Kebijakan pungutan PNBP dengan sistem pembayaran di depan secara logika memang kurang tepat, karena ikannya belum tertangkap, tetapi sudah harus bayar pungutannya.
Oleh
PURWITO MARTOSUBROTO
·3 menit baca
Semua sektor ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya alam dikenai pungutan oleh pemerintah— dikenal dengan sebutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di sektor kehutanan, berbagai jenis pungutan yang termasuk PNBP antara lain dalam kaitannya dengan izin pengusahaan hutan (HPH), biaya reboisasi, dan sebagainya.
Di sektor perikanan tangkap, pungutan itu terkait dengan (surat izin usaha penangkapan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI). Bagaimana cara penghitungannya?
Di sektor kehutanan, PNBP dipungut sebelum pengusaha melakukan usahanya. Besaran pungutan dihitung berdasar luas dan jenis tanaman/kayu yang ada di hutan. Di sektor perikanan tangkap juga demikian, tergantung ukuran usahanya (ukuran kapal penangkap, jenis alat tangkap) dan jenis ikan yang jadi target penangkapan.
Kalau di sektor kehutanan menghitung luas area yang akan diusahakan tidak menjadi masalah, karena bisa diukur dan dihitung dengan mudah. Namun di sektor perikanan, untuk menghitung ikan di laut yang akan ditangkap tak mudah. Biasanya dilakukan dengan metode perkiraan berdasarkan data hasil tangkapan sebelumnya. Bila belum ada yang menangkap, tentu melalui survei dengan kapal-kapal penelitian. Jadi prinsipnya, angka produktivitas hasil tangkapan, salah satu elemen yang dipakai sebagai dasar penghitungan.
Produktivitas hasil tangkapan suatu kapal di suatu daerah bisa saja beda dengan daerah yang lain.
Produktivitas hasil tangkapan suatu kapal di suatu daerah bisa saja beda dengan daerah yang lain. Produktivitas hasil tangkapan juga tergantung kepada jumlah kapal yang melakukan penangkapan, karena semakin banyak kapal yang memperoleh SIPI, angka produktivitas akan menurun mengingat sumber daya ikan bukan tidak terbatas.
Selama tak ada pembatasan jumlah izin kapal (SIPI) di suatu daerah, baik dari pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP) maupun dari pemda (provinsi), maka dengan perjalanan waktu, nilai produktivitas kapal akan turun. Ini merupakan salah satu elemen penting yang harus dipertimbangkan setiap kali membuat kebijakan baru terkait angka produktivitas.
Kebijakan cara pembayaran PNBP di depan sebelum pengusaha melakukan penangkapan sudah berlangsung lama, bahkan sejak sistem PNBP dikenakan di sektor perikanan tangkap di tahun 1970-an.
Akhir-akhir ini timbul gejolak di lapangan dan puncaknya terjadi demo nelayan di Muara Baru pada 29 September 2021 yang memprotes kebijakan PNBP yang baru, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 85 Tahun 2021, karena dianggap para pengusaha dan nelayan semakin mahal, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Mengapa mahal?
Bisa saja terjadi bila parameter produktivitas yang baru tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bisa juga angka produktivitas di sama ratakan untuk seluruh daerah?
Kebijakan pungutan PNBP dengan sistem pembayaran di depan secara logika memang kurang tepat, karena ikannya belum tertangkap, tetapi sudah harus bayar pungutannya. Ibaratnya seperti sistem ijon di pertanian. Tentu masuk akal bila PNBP dibayar setelah ikan tertangkap. Namun sistem ini membutuhkan sarana dan SDM di lapangan yang memonitor hasil tangkapan kapal-kapal di tempat-tempat pendaratan.
Tentu masuk akal bila PNBP dibayar setelah ikan tertangkap.
Menurut informasi saat ini, KKP sedang mengkaji hal ini dan merencanakan untuk memperkenalkan sistem baru ini pada 2023. Ini berarti sistem lama akan tetap berlaku sampai akhir 2022, namun tentu ketentuan besarannya membutuhkan kajian yang mendalam agar tidak memberatkan para pelaku usaha penangkapan.
Purwito MartosubrotoDirektur Sumber Hayati Perikanan, Departemen Pertanian, 1985-1990. Staf FAO Fisheries Department, Roma, 1990-2003