Hari Minggu lalu untuk pertama kalinya saya akan mencoba lari maraton sejauh 42 kilometer setelah memberanikan diri mengikuti London Marathon secara virtual. Pada hari itu, saya fokus menghadapi peristiwa penting di hidup saya ini. Sepuluh menit menjelang start tepat pukul empat sore, handphone saya berbunyi.
Pesan singkat dari teman baik, Lisabona Rahman, berbagi tulisannya yang dimuat di harian Kompas berjudul ”Apakah Emas Festival Film Lebih Rendah Dibanding Olimpiade?” Saya putuskan untuk menunda start dan membacanya. Akibatnya, pikiran saya melayang memikirkan film Indonesia selama maraton.
Di 10 kilometer pertama, saya jadi ingat saat mendarat di Chennai (India) untuk melakukan proses pascaproduksi film Garuda di Dadaku tahun 2009. Sepanjang jalan dari bandara menuju penginapan penuh karangan bunga ucapan selamat untuk AR Rahman yang baru saja memenangi Academy Award untuk Best Original Score dan Best Original Song melalui film Slumdog Millionaire. Sopir taksi menjelaskan bahwa karangan bunga tersebut dari rakyat India yang merasa bangga dengan apa yang telah dicapai oleh AR Rahman. Mereka memesan bunga ucapan selamat dan meletakkannya di depan rumah masing-masing. Saya merinding mendengarnya.
Apakah hal yang sama akan terjadi di Indonesia? Apakah peristiwa seperti itu baru bisa terjadi saat film kita memenangi Piala Oscar? Mengapa hanya Piala Oscar yang sampai saat ini dikenal oleh masyarakat? Apakah sebenarnya Piala Oscar itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menghujani pikiran saya saat berlari menembus 10 kilometer kedua.
Piala Oscar adalah nama piala yang diberikan kepada pemenang Academy Awards, sebuah ajang penghargaan untuk industri film Amerika, termasuk film asing yang didistribusikan di Amerika. Jadi, bisa dibilang ini adalah ajang penghargaan nasional yang mempunyai kategori untuk film internasional. Dikarenakan industri film Amerika adalah industri film yang paling populer, penghargaan nasional mereka dikenal oleh masyarakat umum sebagai penghargaan tertinggi.
Untuk sirkuit internasional, festival film bisa dibedakan sesuai jenisnya yang kompetitif, nonkompetitif, ada juga festival yang khusus untuk film pendek dan dokumenter. Festival film kelas A yang bersifat kompetitif, misalnya Cannes, Berlinale, Venice, atau Locarno Film Festival. Festival film besar yang nonkompetitif, seperti Toronto dan Viennale, sekarang pun mulai membuka program kompetisi. Contoh festival penting khusus film pendek dan dokumenter adalah Clermont Ferrand, Oberhausen, CPH: DOX, atau IDFA. Festival lain yang juga dianggap penting adalah Sundance, Busan, Rotterdam, dan sebagainya.
Mengapa festival film penting? Selain untuk kepentingan pasar dan promosi film, festival film adalah ruang pertemuan yang paling efektif untuk semua pelaku ekosistem perfilman. Dengan pertemuan-pertemuan tersebut, akan lahir kemungkinan perkembangan film, baik dari elemen kreatif, bisnis, maupun teknologi. Setelah era digital peran festival menjadi lebih luas, termasuk bertanggung jawab atas penemuan dan pengembangan bakat-bakat baru pembuat film.
Tidak ada tunas baru yang muncul begitu saja ke permukaan tanah, semua perlu direncanakan dan dipetakan. Semua orang suka dengan kejutan, saat seseorang tiba-tiba muncul dengan karya yang luar biasa. Namun, kejutan tidak muncul setiap tahun, sedangkan bakat baru harus muncul setiap tahun. Oleh karena itu, festival Cannes mempunyai L’Atelier, Berlinale mempunyai Talent Campus, Locarno mempunyai Open Doors, Busan mempunyai Asian Film Academy, dan masih banyak lagi. Jadi, apakah ada bakat yang bisa muncul di luar kawah-kawah candradimuka tersebut? Bisa saja, tetapi kita tahu bahwa peta persaingan kualitas untuk bakat baru sudah seketat itu.
Festival film juga dituntut untuk menjadi radar agar pembuat film bisa meletakkan cikal bakal karyanya. Project market kemudian didesain sebagai hub untuk sebuah proyek film bertemu partner pendukung. Yuni, karya terbaru dari Kamila Andini yang saya produseri dan baru saja mendapatkan Platform Prize di Toronto, mengikuti Southeast Asian Film Financing Forum dan Torino Film Lab. Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin, yang mendapatkan Golden Leopard di Locarno, mengikuti Asian Project Market, Hong Kong Asian Film Financing Forum, dan project market yang lain.
Napas saya mulai ngos-ngosan saat memasuki 10 kilometer ketiga. Semakin saya pikirkan tentang film Indonesia, semakin saya terpikir tentang atlet Olimpiade seperti pada artikel Lisabona Rahman. Apakah benar emas Olimpiade lebih penting? Narasi tentang bagaimana sebuah proyek film dipersiapkan seperti yang saya sampaikan tadi, rasanya tidak terbangun dengan baik ke masyarakat jika dibandingkan dengan narasi bagaimana seorang atlet menyiapkan kemenangannya.
Setiap hari paling tidak kita melihat jatah dua halaman di surat kabar tentang olahraga. Membaca cerita seorang atlet yang bermain di klubnya, dipanggil ke pelatnas, ditambah konflik dana yang dikorupsi, lanjut ke proses keberangkatan mengikuti perlombaan, hingga sambutan Presiden saat pulang kembali ke Tanah Air. Jadi, saat cerita tersebut berujung kemenangan ataupun kekalahan, narasinya terjalin dengan utuh. Sementara untuk film tidak pernah ada ruang yang cukup untuk membangun narasinya ke masyarakat.
Langkah saya sudah hampir menyentuh kilometer terakhir. Napas saya sudah habis, emosi saya tidak stabil. Memikirkan film Indonesia di kilometer kritis ini membuat saya emosional. Bisa jadi di Indonesia film memang lebih mudah dianggap sebagai produk komersial daripada sebagai produk kebudayaan.
Baca juga: Apakah Emas Festival Film Lebih Rendah Dibanding Olimpiade?
Pengalaman menjadi produser yang paling memprihatinkan adalah justru pada saat film kita dipilih mewakili Indonesia untuk Academy Awards. Dipilih secara bersama untuk agenda nasional, tapi setelahnya diserahkan menjadi urusan produser dan tidak lagi dianggap sebagai sebuah produk yang mewakili negara. Mengikuti seleksi Academy Awards bukan hanya tentang menang kalah, melainkan bagaimana negara menggunakan sebuah film untuk menyuarakan agenda kebudayaannya atau bahkan industrinya.
Dalam kasus ini, film seharusnya seperti olahraga: ada waktunya kita menggunakan kostum klub masing-masing, ada waktunya kita menggunakan kostum timnas untuk membela negara.
Jadi, milik siapa sebenarnya film Indonesia? Milik masyarakat Indonesia atau hanya milik insan perfilman? Masih banyak pertanyaan melintas di kepala, tapi napas saya sudah habis saat kaki menyentuh garis finis.
Ifa Isfansyah
Pembuat film yang aktif mengajar dan berorganisasi