Toleransi itu perlu ditoleransi selama tidak keluar dari prinsip-prinsip umum yang disepakati. Toleransi sebagai sebuah sikap juga memiliki perbedaan sudut pandang, tafsir, dan praksis tergantung setiap individu.
Oleh
TOBA SASTRAWAN MANIK
·3 menit baca
Inti tujuan penulisan ini sebenarnya untuk menyampaikan pikiran sederhana bahwa toleransi itu perlu ditoleransi. Artinya, toleransi itu bukanlah sesuatu yang mutlak dalam arti kadar, tingkatan dalam pemahaman, atau manifestasinya.
Toleransi sebagai sebuah sikap juga memiliki perbedaan sudut pandang, tafsir, dan praksis tergantung setiap individu. Sebab, terkadang atas nama toleransi, kita justru menghakimi perilaku toleransi yang ditunjukkan orang lain hanya karena perbedaan penafsiran dan pembawaan. Bukankah toleransi sejatinya dimunculkan untuk menghindari penghakiman dan perendahan terhadap perbedaan?
Ada baiknya definisi toleransi diketengahkan. Menurut Emanuel Agius dan Jolanta Ambrosewicz yang dimuat dalam International Bureau for Children’s Rights (2003), toleransi memiliki dua makna. Pertama, semua orang, baik secara individu maupun kelompok, memiliki hak yang sama/setara. Kedua, setiap individu ataupun kelompok mengakui dan menerima hak orang lain untuk berbeda dalam hal pikiran, perilaku, keinginan, dan opini.
Hal tersebut kemudian dikuatkan oleh Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi 25 Oktober-16 November 1995 bahwa toleransi merupakan penghormatan, penerimaan, dan apresiasi terhadap keberagaman perbedaan budaya dunia serta cara atau bentuk/ekspresi manusia. Toleransi mensyaratkan oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan berpikir, hati nurani, dan keyakinan.
Esensi toleransi dari hal di atas adalah penerimaan terhadap perbedaan. Sekali lagi, cara penerimaan itu tentu berbeda, baik dari segi pemahaman maupun implementasi setiap orang, sekalipun semua sepakat bahwa toleransi itu penting. Hal yang keliru, ketika ditafsirkan bahwa perbedaan pemahaman dan implementasi dalam membentuk kesadaran toleransi adalah bentuk intoleransi. Sebab, pemahaman tersebut justru terjebak atau masuk terhadap intoleransi terhadap sikap toleransi orang lain, tegas deklarasi tersebut.
Parker (2010) menegaskan hal ini. Menurut dia, toleransi secara etimologis perbuatan untuk menahan dan mempertahankan rasa sakit atau kesulitan. Maka tegas Albertina dan Nieuwenhuis (2016) bersikap toleran, seseorang adalah siap untuk tahan dengan sesuatu yang lebih rendah atau tidak menyenangkan.
Semangat perbedaan itu tentu perlu dibudayakan terhadap toleransi itu sendiri. Sekalipun semua sepakat bahwa kita semua harus bertoleransi, kesepakatan tersebut tidak bisa menyentuh dan menunggalkan bahwa bentuk dan ekspresi toleransi itu beragam. Akan ada banyak erudisi dan ekspresi-ekspresi yang berbeda sekalipun tidak berbeda secara substansial dan prinsipil.
Hal ini misal ketika menafsirkan perbedaan agama. Ada yang menganggap bahwa semua agama itu sama, semua agama itu baik, dan semua agama itu benar. Hal ini merupakan perbedaan-perbedaan sudut pandang dalam membangun toleransi beragama.
Atas nama toleransi, hal itu tidak perlu diperdebatkan dan memaksakan dari sudut pandang. Hal ini akan semakin mengaburkan toleransi itu sendiri. Sebab, toleransi juga merupakan sikap penerimaan dan pengakuan perbedaan. Namun hal ini tentu derajat-derajat penolakan (Newman, 1978).
Hal ini penting agar definisi dan determinasi bentuk dan pemahaman toleransi hanya dimiliki kalangan tertentu saja. Kita harus memahami bahwa toleransi itu juga perlu ditoleransi selama tidak keluar dari prinsip-prinsip umum yang disepakati.
Dalam konteks Indonesia, selama bentuk pemahaman dan praksis toleransi tidak melenceng dan melanggar Pancasila, toleransi, bagaimanapun pemahaman dan aplikasinya, harus ditoleransi. Dibiarkan berbeda dan dihormati perbedaannya. Agar toleransi itu benar-benar hidup dan berkembang atas nama toleransi itu sendiri.
Toba Sastrawan Manik, Dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta