Kisah kehidupan pekerja seni jadi drama memesona ketika dilengkapi dengan fragmen kesengsaraannya. Namun, ketika pandemi Covid-19 melanda, pesona itu menjelma jadi kemiskinan yang nyata menyiksa.
Oleh
AGUS DERMAWAN T
·6 menit baca
Dunia internasional menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Pengentasan Kemiskinan. Lalu statistik kaum papa dan lata dibikin. Apalagi dalam 20 bulan terakhir ketika pandemi Covid-19 meluruk, yang menyebabkan jutaan orang mendadak semakin miskin karena tidak memiliki pekerjaan. Di sela-sela jajaran statistik miskin itu adalah pekerja seni, yang tidak hanya kehilangan ruang berekspresi, tetapi juga remuk-redam dalam ekonomi.
Di Indonesia berbagai upaya penyelamatan nasib miskin pekerja seni dilakukan. Pada September 2020, misalnya, digelontorkan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 26,5 miliar kepada 26.500 pekerja seni seluruh Indonesia. Dengan begitu, setiap pekerja seni dalam jangka pendek mendapat BLT sebesar Rp 1 juta. Jumlah bantuan ini seturut dengan kategorinya yang disetarakan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang biasanya berpenghasilan rata-rata maksimal Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan.
Pada bagian lain, berkenaan dengan infrastruktur pelatihan, pemerintah juga memberikan Kartu Prakerja kepada sekitar 190.000 pekerja seni yang terdampak Covid-19. Juga sejumlah insentif pajak dan sejenisnya.
Pekerja seni memang nelangsa nasibnya di kala pandemi. Tak hanya di Indonesia tentu. Negara maju di seluruh dunia juga merasakan dampaknya sehingga mereka serius melakukan penanggulangan agar para pekerja seni di negerinya tidak bangkrut dan masuk jurang.
Negara Bagian Queensland, Australia, menyediakan 8 juta dollar Australia per periode untuk mengakuisisi seni era pandemi. Inggris lewat Art Council England menyiapkan sekitar 300 juta pound sterling untuk menjaga kehidupan pekerja seni. Jerman pada jangka pendek memberikan hibah 5.000 euro untuk setiap individu. Singapura menyiapkan 1,6 juta dollar untuk merawat seniman dan institusinya. Amerika Serikat bergerak melalui National Endowment for the Arts, dengan menaruh dana 75 juta dollar. Hong Kong mengeluarkan 150 juta dollar Hong Kong untuk membayar pekerja seni yang mengalami pembatalan pergelaran.
Belanda mengalokasikan dana besar untuk menjaga agar pekerja seni tetap bernapas. Para orang kaya didorong untuk belanja karya seni dengan keringanan pajak. Apabila di rumah tak ada tempat, ”gudang” seperti Depot Boijmans van Beuningen di Rotterdam, yang bisa menampung 150.000 karya seni, siap menampung. Pengelola negara-negara itu percaya, tanpa seni, sebuah bangsa akan mati rasa dan akan kerdil jiwanya.
Berdarah-darah, tetapi tak pasrah
Sebagian besar pekerja seni Indonesia jelas berdarah-darah di masa pandemi. Namun, menariknya, meski semakin miskin parah, mereka tidak terdengar menggerutu, atau pasrah, apalagi marah. Tampak benar betapa mereka berusaha menjaga martabat meski perutnya lapar berat.
Dalam percakapan di podcast Deddy Corbuzier, pesinden populer Soimah bercerita, sebelum pandemi, grup pertunjukan yang dibawakan oleh 10 orang bertarif Rp 5 juta. Dipotong ongkos latihan dan lain-lain, rata-rata setiap pemain menerima Rp 160.000 saja. Mereka tetap main meski bayarannya cuma sekecil itu. Kini di masa pandemi, yang Rp 160.000 itu pun sudah nun jauh di mata! Soimah menceritakan itu dengan berlinang.
Pekerja seni merasa pantang meminta-minta dana tanpa bekerja sehingga ketika butuh makan, dan butuh ruang berekspresi, segala cara presentasi seni dilakukan. Pemain ludruk, wayang wong, penari, nekat turun ke jalan sehingga Rahwana bermasker pun kelihatan di persimpangan. Angklung bambu berkeliling ngamen, seolah mewakili para penyanyi yang untuk mangap saja menemui jalan buntu.
Mereka mencuri kesempatan berkesenian di sela-sela ketatnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Pekerja seni mengail rupiah untuk sesuap nasi. Sementara para sastrawan (apa boleh buat) tepekur di ruang sempit lantaran rubrik media massa yang dulu memberi honor dibekukan oleh si covid. Yang punya modal dan jaringan membuat konten seni di media sosial. Semangatnya: pokoknya menghibur dan tampil meski duitnya nihil.
Para pekerja seni tak ingin berteriak mengabarkan bahwa dirinya lapar. Ketika televisi ramai mengekspos keluh-kesah pedagang kaki lima dan pengusaha restoran, terpuruknya pekerja seni nyaris tidak dijadikan subyek tayangan. Padahal, kisahnya lumayan memilukan.
Penderitaan sebagai roman
Dari kasus ini saya teringat apa yang diucapkan Amang Rahman Jubair (1931-2001), pelukis ternama Surabaya.
”Para seniman biasanya menganggap penderitaan adalah bagian niscaya dari kehidupan. Mereka menikmati kesengsaraannya sendiri, sedangkan publik dipersilakan melihat dan memahami semua itu sebagai roman, sebagai fragmen.”
Amang pun bercerita ihwal dirinya sendiri. Ia mengaku pelukis paling berbahagia walaupun 69 persen dari perjalanan kehidupannya dilewati dengan miskin. Ia pernah berkeliling naik becak menjajakan lukisannya ke sejumlah kolektor. Dari belasan lukisan yang dibawa, yang terjual hanya satu. Jumlah uang yang didapat kira-kira sama dengan ongkos becak yang disewanya.
Ia juga pernah membarter lukisannya dengan beberapa liter beras kepada kolektor Sunaryo Umar Sidik. ”Tapi saya tidak pernah meminta. Saya menjual karya,” katanya. Lalu, lantaran selama berpuluh tahun berkeluarga Amang selalu pindah rumah kontrakan, oleh teman-temannya ia dijuluki ”kontraktor”.
Pada tahun 1979, di rumah rekannya di Malang, ia menonton televisi yang menyiarkan pertandingan tinju. Begitu petinju favoritnya knock out, Amang langsung klenger dan nyaris pingsan. Amang pun dibawa ke rumah sakit oleh teman-temannya, yang juga pelukis. Amang ditolak masuk karena tak ada yang mampu menanggung biaya. Dalam keadaan lemas, Amang berkata kepada petugas rumah sakit bahwa dirinya adalah adik dari Kolonel Soegiyono, Wali Kota Malang. Maka, Amang pun dirawat dengan tenang.
Di kamar perawatan, Amang menelepon Wali Kota, dan ia menceritakan peristiwanya. Sang Wali Kota, pendiri Sasana Gajayana yang mengorbitkan petinju Wongso Suseno dan Thomas Americo, tentu kaget meski kemudian tertawa. Soegiyono lalu membayar seluruh biaya sang seniman miskin itu. Beberapa hari setelah sembuh, Amang menghadiahi Soegiyono lukisan. Sang Wali Kota disuruh pilih: berapa saja dan yang mana saja.
Cerita pelukis sohor Hendra Gunawan (1918-1983) lain lagi. Kepada ayahnya, ia mengatakan bahwa dirinya ingin jadi pelukis. Namun, ayahnya sangat mengharap ia jadi ambtenaar alias pegawai negara, karena jadi pelukis bakal miskin. Hendra dan ayahnya bersitegang. Hendra pun lari dari rumahnya yang bagus dan nyaman.
Dalam pelarian, ia tinggal di kediaman seorang tua yang baik hati. Hendra senang tinggal di rumah ayah angkat yang miskin ini. Kenapa? Lantaran (ternyata) setiap hari ia bisa makan enak. Namun, kebahagiaan perut ini berakhir ketika pada suatu hari ia melihat ayah angkatnya sedang menyorong-nyorongkan nampan lebar ke sebuah jendela restoran. Dari dalam jendela itu tampak ditumpahkan segala macam sisa makanan!
Sesampai di rumah, ia mengintip sang ayah angkat sedang teliti menyeleksi makanan sisa itu dan ditaruh dalam porsi-porsi. Mi ketemu mi. Daging ketemu daging. Sepotong tempe dicampur sisa sayur. Hendra tak bisa menerima kenyataan itu. Ia pun kembali ke ayah dan ibunya yang sejati. Untuk kemudian ngabur lagi dan kembali jadi seniman miskin.
Kisah kemiskinan seniman memang sudah dianggap dongeng mengasyikkan dan dibaca sebagai hiburan. Contoh lain adalah ini.
Nurnaningsih (1925-2004) adalah bintang film dan primadona sandiwara era 1950-1970 yang glamor dan kaya. Selain sebagai aktris, ia juga gemar melukis. Kegemaran ini dibawa dari suaminya, Kartono Yudhokusumo, perintis seni lukis dekoratif modern Indonesia. Namun, glamoritas itu surut ketika ia jatuh miskin.
Kesulitan ekonomi Nurnaningsih terbuka pada 1994, saat ia mengikuti ”Lomba Seni Rupa Anak-anak Jalanan” di Jakarta yang digelar oleh aktris Renny Djajusman dan wartawan-pelukis Yusuf Susilo Hartono. Pelukis Kartika Affandi yang menyaksikan peristiwa ini bertanya-tanya: benarkah Nurnaningsih adalah bagian dari ”kelompok jalanan”. Dan bukankah ia sudah nenek-nenek, bukan anak-anak?
Jawaban pun didapat: Nurnaningsih ikut lomba semata untuk mengejar uang transpor Rp 100.000 yang diberikan oleh panitia kepada semua peserta. ”Saya tidak minta uang. Saya ikut perlombaan!” Nurnaningsih tampak berusaha menjaga martabat. Ia tidak malu disaksikan orang banyak.
Kisah kehidupan pekerja seni jadi drama memesona ketika dilengkapi dengan fragmen kesengsaraannya. Namun, ketika pandemi Covid-19 melanda, pesona itu menjelma jadi kemiskinan yang nyata menyiksa. Serentet realitas yang harus dientaskan, bukan dijadikan tontonan.
Agus Dermawan T, Penulis Buku-buku Budaya dan Seni