buat para investor yang potensial (discouraging to potential investors), karena sektor BUMN diberi peluang untuk banyak bidang usaha yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan besar asing yang ingin memasuki sektor-sektor tersebut, terutama perusahaan-perusahaan ekstraktif”.
Selanjutnya, ”Widjojo mengubah undang-undang yang bersangkutan, yang disesuaikan dengan usulan-usulan dari AS, dengan menggunakan kata-kata yang akan menjamin liberalisasi yang maksimal, yang disukainya juga, tetapi sambil menyogok (placating) kaum nasionalis yang selalu waspada terhadap tanda-tanda dari tunduknya Jakarta pada tekanan-tekanan dari Barat. Episode ini mengingatkan kita dengan sangat jelas tentang struktur kekuasaan yang didiktekan para pendukung rezim Soeharto dalam hal keputusan-keputusan sangat penting yang dibuat oleh negara-negara merdeka”.
Melalui proses yang digambarkan oleh kutipan itu, terbitlah UU No 1 Tahun 1967 tentang PMA. Pasal 6 Ayat 1 berbunyi: ”Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut: a. pelabuhan-pelabuhan; b. produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum; c. telekomunikasi; d. pelajaran; e. penerbangan; f. air minum; g. kereta api umum; h. pembangkitan tenaga atom; i. mass media”.
Baca juga : Hilirisasi Nikel dan Kisah SDA Kita
Artinya, asing boleh menguasainya, tetapi harus bersama-sama dengan perusahaan domestik. Sampai berapa persen asing boleh menguasainya dirinci dalam undang-undang berikutnya, yaitu UU No 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Pasal 3 Ayat (1) UU ini berbunyi: ”Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional. Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%”.
Ini berarti bahwa perusahaan asing sudah boleh memiliki 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Satu tahun sebelumnya, yaitu dalam UU No 1 Tahun 1967, masih belum ada ketentuan berapa persen asing boleh memilikinya.
PP No 20 Tahun 1994
Tahun 1994 terbit Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Tahun 1994. Pasal 5 Ayat 1 isinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.
Bunyinya: ”Perusahaan yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Huruf a dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom, dan mass media”.
Pasal 6 Ayat 1 menyatakan: ”Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian”.
Artinya, perusahaan asing tidak boleh memasuki secara penuh bidang usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak beserta rinciannya. UU No 6 Tahun 1968 Pasal 3 Ayat 1 secara implisit menyatakan, asing boleh memiliki dan menguasai sampai 49 persen. UU No 4 Tahun 1982 melarang asing sama sekali masuk dalam bidang usaha pers.
PP No 20 Tahun 1994 lalu dengan enaknya menyatakan bahwa jika di dalam perusahaan kandungan Indonesia-nya adalah 5 persen, sudah dianggap perusahaan Indonesia yang bisa melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak beserta rinciannya, termasuk media massa. Jadi, PP No 20 Tahun 1994 menentang UU No 1 Tahun 1967, UU No 6 Tahun 1968, UU No 4 Tahun 1982, dan menentang jiwa Pasal 33 UUD 1945.
PP No 20 Tahun 1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia sebesar 5 persen.
Dalam aspek lain, PP No 20 Tahun 1994 juga menentang UU No 6 Tahun 1968 Pasal 6 yang berbunyi: ”Waktu berusaha bagi perusahaan asing, baik perusahaan baru maupun lama, dibatasi sebagai berikut: a. Dalam bidang perdagangan berakhir pada tanggal 31 Desember 1997; b. Dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997; c. Dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun”.
PP No 20 Tahun 1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia sebesar 5 persen. Tak ada lagi pembatasan waktu tentang dikuranginya porsi modal asing. Yang sangat menyakitkan juga ialah diambilnya rumusan Pasal 33 UUD 1945 secara mentah-mentah, yang lalu dikatakan bahwa itu sekarang boleh ada di tangan asing dengan kandungan Indonesia 5 persen. Jadi seperti menantang atau meremehkan UUD 1945.
Infrastructure Summit I dan II
Dalam Infrastructure Summit I, 17-18 Januari 2005, yang diselenggarakan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, dikemukakan, Indonesia membuka pintu lebar-lebar buat investor asing untuk berinvestasi dengan motif memperoleh laba di bidang infrastruktur dan barang-barang publik lainnya. Kepada masyarakat bisnis dan korporasi diberitahukan, tak ada cabang produksi yang biasanya disebut public goods yang tertutup bagi investor swasta, termasuk asing.
