Penghargaan Nobel Perdamaian 2021 yang dianugerahkan kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov menjadi suluh bagi pers dunia, termasuk di Indonesia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Khalayak seakan kembali diingatkan tentang arti penting jurnalisme dalam menjaga demokrasi serta terwujudnya dunia yang lebih damai. Nyala pers yang seakan telah redup tertutup oleh banjir informasi, menjadi terang benderang.
Komite Nobel Norwegia memutuskan memberikan Hadiah Nobel Perdamaian 2021 kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov karena keduanya dianggap mewakili sosok jurnalis yang tanpa lelah menegakkan kebebasan berekspresi yang merupakan prasyarat bagi demokrasi dan perdamaian abadi.
Di tengah menurunnya kepercayaan publik pada media, Ketua Komite Nobel Norwegia Berit Reiss-Andersen dalam sebuah wawancara khusus menegaskan, keduanya juga sosok jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik yang profesional dengan standar kualitas tinggi dan berani sehingga bisa menginspirasi jurnalis dan organisasi media.
Maria Ressa sudah 30 tahun bergelut dengan jurnalisme. Pada 2011, dia mendirikan media Rappler dan gencar mengkritisi kampanye anti-narkoba yang kontroversial oleh rezim Presiden Rodrigo Duterte yang menyebabkan puluhan ribu kematian. Tindakan ini dinilai sebagai penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme.
Adapun Muratov adalah pendiri dan pemimpin redaksi koran Rusia, Novaya Gazeta. Dia dinilai menjadikan surat kabar itu paling independen di Rusia, lantang mengkritisi rezim Presiden Vladimir Putin. Puluhan ribu artikel tentang korupsi telah dipublikasikannya, selain kekerasan polisi, penangkapan tidak sah, penipuan pemilu, hingga pabrik troll, konten yang memojokkan pihak tertentu.
Sudah ada enam jurnalisnya terbunuh. Namun, itu tak membuatnya menyerah membela hak jurnalis untuk menulis apa pun yang mereka inginkan selama mematuhi standar profesional dan etika jurnalisme.
Kemerdekaan pers di Indonesia termasuk dalam kategori cukup bebas. Skor Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia di 2021 mencapai 76,02 poin, naik tipis 0,75 poin dibandingkan pada 2020. Namun, terjadinya penurunan Indeks Demokrasi Indonesia di 2020, serta masih banyaknya kasus kekerasan terhadap pekerja pers, perlu menjadi perhatian pemerintah.
Menjaganya agar terus menyala adalah tantangan jurnalis, juga pencinta demokrasi dan perdamaian di negeri ini.
Bagi pers di Indonesia, Nobel 2021 selain memberi semangat, sekaligus momentum refleksi sudah sejauh mana melangkah. Tradisi investigasi dan penegakan kode etik pers Filipina termasuk yang kuat. Panduan konten Rappler, misalnya, menegaskan jurnalisme dan etika berjalan beriringan karena kredibilitaslah yang membuat jurnalis efektif mengungkap kebenaran.Pengecekan fakta pun dipastikan dengan detail taat prosedur. Dalam pelibatan warga, moderasi pun dilakukan untuk memastikan konten sesuai standar etika. Tidak ada kata-kata kotor, kebencian, atau serangan pribadi.
Peran jurnalisme menjadi kembali terang. Menjaganya agar terus menyala adalah tantangan jurnalis, juga pencinta demokrasi dan perdamaian di negeri ini. Tidak boleh padam.