Mereaktualisasikan Sastra Suluk
Generasi sastra Indonesia modern nyaris tidak menggunakan sastra suluk untuk menamai sastra yang terpengaruh tasawuf ini, tetapi lebih sebagai sastra religius, sastra transendental, atau sastra sufistik.
Seiring kuatnya pengaruh ajaran tasawuf dalam sejarah Islam di Nusantara, berbagai dimensi kehidupan masyarakat Nusantara pun banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran spiritual Islam tersebut. Hal ini tidak terlepas dari proses islamisasi masyarakat Nusantara itu sendiri, khususnya di Jawa, yang terkenal dengan walisanga-nya, yang sejak awal memang bercorak tasawuf.
Corak Islam tawawuf (sufisme) mengapa begitu mudah berkembang di Jawa? Hal ini tidak terlepas pola-pola kehidupan masyarakat Jawa yang cenderung mengarah ke penghayatan kerohanian.
Sejarawan dari Australia, MC Ricklefs, dalam bukunya Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang (2013) misalnya, mencatat bahwa pola kehidupan masyarakat Jawa sejak semula memang cenderung sophisticated-spiritual. Corak yang demikian ini cenderung ”berkesuaian” dengan ajaran mistik Islam (tasawuf). Akhirnya, pola ini melahirkan corak keagamaan (Islam) di Jawa yang bersifat sintetis mistik.
Baca Juga: Poskolonialitas Islam Nusantara
Di dalam dunia kesusastraan, pengaruh tasawuf ini melahirkan genre tersendiri, yang kemudian disebut sastra suluk. Pelopornya adalah salah satu anggota walisanga, yaitu Sunan Bonang. Buku sastra suluk Sunan Bonang tersebut, saat ini, tersimpam di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Sarjana pertama yang melakukan studi terhadap sastra suluk Sunan Bonang ini adalah Schrieke, dalam bukunya Het Boek van Bonang (1916). Zoetmulder, peneliti teks-teks sastra Jawa yang bercorak mistik Islam, menilai buku Sunan Bonang ini sebagai teks tertua tentang ajaran tasawuf di Jawa.
Hal ikhwal buku sastra suluk Sunan Bonang hingga sampai ke Negeri Kincir Angin tidak terlepas dari kedatangan Belanda di Indonesia. Manuskrip buku tersebut dibawa oleh armada pertama Belanda yang sempat berlabuh di Pelabuhan Sedayu (sekarang Tuban, Jawa Timur). Armada pertama Belanda ini dipimpin oleh Cornelis de Houtman, pada tahun 1596.
Istilah tasawuf dan suluk tentu saja bukan asli Indonesia, tetapi dipungut dari bahasa Arab—negeri asal agama Islam. Banyak tafsir tentang pengertian tasawuf, di antaranya berasal dari kata sufa, yang berarti suci, ”murni” (Al-Hujwiri, Kasyful Mahjul, Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, 1992).
Suluk berasal dari kata salaka secara harfiah berarti ”melalui, menempuh (jalan cara), perjalanan (Simuh, 1988). Dalam hal ini, suluk dapat diartikan sebagai perjalanan rohani atau perpindahan sikap mental dengan cara menyucikan diri lahir dan batin guna mencapai kehidupan rohani yang lebih sempurna (Zahri, 1984), tanpa meninggalkan kehidupan di dunia.
Dalam ajaran tarekat, suluk adalah semacam amalan tasawuf dalam praktik. Sampai hari ini, di lingkungan tarekat, suluk masih dilakukan dengan laku tertentu ber-taqaruf kepada Allah dalam durasi waktu tertentu pula (bisa 10 hari, atau maksimal 40 hari) yang dipimpin oleh seorang mursyid (guru tarekat). Dalam hal ini, sang salik (murid tarekat) ber-iktikaf selama waktu tersebut tanpa putus, yang hanya berfokus kepada Allah, dengan maksud mencari keridhaan Allah, guna menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs).
Baca Juga: Roh Islam dalam Budaya Jawa
Pengaruh tasawuf terhadap sastra di Indonesia tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi hampir merata di wilayah Nusantara. Di Sumatera, misalnya, dikenal tokoh-tokoh sastra sufi, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin as Samatrani, Nuruddin ar Raniri, Abdul Rauf dari Singkel, dan sebagainya. Di Makassar, ada Syekh Yusuf al Makassari. Namun, penggunakaan istilah sastra suluk, sepertinya, hanya terjadi di Jawa (dan Madura). Di Sumatera, istilah yang muncul adalah syair, seperti karya Hamzah Fansuri yang terkenal, Syair Perahu.
Sastra suluk Jawa mula-mula berkembang dari daerah pesisir utara Pulau Jawa, khususnya dari pantai Gresik, ke Demak, Cirebon, dan baru dari sini kemudian muncul istilah kesusastraan Jawa pesisir dan kesusastraan Jawa pesantren (Hutomo, 1990). Sastra suluk Jawa pesisiran, pada umumnya ditulis dengan huruf Arab Pego (Pegon), huruf Arab yang telah dijawakan, yang biasa dipakai di pesantren-pesantren tradisional di Jawa (di Sumatera disebut huruf Arab Melayu).