Dalam publikasi berjudul ”Indonesia, Infrastructure Summit, January 2005” tercantum pidato Aburizal yang menyatakan: ”The January 2005 Summit focused on a large number of concrete opportunities in various sectors such as toll roads, energy, communication, water and transportation”. ”We invite you to be our partners. We invite you to take advantage of the huge opportunity to invest in our economy. We invite you to prosper together”. ”The government can provide around 17% of the total investment, while the rest is expected from non-government sources”.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menutup Summit mengatakan, ”To put this in sound commercial terms, we wish for outcomes in fees and tolls that are commercially sound, competitively determined, predictable and fair. If the charges and fees for infrastructure services are competitive and tendered, and regulated by contracts that include indexation against cost charges, for example, this makes infrastructure earnings less risky and capable of attracting much capital at reasonable cost.”
Sangat jelas bahwa infrastruktur yang merupakan barang publik, di Indonesia menjadi barang dan jasa yang dijadikan obyek bisnis untuk memperoleh laba.
Inti pidato kedua pejabat itu adalah, pertama, Indonesia hanya punya uang 17 persen untuk membangun infrastruktur. Sisanya diharapkan dari swasta, terutama swasta asing, karena banyaknya undangan yang ditujukan kepada perusahaan asing.
Kedua, Indonesia mengundang mereka untuk mengambil manfaat dari infrastruktur yang mesti menguntungkan karena di-indeksasi terhadap biaya (cost).
Sangat jelas bahwa infrastruktur yang merupakan barang publik, di Indonesia menjadi barang dan jasa yang dijadikan obyek bisnis untuk memperoleh laba. Jalan pikiran yang jarang saya jumpai di negara-negara kapitalis dan sudah sangat maju, di mana rakyatnya sudah kaya. Namun, di Indonesia, rakyat yang masih miskin harus membayar jika ingin menggunakan infrastruktur, supaya bisa memberikan keuntungan buat investor, yang adalah swasta asing atau domestik, yang semua tentu bermodal besar atau kaya.
Infrastructure Summit II diselenggarakan Juni 2006 ketika menteri koordinator perekonomian dijabat Boediono. Boediono mengulangi dan mempertegas yang telah dikemukakan pendahulunya, dengan tambahan bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan sedikit pun antara investor asing dan investor Indonesia.
UU Penanaman Modal No 25/2007
Undang-undang ini menggantikan semua perundang-undangan dan peraturan di bidang penanaman modal. Butir-butir pokoknya dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pasal 1 yang mendefinisikan ”Ketentuan Umum” dan mempunyai banyak ayat, intinya menyatakan tak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. Pasal 6 menyatakan, ”Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun, yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia...”.
Pasal 7 menegaskan, ”Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang”.
Pasal 8 Ayat (3) membolehkan perusahaan asing melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing dengan keleluasaan sangat besar.
Untuk lengkapnya bunyi Pasal 8 Ayat (3) adalah sebagai berikut. ”Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap: a. modal; b. keuntungan, bunga bank, dividen, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk: 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi, atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal.
Kemudian, d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman; f. royalti atau biaya yang harus dibayar; g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian; j. kompensasi atas pengambilalihan; k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Pasal 12 menyatakan, semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
Lampiran Perpres No 36 Tahun 2010 antara lain mencakup bidang usaha budidaya ganja, perjudian/kasino, dan industri minuman mengandung alkohol. Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk hak guna usaha, 80 tahun untuk hak guna bangunan, dan 70 tahun untuk hak pakai.
Maka, banyak suara yang mengatakan perekonomian Indonesia sejak 1967 ada di tangan kaum neoliberal.
Liberalisasi sebesar-besarnya
Dari UU No 1 Tahun 1967 sampai dengan UU No 25 Tahun 2007 terlihat sangat jelas kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang secara sistematis dan konsisten terus diarahkan pada kebebasan atau liberalisasi yang sebesar mungkin.
Mekanisme pasar diperankan semakin besar, dan pada akhirnya Indonesia praktis tak mengenal barang dan jasa publik, yang di mana pun di dunia disediakan oleh pemerintah, dibiayai bersama secara gotong royong, dan digunakan dengan cuma-cuma oleh rakyatnya yang membayar pajak.
Kalau kita tempatkan dengan latar belakang falsafah tentang sistem ekonomi, sangat jelas bahwa Indonesia termasuk yang menjalankan kebijakan ekonomi sangat liberal. Maka, banyak suara yang mengatakan perekonomian Indonesia sejak 1967 ada di tangan kaum neoliberal. Gambarannya pada saat ini tak ada miripnya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001-2004