Pendidikan Tinggi dan Perburuan Gelar
Pendidikan tinggi bukanlah pendidikan biasa. Ia menuntut suatu pribadi kesarjanaan dan tradisi kecendekiawanan dengan adab dan karakter yang mulia. Karena itu, pemberian gelar akademik harus mengacu pada hal tersebut.
Salah satu penanda kemajuan bangsa adalah keberadaan universitas atau institusi pendidikan tinggi. Kemajuan suatu bangsa dan negara juga ditandai dan ditentukan oleh majunya pendidikan tinggi. Kapasitas dan capaian pendidikan tinggi adalah kunci dan sangat vital bagi kemampuan suatu bangsa untuk mencapai kemajuan peradaban dan menciptakan kemakmuran.
Kehadiran dan capaian institusi pendidikan tinggi yang relevan dengan persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakatnya mengindikasikan kontribusinya terhadap kemajuan peradaban. Kemerosotan mutu dan reputasi pendidikan tinggi dapat menjadi penanda kemerosotan standar peradaban bangsa.
Karena itu, sangat wajar jika mutu dan reputasi pendidikan tinggi terus dijaga dan dikembangkan dan menjadi bagian dari tradisi bangsa yang beradab. Upaya menjaga mutu dan reputasi pendidikan tinggi di antaranya dengan mempertahankan standar proses, capaian dan rekognisi berupa gelar dan jabatan akademik.
Baca juga: Masa Depan Pendidikan Tinggi dan Universitas
Adalah hak setiap orang untuk mengikuti pendidikan sampai dengan jenjang tertinggi dan memperoleh pengakuan formal atas seluruh proses yang dijalani berupa gelar akademik sesuai dengan capaiannya. Namun, ketika gelar atau jabatan akademik diperoleh dengan proses instan, transaksional, mengabaikan standar mutu akademik dan mengkompromikan independensi dan otonomi institusi akademik, yang terjadi adalah penyalah-gunaaan otonomi dan kebebasan akademik serta degradasi marwah perguruan tinggi sebagai institusi akademik.
Kompromi
Secara normatif dan praktik baik universal, proses pendidikan tinggi dan pencapaian gelar akademik mensyaratkan standar mutu yang mencakup: input, proses dan capaian program yang jelas dan koheren, serta konsisten dalam implementasinya. Namun, selalu ada orang-orang yang ingin mendapatkan gelar akademik dengan jalan pintas untuk beragam alasan dan kepentingan. Orang-orang seperti ini bersedia membayar atau menawarkan imbalan asal mendapatkan gelar yang diinginkan.
Namun, selalu ada orang-orang yang ingin mendapatkan gelar akademik dengan jalan pintas untuk beragam alasan dan kepentingan.
Tawaran semacam itu, dapat menjebak penyelenggara perguruan tinggi (dosen dan pengelola) untuk melakukan kompromi, namun, menggadaikan standar mutu, proses, bahkan etik dan reputasinya kepada mereka yang memiliki kemampuan dan kuasa dan bersedia membayar atau memberikan imbalan tersebut. Lebih memprihatinkan lagi, ketika praktik-praktik semacam itu diinisiasi oleh dan melibatkan para pengelola perguruan tinggi yang bersangkutan dan didukung oleh institusi yang seharusnya bertanggungjawab untuk melakukan pengawasan dan pembinaan. Inilah kemerosotan parah standar mutu, budaya, dan integritas akademik, yang berpotensi memicu proses penghancuran sistemik pendidikan di negeri ini.
Ada kekhawatiran gelar akademik diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang mengabaikan kaidah, standar dan reputasi akademik. Gelar akademik diperoleh tanpa mematuhi kaidah, proses dan standar capaian akademik yang otentik, tetapi atas dasar proses transaksional layaknya penjaja dan pembeli barang atau jasa. Praktik semacam ini telah membuka ruang bagi tindakan legalisasi kegiatan akademik tidak otentik dan tak bertanggungjawab, bahkan menjustikasi pelanggaran etika dan hukum seperti pemalsuan karya akademik dan “jual-beli” ijazah.
Pemberian gelar akademik dan jabatan akademik melalui proses instan, tidak patut, dan mengabaikan nalar dan kaidah akademik, patut diduga melibatkan kepentingan-kepentingan non akademik dan menggadaikan reputasi dan merusak sistem pendidikan tinggi yang bermutu dan kredibel.
