Sarana dan prasarana kesehatan mental di Indonesia belum memadai. Belum semua provinsi memiliki fasilitas rumah sakit jiwa. Dari sekitar 10.000 puskesmas di Tanah Air, baru 6.000 yang melayani kesehatan jiwa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pandemi yang berlangsung hampir dua tahun telah meluluhlantakkan seluruh aspek kehidupan, jiwa dan raga. Perlu perjuangan hadapi semua, termasuk menjaga jiwa.
Pandemi Covid-19 memang bukan sekadar fenomena kedokteran. Situasinya mengubah tatanan normal, memengaruhi individu dan komunitas.
Ketika manusia terpaksa mengisolasi diri, menjaga jarak, hingga menutup ruang-ruang pertemuan sosial di sekolah, tempat ibadah, kantor, bahkan mal dan tempat wisata, yang terjadi adalah disrupsi. Rasa cemas, stres, hingga stigma dan xenofobia bermunculan.
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia setiap 10 Oktober, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memilih tema ”Perawatan kesehatan mental untuk semua: mari kita wujudkan”, yang secara khusus menyoroti pandemi sebagai faktor pemicu gangguan jiwa.
Tekanan menjadi semakin berat ketika banyak orang kehilangan pekerjaan hingga orang-orang terdekat. Kementerian Kesehatan mencatat, 24 juta tenaga kerja dari sektor informal telah kehilangan pekerjaan.
Menurut WHO, satu dari empat orang mengalami masalah mental setiap tahun. Bisa jadi itu mengena pada keluarga, teman dekat, kolega, atau bahkan kita.
Di Indonesia kondisinya tidak jauh beda. Tahun pertama pandemi, Kementerian Kesehatan menginformasikan, ada 277.000 kasus kesehatan jiwa hingga Juni 2020. Meningkat pesat dibandingkan 197.000 kasus pada tahun 2019.
Dari pelbagai jenis gangguan jiwa, depresi merupakan kasus paling tinggi di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, gangguan depresi sudah berlangsung sejak usia remaja (15-24 tahun) dengan prevalensi 6,2 persen. Prevalensi depresi ini meningkat seiring bertambahnya usia.
Dalam telekonferensi pers pekan lalu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Celestinus Eigya Munthe mengatakan, pandemi telah meningkatkan depresi hingga 9 persen. Dengan demikian, perawatan mental kesehatan menjadi penting.
Dari pelbagai jenis gangguan jiwa, depresi merupakan kasus paling tinggi di Indonesia.
Sayangnya, sarana dan prasarana kesehatan mental di Indonesia belum memadai. Belum semua provinsi memiliki fasilitas rumah sakit jiwa. Dari sekitar 10.000 puskesmas di Tanah Air, baru 6.000 yang melayani kesehatan jiwa.
Demikian pula sumber daya manusianya. Indonesia ternyata hanya memiliki 1.053 psikiater. Berarti, satu psikiater melayani kurang lebih 250.000 penduduk. Sungguh suatu tantangan besar untuk menangani 20 persen populasi yang rentan gangguan mental.
Dalam jangka pendek, dukungan komunitas sangat membantu mengatasi masalah mental ini. Dari olahraga bersama, klub buku, hingga mendengarkan curahan perasaan. Tentunya tetap dalam koridor protokol kesehatan. Namun, dalam jangka panjang, perlu pembenahan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana dengan program terencana, baik, dan benar.
Jiwa yang sehat mendukung bangsa yang sehat. Sungguh ini yang kita butuhkan menghadapi hari-hari ini.