Informalisasi Ekonomi
Potensi ekonomi tersembunyi yang dimiliki sektor informal akibat informalisasi ekonomi harus segera dibenahi untuk menopang pemulihan ekonomi nasional ke depan. Tidak semata mengandalkan sektor ekonomi formal.
Selama masa pandemi Covid-19, aktivitas ekonomi formal megap-megap, dan kemudian ditopang oleh aktivitas ekonomi informal, yakni jenis usaha yang lebih banyak berskala ultramikro dan mikro, tanpa legalitas. Jenis usaha ini memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja yang berada di sektor informal ini meningkat dari 77,68 juta orang pada Agustus 2020 menjadi 78,14 juta orang pada Februari 2021. Sementara pekerja formal yang kehilangan pekerjaan atau telah ”banting setir” selama masa pandemi mencari nafkah di sektor informal.
Analisis mahadata Bank Mandiri, per Oktober 2020, mengonfirmasi pendapatan masyarakat yang bergantung di sektor informal ternyata juga tergerus 30 persen dibandingkan dengan Januari 2020 (Kompas, 20/9/2021).
Baca juga :
> Bantuan Iuran bagi Pekerja Tak Mampu Diharapkan Segera Berlaku
> Masa Depan UMKM Ada di Ekosistem Digital
Nah, siapa sejatinya sektor informal itu? Bisakah sektor ini dikapitalisasi berkontribusi signifikan dalam perekonomian nasional ke depan?
Hernando De Soto dalam The Other Path, The Invisible Revolution in The Third Word (1989) menyebut sektor informal itu hadir karena ruang gerak yang diberikan oleh masyarakat formal.
Sektor ini dibangun berdasarkan struktur masyarakat yang bersifat mandiri. Sektor informal umumnya hadir pada masyarakat ”akar rumput” yang terus bergerak karena mereka adalah bagian yang termarjinalkan atau terinformalisasi dalam struktur masyarakat.
Konsekuensinya, mereka harus mengembangkan kapasitas dan potensi diri mereka sendiri, yang dalam bahasa Karl Marx, sebagian besar potensi itu terisap oleh masyarakat kelas atas. Namun, harap ingat, sektor informal ini tidak semata berskala mikro, tetapi beberapa telah berskala raksasa dan tidak tercatat dalam hitungan BPS.
Harap ingat, sektor informal ini tidak semata berskala mikro, tetapi beberapa telah berskala raksasa dan tidak tercatat dalam hitungan BPS.
Pemicu informal
Banyak faktor yang memantik terjadinya informalisasi ekonomi. Pertama, luapan angkatan kerja yang termobilisasi akibat mismanajemen pembangunan ekonomi regional.
Urbanisasi menjadi pemicu akselerasi jumlah angkatan kerja di perkotaan. Eskalatifnya arus urbanisasi, menurut Michael Lipton (1977), merupakan refleksi kegagalan ekonomi di desa yang ditandai sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan gagalnya revitalisasi pertanian dengan maraknya alih fungsi lahan sebagai faktor pendorong (push factors).
Di sisi lain, daya tarik kota dengan penghasilan tinggi menjadi faktor penarik (pull factors). Dalam teori pasar kerja, preferensi itu logis sehingga berimplikasi pada besarnya suplai tenaga kerja di perkotaan.
Baca juga :
> Urgensi Kebijakan Perkotaan Nasional
> Ambivalensi Arus Balik Ibu Kota
Hanya persoalannya, disparitas ekonomi antarwilayah perkotaan dengan perdesaan memunculkan ”urbanisasi prematur”. Hal ini ditandai adanya deformasi struktural dalam proses ekonomi. Menurut Raoul Prebisch (1982), tenaga kerja yang berpindah ke perkotaan yang mengalami pertumbuhan tinggi tidak bisa ditampung secara signifikan dalam sektor industri.
Implikasinya, deformasi struktural terjadi dalam bentuk meluasnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja yang bukan diakibatkan oleh adanya permintaan yang melonjak terhadap jasa-jasa oleh sektor industri, tetapi semata-mata diakibatkan oleh ketidaksanggupan dari sektor industri (formal) untuk menyerap mereka.
