Nasib Satu Peta di Antara Kebijakan Satu Data dan Satu Peta
Dalam implementasinya, kebijakan satu peta dan satu data Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri. Cita-cita satu pintu dalam kedua kebijakan itu masih jauh panggang dari api.
Oleh
AKBAR HIZNU MAWANDA
·5 menit baca
Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021 mengubah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Lahirnya Perpres Nomor 23/2021 ini menegaskan bahwa percepatan terhadap kebijakan satu peta tetap dilanjutkan.
Hal tersebut tentu mengejutkan mengingat pada 2019 Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Perpres Nomor 39/2019 tentang Satu Data Indonesia. Sebuah peraturan yang digadang-gadang akan menjadi senjata pamungkas pemerintah untuk menyelesaikan sengkarut manajemen data Indonesia, yang sudah kronis dan berlangsung menahun.
Irisan terbesar di antara dua perpres tersebut adalah kemiripan materi muatannya, yaitu data geospasial yang salah satu hasil olahannya adalah peta. Dua regulasi yang berbeda namun mengatur obyek yang sama sangat berpotensi menciptakan permasalahan dalam implementasinya.
Irisan terbesar di antara dua perpres tersebut adalah kemiripan materi muatannya.
Satu data belum maksimal
Sebenarnya Perpres Nomor 39/2019 cukup komprehensif mengatur tentang manajemen data di Indonesia dari hulu hingga hilir. Mulai dari pengelolaan data, pihak yang menyelenggarakan satu data Indonesia, bahkan sampai dengan akses data yang dihasilkan.
Sayangnya hingga kini implementasi kebijakan ini belum terlihat. Ini sangat terlihat jelas saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Ketidaksinkronan jumlah kasus positif Covid-19 antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih terjadi, bahkan hingga jelang dua tahun pandemi Covid-19.
Salah satu contohnya adalah perbedaan total jumlah kasus positif di Provinsi DKI Jakarta antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Data total jumlah kasus positif Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta pada 30 September 2021 pukul 17.04 WIB berdasarkan situs web corona.jakarta.go.id yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di angka 857.616. Sedangkan di situs web covid19.go.id yang dikelola Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada waktu yang bersamaan menampilkan angka 857.437 kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta.
Ada selisih 179 kasus positif antara versi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dengan Pemprov DKI Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa implementasi kebijakan satu data Indonesia belum maksimal.
Apabila ditelaah lebih dalam, salah satu sebab belum maksimalnya kebijakan Satu Data Indonesia adalah pengaturan dalam Perpres Satu Data Indonesia yang tidak cukup jelas dan cenderung tidak praktis sehingga berpotensi menjadi hambatan dalam pengimplementasiannya. Salah satu contohnya dapat dilihat di Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (2) yang mengatur bahwa wali data dan produsen data tingkat pusat akan diatur dalam peraturan menteri, peraturan lembaga, dan peraturan badan. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan ambiguitas kewenangan karena tidak jelasnya lingkup siapa yang berwenang membuat pengaturan wali data dan produsen data tingkat pusat.
Selain permasalahan di atas, faktor lain yang menyebabkan perpres ini belum implementatif hingga kini adalah belum adanya penetapan Data Prioritas. Data Prioritas merupakan hal penting dalam penyelenggaraan Satu Data Indonesia. Data Prioritas adalah data yang terpilih menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan satu data Indonesia.
Faktor lain yang menyebabkan perpres ini belum implementatif hingga kini adalah belum adanya penetapan Data Prioritas.
Data Prioritas memiliki tingkatan urgensi yang lebih tinggi untuk diselesaikan daripada data-data lainnya. Salah satu bentuk urgensinya terlihat dari keterlibatan pembina data dalam penyelenggaraan data tersebut. Data yang telah memenuhi kriteria sebagai Data Prioritas disepakati sebagai Data Prioritas dalam Forum Satu Data tingkat pusat, dan ditetapkan sebagai Data Prioritas oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dengan melihat urgensinya, seharusnya Data Prioritas menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan Satu Data Indonesia. Sayangnya sampai dengan saat ini belum ada penetapan terkait Data Prioritas oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kebijakan satu peta yang berubah
Sesuai dengan judul peraturannya, Perpres Nomor 23/2021 mengubah beberapa kebijakan pelaksanaan percepatan kebijakan satu peta yang telah ditetapkan dalam Perpres Nomor 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000.
Salah satu kebijakan percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta yang berubah adalah masuknya pengaturan Satu Data Indonesia dalam batang tubuh perpres tersebut. Meskipun tidak diatur secara detail, namun ini menunjukkan bahwa dua kebijakan ini saling terkait satu sama lain.
Kebijakan lain yang diubah adalah tahapan kegiatan percepatan kebijakan satu peta yang awalnya terdiri atas kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan penyusunan rekomendasi menjadi kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan berbagi data dan informasi. Perubahan ini menunjukkan bahwa dalam kebijakan percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta yang baru, unsur penyebarluasan dan kolaborasi untuk berbagi data dan informasi geospasial menjadi bagian yang penting.
Ini semakin ditegaskan dengan berubahnya struktur dan komposisi Tim Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta untuk mengakomodasi lingkup kegiatan penyebarluasan dan berbagi pakai data dan informasi geospasial tersebut. Perubahan kebijakan lain yang dilakukan adalah diperbaharuinya Rencana Aksi Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta yang tadinya ditetapkan hingga tahun 2019, kini dibuat untuk periode tahun 2020-2024.
Kebijakan penyempurna
Pengesahan Perpres Nomor 23/2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 9/2016 secara tersirat memperlihatkan bahwa kebijakan satu data di Indonesia, khususnya data geospasial, yang diatur dalam Perpres Nomor 39/2019 belum implementatif sehingga membutuhkan regulasi lain untuk menyempurnakannya. Dalam konteks pembinaan data geospasial misalnya, tugas Badan Informasi Geospasial (BIG) selaku pembina data geospasial berdasarkan Perpres tentang Satu Data Indonesia tentu akan lebih mudah mengingat dalam Perpres tentang Percepatan Kebijakan Satu Peta, BIG menjadi Ketua Tim Pelaksana Kebijakan Satu Peta dan pada saat yang bersamaan juga ditunjuk sebagai anggota Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta.
Meski demikian, tentu ada beberapa hal yang perlu disempurnakan. Salah satunya adalah harmonisasi organisasi pelaksana kebijakan satu peta dan satu data Indonesia, khususnya di setiap kementerian/lembaga yang dalam implementasinya masih berpotensi tumpang tindih.
Selain itu, akses publik untuk melihat hasil, baik kebijakan satu peta maupun satu data Indonesia belum dalam satu pintu. Masyarakat yang ingin mengakses data hasil percepatan kebijakan satu peta harus mengakses melalui https://portalksp.ina-sdi.or.id/. Sedangkan untuk mengakses hasil Satu Data Indonesia, masyarakat hanya bisa mengaksesnya di portal https://data.go.id/.
Tentu perbedaan ini menunjukkan bahwa dalam implementasinya kebijakan satu peta dan satu data Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri. Cita-cita satu pintu, baik yang terdapat di dalam kebijakan satu peta maupun satu data Indonesia, pun masih jauh panggang dari api.
Akbar Hiznu Mawanda, In House Lawyer Badan Informasi Geospasial