Pengetahuan jalur rempah yang digemakan ulang oleh pemerintah mestinya tak menepikan ingatan kolektif sumbangan kalangan etnis China. Di masa silam merekamendukung perdagangan rempah dan mengenalkan rempah lewat kuliner.
Oleh
HERI PRIYATMOKO
·5 menit baca
Candi Banyunibo di telatah Sleman berkalung mendung. Mentari malu-malu menampakkan batang hidungnya meski jarum jam yang melingkar di tangan menunjukkan angka 9. Pencahayaan alami yang menyirami warisan luhung kakek moyang abad IX ini membuatnya tampak anggun bak putri raja Mataram Kuno. Suasana yang pada hari-hari biasa hening, pagi itu agak riuh. Di pelataran bebatuan kuno tersebut disulap menjadi panggung mendongeng mengenai budaya rempah-rempah.
Pemerintah Indonesia tengah getol memperjuangkan jalur rempah sebagai warisan dunia di UNESCO. Tak ayal, banyak program dihelat oleh lembaga pelat merah demi menggapai asa manis itu.
Beberapa waktu lalu, saya ”ditodong” oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY untuk membagikan cerita kelampauan perihal pengaruh rempah-rempah di kawasan Jawa Tengah. Pangkal kisahnya dimulai dari pesisir utara Jawa yang merupakan salah satu titik jalur rempah di Nuswantara pada abad XV-XVIII. Garis sejarahnya dari pelabuhan Jepara, lalu bergeser di pelabuhan Semarang, rempah menjadi komoditas mewah. Ia melengkapi dagangan beras serta kayu jati yang diandalkan oleh niagawan lokal.
Selama ini, rombongan pelayar Barat sering dituding sebagai aktor utama di rute perdagangan yang melegenda itu. Seakan-akan orang Jawa digambarkan sebagai pelaku pasif dalam perkembangan jagat rempah. Maka, di kompleks batu-batu lawas berlumut hitam itu, saya tidak meluputkan kedekatan relasi wong Jawa dengan rempah.
Saking dekatnya hubungan itu, terwujud dalam toponim alias asal-usul nama daerah. Ambillah misalnya Kampung Jetis (siung bawang), Kampung Mrican (merica), Kampung Tegal Kuniran (kunir), Kampung Lempuyangan (lempuyang), Kampung Karangasem (asam), Pasar Ngasem, Kampung Ngaseman, dan lainnya. Maknanya di sini ialah kawruh tentang rempah tidak hanya mandek di pawon (dapur) dan bandar saja.
Agar narasi sejarah berimbang, tiada salahnya gantian menggelarkan panggung untuk komonitas Tionghoa. Berbekal daya kreasi dan bahan rempah lokal, mereka juga memiliki kontribusi dalam urusan dapur.
Makanan Tionghoa yang dibawa oleh imigran dari negeri Tiongkok ke Nusantara bisa dipastikan memakai bumbu rempah seperti bawang, brambang, dan merica. Contohnya, capjay, bakmi, bihun, misoa, kimlo, bakso, sate babi, babi kuah, grabyasan, babi panggang, dan babi kecap.
Nah, di Jawa pengadaan rempah tidak menimbulkan kerumitan bagi sahabat Tionghoa. Yang mengundang tanya ialah bagaimana penyediaan daging babi untuk bahan pokok kuliner yang disebutkan di atas.
Makanan Tionghoa yang dibawa oleh imigran dari negeri Tiongkok ke Nusantara bisa dipastikan memakai bumbu rempah.
Di mata etnis Tionghoa, pengadaan daging babi untuk diolah di pawon itu tidak dapat diremehkan. Maka, ngingu alias beternak babi adalah strategi yang jitu, sekaligus bisnis menggiurkan tempo itu.
