Selama dua dekade, statistik menunjukkan produksi minyak terus turun. Ini fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Defisit neraca perdagangan migas terus terjadi sebagai dampak dari tata kelola migas yang salah.
Oleh
KURTUBI
·4 menit baca
Sejalan dengan mulai pulihnya perekonomian global dari dampak pandemi Covid-19, harga minyak mentah dunia dilaporkan kembali naik ke level di atas 80 dollar AS per barrel.
Minyak mentah patokan Brent dilaporkan Reuters ditutup pada level 83,65 dollar AS per barrel hari Senin (11/10/2021) setelah sempat mencapai titik tertinggi 84,60 dollar AS per barrel hari itu. Ini level tertinggi sejak Oktober 2018.
Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) produksi AS ditutup pada level 80,52 dollar AS per barrel, setelah sempat mencapai titik tertinggi 82,18 dollar AS per barrel. Ini level tertinggi sejak akhir 2014.
Kenaikan harga ini sebenarnya sesuatu yang sudah biasa dan wajar terjadi, mengikuti hukum ekonomi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Permintaan minyak mentah dunia secara bertahap meningkat dari level yang sangat rendah, sebagai akibat dari mulai bergeraknya roda ekonomi global ke arah new normal.
Kenaikan harga minyak mentah juga terjadi karena negara produsen mengurangi produksi selama masa pandemi, selain faktor pemicu lain, yakni adanya pengalihan penggunaan sumber energi untuk pembangkit listrik dan pemanasan selama musim dingin, dari gas alam yang harganya melonjak, ke minyak.
Harga minyak mentah dunia sempat mencapai titik terendah sebagai akibat anjloknya permintaan saat diberlakukan lockdown di berbagai negara di seluruh dunia, dalam upaya membendung penyebaran Covid-19, pada akhir 2019 dan awal 2020. Harga sempat berada di level sekitar 10 dollar AS per barrel, bahkan sempat mentok ke level terendah ke "harga negatif".
Kenaikan harga ini sebenarnya sesuatu yang sudah biasa dan wajar terjadi, mengikuti hukum ekonomi penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Kelompok OPEC+ yang meliputi 13 negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) plus sepuluh negara produsen minyak non-OPEC, menahan diri untuk tak menaikkan produksi, kendati harga minyak di pasar dunia meningkat. Kenaikan harga ini diperkirakan akan berlanjut beberapa waktu ke depan, dengan terus meningkatnya permintaan.
Sejumlah analis bahkan memperkirakan permintaan minyak mentah dunia sudah akan pulih kembali ke level pra-pandemi pada akhir tahun ini. Permintaan global ini terutama dimotori AS, dengan volume permintaan mendekati level tertinggi yang pernah ada. Lonjakan permintaan juga datang dari negara-negara Asia, terutama dengan terakselerasinya vaksinasi Covid-19 di kawasan tersebut.
Harga minyak dunia kali ini berpeluang naik hingga ke 100 dollar AS per barrel jika OPEC+ membatasi produksi atau suplai mereka di tengah permintaan yang meningkat.
Atau bisa saja skenario sebaliknya yang terjadi, harga minyak berpeluang anjlok kembali, manakala Covid-19 berikut varian-varian barunya semakin ganas dan merajalela tak terbendung, meski tingkat vaksinasi secara global terus naik. Melonjaknya kembali kasus Covid-19 juga akan menyebabkan sepinya kembali lalu lintas di jalan raya dan penerbangan.
Namun, secara statistik, skenario ini probabilitasnya lebih kecil karena seluruh dunia bertekad melawan pandemi Covid-19. Fakta bahwa belakangan ini harga minyak dunia terus naik melampaui harga pada saat mulai merebaknya Covid-19, mengindikasikan bisa saja harga akan terus naik selama periode masa transisi energi dunia menuju Near Zero Emisi Gas Rumah Kaca di tahun 2050 dan Full Zero Emisi Gas Rumah Kaca di tahun 2100.
Posisi Indonesia
Tapi sayangnya, harga minyak tinggi ini terjadi saat produksi minyak kita berada pada level yang sangat rendah, yakni di bawah 700.000 barrel per hari (bph), dari target lifting di RAPBN 2022 yang dipatok pada level hanya 702.000 bph.
Rendahnya produksi minyak ini terjadi bukan karena sumber daya migas di perut bumi di negara kita telah habis, tetapi karena kita salah dalam mengelola kekayaan sumber daya migasnya.
Data statistik menunjukkan, investasi dan kegiatan eksplorasi di Indonesia terus menurun sejak UU Migas No 22 Tahun 2001 menggantikan UU No 8 Tahun 1971. Hal ini karena proses perizinan investasi migas yang menjadi sangat birokratis, ditambah UU Migas No 22 Tahun 2001 juga mewajibkan investor migas untuk membayar pajak semasa eksplorasi.
Sementara di bawah UU No 8 Tahun 1971 yang digantikannya, proses perizinan investasinya simpel karena semua perizinan ditangani Pertamina. Juga, tidak ada pembebanan pajak semasa eksplorasi. Dalam kontrak bagi hasil (PSC) antara Pertamina dengan investor migas, risiko di industri yang berisiko tinggi ini ditanggung sepenuhnya oleh investor.
Selain itu, UU Migas ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena 17 pasalnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena melanggar konstitusi.
Selain itu, UU Migas ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena 17 pasalnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena melanggar konstitusi. BP Migas yang dibubarkan juga hanya berganti nama dengan status, tugas dan posisi yang sama, bahkan dengan orang-orang yang sama dengan lembaga yang dibubarkan MK.
Selama dua dekade, statistik menunjukkan produksi minyak terus turun. Ini fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Defisit neraca perdagangan migas terus terjadi sebagai dampak dari tata kelola migas yang salah dengan UU Migas No 22 Tahun 2001.
Sektor migas nasional terus membebani ekonomi nasional lewat defisit neraca perdagangan migas setiap tahun.
Namun, hingga hari ini, UU Migas yang salah ini masih bertahan. DPR RI sudah dua periode gagal membuat UU Perubahan/Revisi atas UU Migas No 22 Tahun 2001. Bahkan Presiden pun sepertinya juga enggan untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan pengganti undang-undang (perppu), meski itu mendesak dan konstitusional.
KurtubiAnggota DPR Periode 2014-2019. Alumnus Colorado School of Mines, Institut Francaise du Petrole