Pendidikan tinggi bukanlah pendidikan biasa. Ia menuntut suatu pribadi kesarjanaan dan tradisi kecendekiawanan dengan adab dan karakter yang mulia. Memperoleh gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi adalah kehormatan dan pengakuan atas capaian orisinal, bahkan secara tradisional para sarjana mendapatkan sebutan sebagai orang "yang amat terpelajar". Suatu sebutan yang menyiratkan komitmennya pada nilai-nilai etis, standar mutu dan integritas akademik.
Baca juga: Akuntabilitas Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa dan perbaikan peradaban. Namun, penyelenggaraan pendidikan tinggi yang membiarkan terjadinya pelanggaran nilai, tradisi, dan kaidah akademik, cepat atau lambat justru akan meruntuhkan standar mutu dan menghancurkan peradaban bangsa.
Pengabaian terhadap jati diri dan misi dasar tersebut telah merendahkan martabat perguruan tinggi dan mereka yang memperoleh gelar akademik darinya, bahkan menjebak perguruan tinggi tak ubahnya sebagai penjaja sertifikat belaka. Tanpa komitmen untuk merawat dan mempertahankan nilai-nilai etis dan integritas akademik, institusi pendidikan tinggi akan terperosok pada praktik transaksional nir-etika dan pembusukan akademik.
Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa dan perbaikan peradaban.
Pertaruhan
Bagi masyarakat akademik, gelar doktor atau jabatan akademik profesor adalah sesuatu yang bernilai dan membanggakan. Gelar dan jabatan itu menunjukkan capaian dan reputasi profesionalnya dan diperoleh dengan kerja keras dan dedikasi bertahun-tahun. Sehingga perolehan gelar dan jabatan akademik secara serampangan dikhawatirkan dapat mencederai bahkan mengotori standar proses dan capaian akademik yang sahih dan bermutu.
Kini, fenomena pemberian gelar kehormatan dan jabatan akademik kepada orang-orang tertentu yang sedang memegang kuasa atau menduduki jabatan tertentu telah menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran. Muncul dugaan gelar dan jabatan akademik diberikan kepada pejabat publik atau politikus sebagai instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, bahkan sebagai transaksi politik yang berhubungan dengan kepentingan tertentu yang tidak terkait dengan misi fundamental institusi akademik.
Aturan mengenai pemberian gelar Doktor Kehormatan termuat dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, menyebut bahwa tata cara dan syarat pemberian gelar doktor kehormatan diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Sedangkan pemberian gelar profesor tidak tetap, diatur dalam Permendikbud Nomor 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik pada Perguruan Tinggi Negeri. Kriteria untuk pengusulan profesor tidak tetap adalah yang bersangkutan memiliki karya bersifat pengetahuan yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan manusia.
Ada kaidah normatif pemberian suatu penghargaan atau gelar akademik kehormatan, ada indikator atau syarat yang harus dipenuhi. Orang-orang yang mendapat gelar kehormatan seharusnya adalah mereka yang betul-betul membuktikan kompetensi, karya dan kontribusi keilmuan di masyarakat. Namun, aturan tentang memiliki jasa, keahlian atau prestasi luar biasa, bisa ditafsirkan secara subjektif.
Benarkah praktik pemberian gelar kehormatan ini telah memperhatikan dan menerapkan kaidah tersebut secara konsisten? Atau sekedar instrumen transaksi kepentingan di antara para pihak yang terlibat dalam proses pemberian gelar tersebut?
Baca juga: Penyalahgunaan Otonomi Universitas
Bagi perguruan tinggi, pemberian gelar kehormatan dapat merupakan pertaruhan. Jika yang diterapkan adalah proses yang baik, standar yang jelas dan konsisten, maka pemberianan gelar dapat bermakna positif. Pemberian gelar dapat meningkatkan reputasi baik bagi institusi maupun individu yang memperolehnya. Sebaliknya, pemberian gelar justru bermakna negatif, jika dilakukan karena adanya relasi transaksional, tekanan atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi.
Fakta tersebut, mengkonfirmasi adanya upaya “transaksi gelar akademik” dengan mengabaikan norma, etika dan standar mutu akademik yang relevan, sahih dan otentik. Suatu formalisasi terhadap capaian akademik yang tidak orisinal dan “genuine”.
Rekam jejak dan capaian penerima menjadi pertimbangan krusial. Publik juga dapat menilai siapa dan bagaimana penerima gelar atau jabatan kehormatan tersebut. Apakah pemberian gelar dan jabatan kehormatan ini akan menjadi inspirasi dan rujukan bagi sivitas akademik dan masyarakat, atau sebaliknya justru menjadi patologi sosial.
Sigit Riyanto, Guru Besar Fakultas Hukum UGM