Kedua, revolusi teknologi juga merontokkan aktivitas ekonomi formal dan beralih ke aktivitas ekonomi informal. Studi Hoe Khor yang disampaikan dalam ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO), Singapura (2016), bahwa pekerjaan manufaktur semakin mengalami otomatisasi sehingga ragam pekerjaan untuk tenaga kerja semakin sedikit.
Khor menyatakan, ekonomi digital tidak hanya membutuhkan infrastruktur fisik yang menghubungkan antarkawasan serta infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan aktivitas ekonomi. Era ekonomi digital turut mengubah lanskap ketenagakerjaan menjadi lebih informal dan jenis usaha minim proteksi.
Riset yang dirilis Temasek, Google, dan Bain&Co (2019) menyebutkan tingkat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia mencapai 49 persen per tahun. Pertumbuhan sektor e-dagang (e-commerce) Indonesia bahkan diprediksi melampaui angka 130 miliar dollar AS pada 2025. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi digital terbesar di dunia.
Ketiga, rapuhnya regulasi dan penegakan hukum (law enforcement) telah memantik pula informalisasi ekonomi. Akibatnya, muncullah underground economy (ekonomi di bawah tanah) yang berimpitan dengan istilah black economy yang diintroduksi oleh Sritua Arief pada dekade 1990-an.
Black economy di sini mengandung kegiatan ekonomi formal, tetapi melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku (ilegal) dan kegiatan-kegiatan ekonomi informal yang disebabkan oleh pelbagai hal yang tak tercatat atau tak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional.
Di Indonesia, aktivitas underground economy mencapai 8,3-10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika PDB 2019, misalnya, tercatat sebesar Rp 14.837 triliun, ekonomi yang tidak tercatat mencapai Rp 1.400 triliun lebih. Bahkan, aktivitas tersebut juga menimbulkan kerugian pajak.
Pertumbuhan sektor e-dagang (e-commerce) Indonesia bahkan diprediksi melampaui angka 130 miliar dollar AS pada 2025.
Merujuk riset Azhar dan Shobien (2019), rentang 2005-2018, rerata besaran underground economy mencapai Rp 34,157 triliun per triwulan atau setara dengan 1,84 persen PDB. Ihwal ini memantik hilangnya penerimaan pajak Rp 4 triliun per triwulan atau setara 0,22 persen PDB.
Beberapa langkah
Dalam konteks inilah, potensi ekonomi tersembunyi yang dimiliki sektor informal akibat informalisasi ekonomi harus segera dibenahi untuk menopang pemulihan ekonomi nasional ke depan. Tidak semata mengandalkan sektor ekonomi formal.
Langkahnya, pertama, terkait dengan tenaga kerja level ultramikro dan mikro yang dipicu oleh ”urbanisasi prematur”, perlu penguatan ekonomi perdesaan. Perlu ditumbuhkan daya rangsang ekonomi desa agar korban informalisasi ekonomi di kota hijrah kembali ke aktivitas ekonomi desa.
Daya rangsang ini perlu dilakukan dengan cara melakukan pendampingan dan pembinaan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) bagi pemuda desa sekaligus insentif dan kebijakan inklusif permodalan.
Kedua, terkait dengan informalisasi ekonomi yang dipicu pesatnya perkembangan ekonomi digital, pemerintah perlu memberi pemahaman komprehensif tentang literasi ekonomi digital bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), terutama masyarakat yang terlibat.
Baca juga : Ekonomi Digital Jadi Andalan Pekerja Sektor Informal
Ini diyakini dapat membantu pemerintah memformulasi kebijakan yang tepat sehingga mendorong pelaku usaha ekonomi digital merespons arah kebijakan pemerintah ke depan.
Selain itu, perlu penciptaan kerangka hukum yang menjamin keberlangsungan inovasi teknologi, sekaligus memberikan kepastian dan perlindungan. Kerangka hukum seperti ini menjadi sebuah kebutuhan yang krusial.
Ketiga, terkait dengan informalisasi ekonomi yang ditandai oleh maraknya aktivitas underground economy, perlu pendataan ulang terhadap pajak, melakukan stimulasi wajib pajak, menerapkan pajak yang bersahabat, pengawasan dan ketegasan hukum, serta inklusi keuangan, terutama bagi underground economy yang bergerak di level ”akar rumput”.
Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta