Mahkamah Konstitusi Tidak Mengubah Ketentuan Remisi
Putusan Mahkamah Konstitusi atas pemohonan uji materi tentang remisi sama sekali tidak mengubah konsep pemberian remisi, termasuk untuk koruptor. Ketentuan pemberian remisi tetap mengacu PP Nomor 99 Tahun 2012.
Oleh
IBNU SYAMSU HIDAYAT
·5 menit baca
Suatu hal yang spesial tidak muncul serta-merta. Tentu ada penyebabnya yang membuat ia spesial. Misalnya korupsi, walaupun tindakan itu hampir sama tindak pidana pencurian, pelakunya adalah orang yang memiliki kekuasaan atau jabatan. Maka, tindak pidana korupsi tidak dapat dikatakan tindak pidana biasa, artinya harus terus dipandang sebagai kejahatan yang luar biasa.
Alih-alih akan dirawat sebagai tindak pidana luar biasa, Mahkamah Konstitusi (MK) mendapatkan pemohonan uji materiil yang tertujuan agar tidak ada beda antara pidana umum dengan pidana khusus. Uji materiil tersebut telah ada putusannya, tanggal 30 September 2021, MK melaksanakan sidang pengucapan putusan, proses tahap terakhir dalam proses persidangan di MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 terkait uji materiil UU Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pemasyarakatan.
Uji materiil UU tersebut diajukan oleh Otto Cornelis Kaligis, pengacara yang sedang menjalani hukum penjara atas perbuatannya melakukan kejahatan tindak pidana korupsi. Permohonan uji materiil ini terkait Pasal 14 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 yang mengatur tentang remisi, yang kemudian dituangkan dalam ketentuan Pasal 34A PP Nomor 99 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang memberikan syarat tertentu untuk pemberian remisi untuk narapidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, kejahatan HAM, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan transnasional. OC Kaligis mendalilkan bahwa norma dalam pasal tersebut menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan remisi adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, dan bagi pelaku kejahatan tindak pidana korupsi harus membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Pemohon dalam permohonan uji materiil mendalilkan bahwa Pasal 36A PP Nomor 99 Tahun 1999 memberikan ketentuan asimilasi bagi narapidana dapat diberikan setelah mendapatkan pertimbangan dari direktur jenderal pemasyarakatan yang kemudian direktur jenderal yang memberikan pertimbangan wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait. Misalkan dalam kasus kejahatan tindak pidana korupsi, maka harus mendapatkan rekomendasi dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu, OC Kaligis juga mempersoalkan ketentuan bagaimana tata cara mendapatkan memberikan pembebasan bersyarat bagi napi terorisme, narkotika, dan korupsi, yang mensyaratkan pemberian pembebasan bersyarat dapat dilakukan jika bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan, dan telah menjalani asimilasi paling sedikit 1/2 dari sisa masa pidana wajib.
Putusan MK terdahulu
Jika ditelusuri lebih jauh, MK pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas Pasal 14 Ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 1995, yaitu dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-XV/2017, bertanggal 7 November 2017 dengan amar menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Selanjutnya, MK memutus permohonan pengujian materiil norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahu 1995 dalam Putusan MKi Nomor 82/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018, dan MK telah memutus uji materi terkait remisi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XVI/2018, bertanggal 30 Januari 2019 dengan amar menolak permohonan pemohon.
Di Dalam Putusan 54/PUU-XV/2017, penulis mengutip penggalan pertimbangan MK, yang intinya MK menjelaskan bahwa dalam menjalankan UU Nomor 12 Tahun 1995, pemerintah telah menggunakan kewenangan delegasi sebagai diatur di dalam Pasal 14 Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 1999 untuk mengatur syarat-syarat dan tata cara pemberian asimilasi. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa secara substansial berkenaan dengan ketentuan remisi, syarat-syarat tersebut menunjukkan niat mulia negara untuk memperketat syarat pemberian remisi terhadap tindak pidana khusus (spesialis), termasuk korupsi yang membahayakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, MK juga telah memutus permohonan pengujian kembali norma Pasal 14 Ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 1995 dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018 dan Putusan MK Nomor 90/PUU-XVI/2018, bertanggal 30 Januari 2019 yang amar putusannya menolak permohonan pemohon karena MK tidak menemukan ada alasan konstitusional baru untuk menguji kembali norma pasal tersebut. Menurut MK, pertimbangan hukum mengenai pengujian pasal tersebut dalam Putusan MK Nomor 54/PUU-XV/2017 mutatis mutandis berlaku terhadap kedua permohonan tersebut.
Ketentuan tidak berubah
Pascaputusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021, publik ramai memperbincangkan bahwa MK mempermudah pemberian remisi, mengubah ketentuan remisi. Apakah betul demikian?
Putusan Nomor 41/PUU-XIX/2021 MK tidak mengabulkan permohonan pemohon yang mempersoalkan ketentuan pemberian remisi. Namun, di dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan remisi diberikan tanpa terkecuali, tidak boleh ada persyaratan yang membeda-bedakan, jika itu terjadi, MK menilai justru akan menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi social yang ditetapkan, selain juga mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas.
Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum putusan MK tersebut menilai bahwa adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberi remisi seharusnya lebih dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan berupa hak remisi di luar hak hukum yang telah diberikan berdasar UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa di dalam pertimbangan selanjutnya, walaupun MK dalam pertimbangannya menyatakan pemberian remisi merupakan hak setiap orang, dalam hal ini setiap narapidana, MK menyatakan bahwa Mahkamah tetap pada pendirian sebagaimana putusan-putusan MK sebelumnya.
Artinya, putusan MK ini sama sekali tidak mengubah konsep pemberian remisi, ketentuan pemberian remisi sebagaimana telah diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang memberikan ketentuan yang berbeda/khusus untuk kasus tindak pidana tertentu yang spesilai tetap berlaku.