Di Kota Bengawan, kali pertama peternakan babi atau populer dengan istilah baben itu berada di bibir Kali Pepe, bukan di Kampung Sewu, Palur ataupun Kwarasan, Sukoharjo yang masih eksis sampai detik ini. Persisnya di Kampung Widuran, berjarak hanya seperminuman teh dari area Pecinan. Jejak sejarahnya masih bisa kita lihat berupa toponim Kampung Baben.
Lokasi peternakan hewan berkaki empat ini syarat utamanya harus dekat sungai demi memastikan pasokan air lancar untuk membersihkan kotoran babi berikut kandangnya. Juga relatif jauh dari pemukiman warga. Kotoran ingon-ingon babi dibuang ke anak sungai Bengawan Solo untuk dialirkan ke sungai raksasa itu.
Selain menjamin kesehatan binatang, air Kali Pepe dimaksudkan untuk mencegah tetangga teracuni akibat bau menyengat yang bersumber dari kotoran babi. Mereka bakal mencak-mencak apabila pengelola peternakan mau menang sendiri atawa tidak memikirkan jalan keluarnya.
Jurnalis koran Bromartani (1880) pernah suatu kali menulis keluhan masyarakat: Tuwin dhusun-dhusun pinten-pinten babi pating kluyur ing margi-margi. Tinjanipun andadosaken asakit rang. Terjemahan bebasnya: di beberapa desa didapati banyak babi berkeliaran di jalan-jalan. Kotorannya menyebabkan sakit gatal pada kaki.
Daging babi diperoleh para koki, ibu rumah tangga, maupun pengusaha restoran dengan melangkahkan kaki ke Pasar Gedhe. Kultur bersantap daging babi kala itu tidak mengalami penolakan di Surakarta.
Budaya Tionghoa
Kuatnya pengaruh budaya Tionghoa dalam jagat kuliner ditunjukkan dengan banyaknya warung Tionghoa di daerah Pecinan. Pengaruh tersebut berhasil merembes ke beberapa titik di pinggiran kota, bahkan sejumlah angkringan menjajakan daging babi yang siap dibakar untuk memanjakan lidah konsumen.
Selain itu, beredar pustaka panduan makanan yang ditulis putri China. Buku tersebut rupanya laris di pasaran lantaran didukung semerbaknya hobi keplekilat serta tidak diragukan kelezatan hidangan Tionghoa.
Jika punya cukup waktu untuk mangsak (memasak) serta belajar olah-olah masakan tacik Tionghoa memakai bahan rempah, mereka membuka kitab berisi aneka resep makanan (1930). Uniknya, masakan ini dibubuhi embel-embel ”model Solo”, sama sekali tidak menonjolkan terminologi ”China”.
Kenyataan historis ini memperjelas meleburnya budaya Tionghoa dalam kehidupan sosial lintas suku, meski mereka direken (dianggap) sebagai kelompok minoritas atau out group. Mencatat aneka resep adalah sebentuk kesadaran literasi kaum Tionghoa. Usaha tersebut bukan saja mencegah lenyapnya hasil olahan pawon itu, tetapi juga menyelamatkan unsur pengetahuan untuk terus diwariskan lintas generasi.
Sekali lagi, pengetahuan jalur rempah yang digemakan ulang oleh pemerintah belakangan ini mestinya tidak menepikan ingatan kolektif sumbangan sahabat China. Kita tetap mengapresiasi golongan minoritas tatkala di masa silam mendukung perdagangan rempah di pelabuhan hingga dimanfaatkan di bilik dapur.
Terlebih lagi, aspek budaya kuliner berbahan rempah yang disantap itu sejatinya adalah ruang harmoni. Jalur rempah laksana kereta waktu untuk memahami lebih arif sumbangan masyarakat lintas etnis dari sisi pandang sejarah dan antropologi. Menengok pusparagam hidangan di atas meja makan Nusantara yang berbumbu rempah, memantulkan kenangan yang membekas bagi masyarakat China yang seharusnya tidak bisa kita anggap liyan.
(Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Penulis Pustaka Keplek Ilat)