Ketika akses digital terbuka, terutama bagi anak perempuan, maka kita juga harus membekali mereka dengan pengetahuan cara melindungi diri baik dari kemungkinan menjadi korban kekerasan berbasis gender online.
Oleh
ANGELINA THEODORA
·4 menit baca
Tanggal 11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Internasional (HAPI). Apa kabar anak-anak perempuan di Indonesia? Sementara isu akses pendidikan, ketimpangan jender, perkawinan usia anak belum selesai dibereskan, kini ada satu lagi isu yang menyeruak, yaitu kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Sejak pemerintah memberlakukan pembatasan aktivitas di luar rumah karena pandemi pada Maret 2020, anak-anak jadi lebih banyak mengakses dunia maya. Telah 575 hari sejak sekolah daring diberlakukan, anak-anak berselancar di dunia yang bisa menjadi sumber pencerahan, namun sekaligus membahayakan, terutama untuk anak-anak perempuan. Hal ini terjadi di mana pun, termasuk daerah tertinggal.
Tema yang diangkat HAPI tahun ini adalah Digital Generation, Our Generation yang mendalami kesenjangan akses dunia digital antara anak perempuan dan anak laki-laki. Kesenjangan itu semakin terasa di wilayah tertinggal. Wahana Visi Indonesia (WVI) menemukan, ketika akses digital terbuka, terutama bagi anak perempuan, maka kita juga harus membekali mereka dengan pengetahuan cara melindungi diri baik dari kemungkinan menjadi korban KBGO, maupun pelaku.
Di kelas literasi digital Aku Netizen Unggul yang diselenggarakan WVI, para peserta yang berusia 10-16 tahun berbagi pengalaman berkaitan cyberbully (perundungan siber). Miris mendengar anak-anak telah belajar menormalisasi kejadian kekerasan siber.
“Saya pikir itu biasa, saya diamkan saja. Toh dia teman saya,” kata seorang peserta. Peserta lain pernah melapor pada orangtuanya ketika dirundung, tetapi ia dilarang meneruskan ke sekolah dan menganggap pelaku hanya kurang kerjaan. Sementara itu, sebagian lain menjawab “biasa saja” ketika ditanya perasaannya saat menjadi korban perundungan siber.
Pengalaman kekerasan anak perempuan dan anak laki-laki di dunia maya berbeda. Umumnya anak laki-laki mengalami perundungan siber ketika bermain gim (game), sementara anak-anak perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan berupa body shaming dan bentuk kekerasan seksual.
Seorang anak dari Kupang bercerita pernah diteror panggilan video dari nomor tidak dikenal, ketika diangkat, seseorang langsung menunjukkan alat kelaminnya. Meskipun telah diblokir, nomor-nomor asing terus menyerbunya dan melakukan hal sama, lalu berakhir dengan membujuk si anak melakukan hal serupa, dengan iming-iming upah pulsa seratus ribu rupiah.
Laporan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan angka kekerasan terhadap anak perempuan melonjak sebanyak 2.341 kasus atau sekitar 65 persen dari tahun sebelumnya, dan sejak Januari hingga Oktober 2020 kekerasan seksual secara daring mencapai 659 kasus. Sementara itu KPAI menerima laporan sebanyak 651 kasus yang berkaitan dengan pornografi dan kejahatan siber sepanjang 2020, sebagian besar korbannya anak perempuan. Data ini semakin menunjukkan bahwa baik di dunia nyata maupun digital, anak-anak perempuan sama-sama menghadapi ancaman kekerasan.
Situasi anak-anak di daerah tertinggal di mana WVI aktif, menjadi dilematis. Satu sisi akses digital penting untuk membawa perubahan lebih baik, namun juga sangat rawan bagi KBGO. Dari hasil Vulnerability Survey yang dilakukan WVI tahun 2021 terhadap 924 anak di 35 kabupaten/kota pada 29 area program di daerah tertinggal WVI, sebanyak 61,2 persen anak menyatakan memiliki akses terhadap telepon pintar (smartphone).
Namun, sistem pelaporan jika terjadi kekerasan masih terbatas. Sebanyak 36 persen peserta survei mengatakan masih mengalami kendala ketika akan melaporkan kejadian kekerasan siber.
RPJMN 2020 - 2024 juga menyitir masalah kekerasan siber terhadap anak, dan menekankan penyelesaian masalah tersebut dalam kerangka penguatan Sistem Perlindungan Anak yang responsif terhadap keragaman dan karakteristik wilayah untuk memastikan anak menikmati haknya.
Menutup akses digital jelas bukan pilihan karena itu menjadi bagian dari masa depan anak. Tugas kita sebagai orang dewasa untuk memastikan akses digital yang aman, melalui pendampingan dan pengasuhan yang baik. Pemerintah wajib mengelola akses digital aman buat anak, sekaligus ramah ilmu pengetahuan.
Saat ini anak dapat melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya melalui Call Centre SAPA 129, atau khusus untuk kejahatan siber di laman http://www.patrolisiber.id/ yang dikelola Direktorat Patroli Siber Bareskrim Polri. Namun, pelaporan resmi ke polres terdekat juga harus dilakukan.
Tidak kalah penting adalah pemerintah harus segera menerbitkan dan mengimplementasi kebijakan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak serta Rencana Aksi Nasional. Dokumen ini mengatur kerja-kerja lintas sektor untuk melindungi anak dari kekerasan. DPR perlu segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bagi orangtua atau pengasuh, mari mulai bicara pada anak-anak tentang pengalaman digital yang aman, juga bahaya kekerasan yang mengintai. Sebagai orang dewasa, kita bisa berpartisipasi dengan tidak menyebarkan konten pornografi atau negatif lainnya, serta mengajak orang lain melakukan hal sama. Ingat, memberikan perlindungan pada anak-anak bukan hanya tugas orangtua biologisnya saja, tetapi tugas orang lain di sekitarnya, sekolah, media, dan negara.
Selamat Hari Anak Perempuan Internasional!
Angelina Theodora, Direktur Nasional dan CEO Wahana Visi Indonesia