Sastra suluk juga berkembang di Jawa daratan (Mataraman), yang berbentuk puisi tembang macapat, ditulis dalam huruf Jawa. Di antara penulis sastra suluk Mataraman ini, seperti Yasadipura I dan Ranggawarsita. Ranggawarsita menulis sastra suluk, berbentuk macapat, di antaranya Serat Suluk Saloka Jiwa.
Sastra Indonesia modern
Di alam sastra Indonesia modern, pengaruh tasawuf atau sufisme juga masih kental terjadi. Misalnya, pengarang yang banyak dipengaruhi ajaran tasawuf dalam sastra Indonesia modern, seperti Amir Hamzah, Abdul Hadi WM, Kuntowijayo, Sutardji Calzoum Bachri, M Fudholi Zaini, Danarto, Emha Ainu Nadjib, Muhammad Zuhri, A Mustofa Bisri, dan banyak lagi.
Bahkan, akhir tahun 1970-an hingan 1980-an, sastra sufi ini sempat menjadi tren. Tokoh lokomotifnya, Abdul Hadi WM, yang kala itu mengelola Rubrik Sastra ”Dialog” di Berita Buana. Banyak pengarang yang lahir dari generasi ini, seperti Acep Zamzam Noor, Ahmadun Y Herfanda, Ahmad Nurullah, Soni Farid Maulana, Jamal D Rahman, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A Elwa, dan masih banyak lagi.
Tentu saja agak berbeda dengan pengarang generasi Sunan Bonang, Hamzah Fansuri, Syekh Yusuf al Makassari, yang merupakan pelaku tasawuf (pengamal tarekat), tetapi generasi sastra Indonesia modern ini lebih menggunakan sufisme sebagai sumber inspirasi estetika (pengetahuan). Namun, jarang di antaranya yang menjadi pengamal tasawuf (meskipun, kalau ditelisik lebih jauh, mungkin sebagian juga ada).
Baca Juga: Sastra dan Kewarasan Kita
Namun, generasi sastra Indonesia modern nyaris tidak menggunakan sastra suluk untuk menamai sastra yang terpengaruh tasawuf ini, tetapi lebih sebagai sastra religius, sastra transendental, atau sastra sufistik. Abdul Hadi WM kemudian memang banyak meneliti sastra suluk dan syair Melayu. Disertasinya di Universitas Kebangsaan Malaysia tentang estetika Hamzah Fansuri dari sisi studi hermeneutika, kemudian terbit menjadi buku Tasawuf yang Terindas (Jakarta, Paramadina, 2001).
Akhir-akhir ini, Abdul Hadi WM juga meneliti sastra suluk klasik Jawa, seperti karya Yasadipura. Namun, sejauh ini, dalam pengamatan saya, Abdul Hadi (atau tokoh lain) belum pernah sekali pun menyebut sastra sufistiknya sebagai sastra suluk. Kuntowijoyo memang pernah menerbitkan buku puisi Suluk Awang Uwung, tetapi istilah suluk dimaksud Kuntowijoyo bukanlah dimaksudkan sebagai genre sastra suluk, melainkan lebih sebagai istilah saja untuk menandai semangat puisi-puisinya.
Di antara penyair Indonesia, yang secara sadar menyebut karya sastranya sebagai sastra suluk adalah Surasono Rashar.
Di antara penyair Indonesia, yang secara sadar menyebut karya sastranya sebagai sastra suluk adalah Surasono Rashar (penyair kelahiran Lahat, 6 Oktober 1960, namun lebih banyak tinggal di Lumajang, Jawa Timur). Rashar juga melanjutkan tradisi sastra tasawuf, dengan konsisten sebagai pelaku tarekat. Bahkah karya-karyanya tidak jarang terlahir dari suasana ”trance” saat dia melakukan suluk dalam praktik tarekat. Dengan demikian, terjadi semacam ”dialog roh” dengan tokoh-tokoh sufi masa lalu, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan sebagainya.
Hal ini memang seperti tampak tidak umum di dalam epistemologi ilmu modern, tetapi biasa terjadi dalam dunia tarekat (praktik tasawuf). Karena itu, dalam tradisi tarekat, dikenal istilah ”barzaki”, yaitu berguru kepada tokoh-tokoh sufi yang sudah meninggal, namun belajarnya bukan sekadar mempelajari pikiran-pikirannya, tetapi diyakini telah terjadi ”persambungan spiritual” dengan sang tokoh tadi.
(Mh Zaelani Tammaka, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta; Kandidat Doktor Linguistik Terapan Universitas Negeri Jakarta, Sedang Menulis Disertasi tentang Sastra Suluk)