Amendemen konstitusi adalah wujud renegosiasi kontrak sosial, yang harus dikelola secara sakral. Karena dalam demokrasi yang sakral adalah kehendak rakyat, maka amendemen konstitusi harus mendapat kesepakatan rakyat.
Oleh
ABDUL GAFFAR KARIM
·5 menit baca
Wacana amendemen UUD 1945 terus menguat. Ada nuansa dominasi elite yang sangat kuat dalam rencana ini, sebagaimana kebanyakan kinerja regulasi di Indonesia.
Dalam sebuah acara diskusi di MPR pertengahan September 2021, Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, ”Mau tidak mau, suka tidak suka, MPR RI akan melakukan amendemen terbatas.” Yang dimaksud amendemen terbatas ini adalah dimasukkannya pasal tentang Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai arah pembangunan nasional.
Penambahan PPHN ini adalah rekomendasi MPR periode 2009-2014 dan 2019-2024. PPHN akan memberi kekuatan politik lebih besar pada MPR, termasuk untuk meminta pertanggungjawaban dari presiden. Ini berpotensi memutar lagi arah tata negara dari presidensialisme murni.
Namun, tulisan ini tidak akan membahas hal itu. Yang akan dibahas di sini adalah amendemen konstitusi dari perspektif etika politik. Argumen utama tulisan ini ialah bahwa amendemen konstitusi adalah wujud renegosiasi kontrak sosial, yang harus dikelola secara sakral. Kiranya tak perlu lagi kita diingatkan, bahwa dalam demokrasi, yang sakral adalah kehendak rakyat.
Renegosiasi kontrak sosial
Renegosiasi kontrak sosial dapat dimaknai sebagai proses sosial-politik ketika para aktor melakukan peninjauan ulang terhadap kesepakatan yang sebelumnya ada, untuk digantikan dengan kesepakatan yang baru, baik secara menyeluruh maupun sebagian (Karim 2020). Basis berpikirnya adalah kontrak sosial seperti yang digagas oleh sejumlah filsuf, seperti Locke, Hobbes, Kant, dan Rawls (Kissinger 2003). Biasanya, gagasan mereka tentang kontrak sosial mencakup tiga aspek penting, yakni individu, otoritas, dan norma.
Bagi para penganut teori kontrak sosial, moralitas politik individu sangat ditentukan oleh persetujuan di antara mereka dalam membangun masyarakat yang ideal. Inti gagasan kontrak sosial adalah bagaimana individu menjadi bagian yang patut dalam masyarakat yang disepakatinya.
Kesepakatan ini bersifat dinamis, yang secara berkala biasanya ditinjau kembali. Peninjauan itulah yang dapat kita sebut sebagai renegosiasi kontrak sosial. Ini bisa berjalan dengan cepat, tetapi kebanyakan berjalan secara gradual sehingga nyaris tidak terasa. Renegosiasi yang lebih terasa adalah yang berjalan di ranah otoritas dan norma.
Individu yang mengikatkan diri dalam masyarakat memerlukan otoritas yang kuat dan efektif. Bentuk utama otoritas yang dihasilkan oleh kontrak sosial adalah pemerintahan negara. Ketika terjadi renegosiasi kontrak sosial (seperti Indonesia saat reformasi), terjadi perubahan dalam format, ukuran, dan rentang kendali pemerintahan.
Kalau ruang renegosiasi yang terjadi sangat besar, bisa malah lahir negara baru. Kita mengalaminya dengan Timor Leste. Dalam derajat lebih kecil, kita mengalaminya dalam pemekaran provinsi dan kabupaten/kota.
Kalau ruang renegosiasi yang terjadi sangat besar, bisa malah lahir negara baru.
Cara bagaimana pemegang otoritas dipilih dan menggunakan kekuasannya juga kerap menjadi obyek renegosiasi sosial. Tahun 2000-an, kita melakukannya dengan membatasi jabatan presiden hanya dua periode, bukan tiga periode atau lebih.
Dalam mengelola kepentingan bersama seluruh individu, pemegang otoritas harus bekerja menurut norma yang disepakati bersama. Ini diperlukan sebab pemegang otoritas memiliki peluang untuk berbuat sesuatu di luar yang dikehendaki oleh para individu.
Manifestasi norma dalam masyarakat modern adalah hukum dan regulasi. Wujud paling konkret dari berjalannya renegosiasi kontrak sosial adalah amendemen terhadap hukum dan regulasi itu. Karena itu, ketika terjadi amendemen konstitusi seperti yang sedang didorong oleh sejumlah elite politik saat ini, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: renegosiasi kontrak sosial macam apa yang sedang mereka gagas?
Renegosiasi yang kita butuhkan
Para elite politik itu harus bisa menjelaskan di depan rakyat, apakah renegosiasi kontrak sosial di aras norma tersebut benar dibutuhkan oleh rakyat, atau hanya dibutuhkan oleh elite. Ini penting dilakukan dari perspektif etika politik.
Kalau hanya berpegang pada aturan yang berlaku, tidaklah terlalu sulit bagi kekuatan politik untuk memaksakan perubahan norma. Amendemen konstitusi memang bisa dilakukan oleh elite politik, karena menurut UUD 1945, syaratnya adalah jumlah anggota MPR yang terlibat di setiap tahapnya.
Kalau hanya berpegang pada aturan yang berlaku, tidaklah terlalu sulit bagi kekuatan politik untuk memaksakan perubahan norma.
Dalam amendemen konstitusi, ada tahap proposal, process, dan approval. Pasal 37 UUD 1945 memasrahkan bongkokan ketiga tahap itu kepada elite politik. Proposal cuma butuh sepertiga anggota MPR, process butuh dua pertiga, dan approval butuh separuh ditambah satu anggota. Pada intinya, semua hal dalam UUD 1945 bisa diubah, kecuali bentuk negara kesatuan.
Di manakah rakyat dalam seluruh proses itu? Tak ada pemaksa bagi elite politik ini untuk mendengarkan kehendak rakyat. MPR cukup melakukan hearing dengan sejumlah ahli yang dipilih. Itu pun tidak ada ikatan apa pun antara pendapat ahli dan kehendak politik di Majelis.
Ini berbeda dari ketentuan di sejumlah negara, yang memberi peluang bagi rakyat untuk menyatakan kehendaknya, terutama di tahap approval, tetapi juga kadang di tahap proposal. Kehendak rakyat ini dibuktikan lewat referendum.
Anda tak perlu menjadi ahli hukum tata negara untuk memahami hal ini. Coba saja buka Wikipedia, lalu masukkan kata kunci ”constitutional amendment”. Anda akan lihat berapa banyak negara di dunia yang mewajibkan referendum, paling tidak di tahap approval.
Kita di Indonesia tak mengenal mekanisme referendum dalam amendemen UUD 1945. Apakah referendum ini terlalu mahal? Tidak juga. Kalau mau menghemat biaya, referendum bisa saja ditumpangkan dalam pemilu serentak. Ini memang bukan masalah biaya. Ini masalah penutupan akses rakyat terhadap renegosiasi norma, yang prosesnya memang dibuat elitis.
Kembali pada prinsip di atas, bahwa dalam demokrasi yang sakral adalah kehendak rakyat, maka yang kita butuhkan adalah amendemen terhadap Pasal 37 UUD 1945. Di situ perlu ada ketentuan tentang referendum sebagai syarat approval terhadap perubahan konstitusi.
Setelah itu dilakukan, tidak masalah jika elite politik hendak menggagas PPHN, atau bahkan jabatan presiden tiga periode. Akan ada referendum yang menyaring di akhir.
Abdul Gaffar Karim, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM