Menyingkap Kebenaran di Tengah Genangan Fitnah
Tujuan buku Demokrasi di Era Post Truth ini diharapkan secara pelan namun pasti tercapai, yakni membangun budaya politik yang jujur dan benar di masa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat ini.
Apa jadinya, jika kebohongan dan fitnah dianggap lebih berharga dari kebenaran? Jika kebohongan menjadi pijakan pembuatan kebijakan? Apa jadinya, jika emosi dan kebencian lebih berperan, daripada ketepatan data, akal sehat dan nurani yang jernih? Yang terjadi kemudian adalah hadirnya jaman post truth (pasca kebenaran) yang penuh kekacauan, sebagaimana dijabarkan di dalam buku Demokrasi di Era Post Truth ini.
Buku ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada April 2021. Penulisnya adalah Jenderal Polisi (P) Prof. Dr. Budi Gunawan dan Komisaris Besar Polisi Dr. Barito Mulyo Ratmono. Keduanya adalah tokoh penting di dalam penegakan hukum sekaligus pendidikan kepolisian di Indonesia. Isinya menyentuh langsung salah satu masalah terpenting di abad XXI, yakni kebohongan yang menyebar luas melalui media sosial dan internet, serta mempengaruhi kehidupan politik berbagai negara.
Karena begitu banyaknya kebohongan, kebenaran menjadi sulit tampak. Keduanya disamarkan dengan data dan teori yang seolah ilmiah. Keduanya bahkan dikatakan oleh para ahli dari kubu politik yang berbeda. Inilah ciri utama dari masa post truth sekarang ini.
Budaya masyarakat luas pun terpengaruh. Akal sehat seolah redup. Emosi naik ke depan. Pilihan-pilihan politik tidak dibuat dengan pertimbangan akal sehat yang jernih, tetapi oleh emosi yang meluap-luap.
Ketepatan data menjadi tidak penting. Logika dan nalar kritis tidak lagi memiliki tempat. Yang dikobarkan adalah isu-isu SARA (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) yang tidak berpijak pada data ataupun akal sehat. Kebencian dan perpecahan di dalam masyarakat pun tak terhindarkan.
Di masyarakat yang minim pemikiran kritis, kebohongan ditelan begitu saja, dan kesalahpahaman yang berujung pada konflik pun tercipta.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berperan dalam hal ini. Sumber informasi tersebar begitu luas. Banyak diantaranya adalah kebohongan belaka. Di masyarakat yang minim pemikiran kritis, kebohongan ditelan begitu saja, dan kesalahpahaman yang berujung pada konflik pun tercipta.
Buku Demokrasi di Era Post Truth ini dengan detil ingin menanggapi hal tersebut. Beragam data disampaikan. Beragam teori juga digunakan untuk memahami gejala, dan menawarkan jalan keluar. Yang menjadi tujuan utama adalah membangun keadaan politik yang berpijak pada kebenaran dan kejujuran.
Dalam hal ini, Indonesia masihlah beruntung. Kebohongan memang disebarkan luas. Ujaran kebencian terus dikobarkan di media sosial. Namun, bangsa kita masih diselamatkan oleh keluhuran budaya dalam bentuk lem budaya (cultural glue) yang ada, sehingga tetap berusaha mencari kebenaran di tengah genangan fitnah, serta menahan diri untuk tidak saling membenci di atas pijakan kebohongan.
Gejala global dan lokal
Pola ini tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat yang dianggap sebagai teladan demokrasi dunia. Presiden Donald Trump, yang menjabat pada 2016 sampai 2020, adalah contoh nyata. Ia kerap berbicara tanpa data, hanya karena ingin menyebarkan kebencian dan menghibur pendukungnya belaka. Ia merusak budaya demokrasi yang sudah dibangun di Amerika Serikat selama lebih dari 200 tahun.
Trump hampir tak pernah mempersiapkan isi pidatonya dengan data yang tepat. Ia hanya melontarkan pandangan-pandangan yang menghibur pendukungnya. Ia hanya ingin disukai, walaupun harus terus menyebarkan kebohongan maupun fitnah. Hanya 3% dari seluruh pernyataan Trump yang mengandung kebenaran. Sisanya hanya sebagian benar, atau salah sama sekali (yang mencapai 36%).
Kebohongan yang dilontarkan Trump tidak berhenti di tempat, melainkan secara sistematis tersebar di berbagai media sosial. Akibatnya, media sosial pun mengalami banjir informasi palsu (hoax). Ini amatlah berbahaya, karena pengguna media sosial amatlah banyak dewasa ini. Ada pihak yang menciptakan akun-akun yang khusus menciptakan dan menyebarluaskan kebohongan. Ada juga yang secara sengaja menciptakan ujaran kebencian untuk menjatuhkan orang lain.
Pola merusak serupa ditiru juga di Indonesia. Pada periode Agustus 2018 sampai November 2019, ada 3901 temuan isu hoaks di Indonesia. Isu politik menempati urutan pertama dengan 973 kasus. Sementara isu pendidikan menempati urutan terakhir dengan 24 kasus.
Media sosial pun menjadi ruang publik baru, dimana masyarakat mencari informasi dan menyebarkan pandangan politiknya. Gunawan dan Ratmono menyebutnya sebagai „kamar riuh bergema“, dimana informasi begitu banyak, namun sulit dipercaya kebenarannya. Di dalam „kamar riuh bergema“, begitu banyak berita palsu, ujaran kebencian dan bahkan pembunuhan karakter terhadap seseorang terjadi. Hal ini meningkat tajam pada masa pemilu maupun pilkada.
Mengapa ruang publik digital dan „kamar riuh bergema“ ini bisa hadir begitu cepat dan begitu luas? Di Indonesia, menurut Gunawan dan Ratmono, ada kekhawatiran tentang berkurangnya peran media sebagai ruang publik yang kritis. Ini didasarkan pada fakta, bahwa media-media besar (mainstream) dikuasai beberapa orang yang juga aktif berpolitik praktis. Masyarakat pun tidak lagi percaya pada media-media besar. Mereka terjun ke media sosial.
Media sosial tidak lagi hanya menjadi tempat menjalin relasi, atau berjumpa dengan kawan lama.
Media sosial tidak lagi hanya menjadi tempat menjalin relasi, atau berjumpa dengan kawan lama. Media sosial menjadi alat politik. Ia menjadi tempat berkampanye, menyebar isu sekaligus membangun gerakan sosial. „Penggunaan media sosial di Indonesia“, demikian tulis Gunawan dan Ratmono, „tidak hanya untuk mengakses hiburan dan informasi, tetapi juga untuk membangun gerakan-gerakan sosial, seperti untuk penggalangan dana sosial atau untuk membuat petisi-petisi terkait isu politik.“ (hlm. 99)
Memang, tidak semua isu politik di media sosial penting untuk dibicarakan. Tidak semua tema penting untuk menjadi perhatian. Begitu banyak hal remeh, seperti gosip selebriti, yang tersebar di media sosial. Ini disebut juga sebagai gejala “Many clicks, but little sticks.” (Banyak klik, tetapi sedikit yang teringat).
Ciri-ciri masa Post Truth
Semua ini merupakan gejala kehidupan di masa post truth. Gunawan dan Ratmono merumuskan enam ciri dari masa ini. Yang pertama adalah peran emosi yang lebih kuat daripada akal dan data. Yang kedua, orang lebih percaya pada data dan teori yang sudah sesuai dengan keyakinan mereka. Tidak ada sikap kritis, obyektif maupun rasional di dalamnya.
Yang ketiga adalah hadirnya tokoh politik yang berbicara tanpa fakta. Mereka juga tidak takut dengan akibat yang muncul dari kebohongan yang disebarkan. Yang keempat adalah semakin diterimanya berbagai kebohongan dan ujaran kebencian sebagai bagian dari percakapan politik global. Toleransi terhadap ketidakberadaban semakin tinggi sekarang ini.
Yang kelima, masyarakat juga semakin tidak percaya pada media-media besar. Ini terkait dengan hal yang sebelumnya dibahas, bahwa pemilik media-media besar itu pun terlibat langsung di dalam politik praktis. Informasi yang diberikan seringkali tidak seimbang, bahkan salah total. Yang keenam, masyarakat luas juga semakin curiga dengan para ahli. Mereka seolah siap berkata apapun, dengan mengutip data dan teori yang canggih-canggih, untuk membenarkan tokoh politik yang membayar mereka.
Jika dilihat secara detil, ini sebenarnya bukan hal baru. Gunawan dan Ratmono bahkan menyebutkan gejala masa post truth ini sebagai „praktik lama dengan kemasan baru.“ Semua ini terkait dengan praktek propaganda yang digunakan oleh para pemerintahan totaliter di masa lalu, mulai dari Hitler di Jerman sampai dengan propaganda komunis di Uni Soviet. Kebohongan yang tak henti disebarkan ke masyarakat luas, sehingga ia seolah menjelma menjadi kebenaran.
Secara umum, penyebaran kebohongan dengan menggunakan teknologi informasi ini disebut juga sebagai disinformasi. Ada empat bentuk dari disinformasi di masa post truth. Yang pertama adalah disinformasi yang disebarkan untuk tujuan politik. Ini biasanya terjadi di masa pemilihan umum.
Yang kedua adalah disinformasi non politik. Ini adalah penyebaran kebohongan yang tidak terkait dengan politik, namun sekedar untuk memenuhi media sosial dengan kebingungan maupun perpecahan. Yang ketiga adalah disinformasi yang bertujuan untuk hiburan, seperti humor dan parodi. Disinformasi ini bisa juga memiliki tujuan politik, namun lebih bertujuan untuk kepuasan pribadi si pencipta humor.
Yang keempat adalah disinformasi yang bersifat komersial untuk mendapatkan keuntungan finansial. Pelakunya menjual kebohongan untuk mendapatkan uang. Mereka adalah para penyebar hoaks profesional. Lebih jauh, Gunawan dan Ratmono juga menjabarkan lima cara untuk menciptakan sekaligus menyebarkan disinformasi, mulai dari penyebaran hoaks, utak atik narasi, leaks, hacks, amplifikasi dan manipulasi preferensi.
Gunawan dan Ratmono bahkan menyebutkan gejala masa post truth ini sebagai „praktik lama dengan kemasan baru.“
Di dalam utak atik narasi, isu tertentu dikaitkan dengan isu lainnya, sehingga memperpanas keadaan politik. Misalnya, isu LGBT yang selalu dikaitkan dengan isu agama, sehingga menimbulkan ketegangan yang tidak perlu di masyarakat. Leaks adalah pembocoran data pribadi untuk mempermalukan seseorang atau suatu kelompok. Ini dilakukan secara sengaja untuk mempermalukan pihak terkait di mata masyarakat luas.
Hacks adalah peretasan. Ini juga merupakan pencurian data pribadi untuk kepentingan-kepentingan merusak. Orang bisa mengalami kerugian politik maupun finansial besar, akibat tindakan ini. Yang juga kerap terjadi adalah amplifikasi disinformasi dan manipulasi preferensi, yakni kebohongan yang terus disebarkan ke satu kelompok masyarakat tertentu di media sosial, sehingga mereka tidak punya pilihan lain, selain menerima informasi yang sama tanpa henti. Ini berpijak pada data algoritma yang dikumpulkan oleh situs media sosial tertentu.
Ini menciptakan apa yang disebut sebagai kepompong informasi (cocoon of information). Orang yang berpandangan serupa akan berkumpul, dan akan terus menerima informasi yang sudah mereka yakini di media sosial. Biasanya berupa berita palsu, atau utak atik narasi yang menumbuhkan dan memperkuat kebencian yang sudah ada sebelumnya. Kelompok ini akan berkonflik dengan kelompok lain yang punya pandangan berbeda. Tidak ada peluang untuk saling berdiskusi dan mendengarkan sudut pandang yang berbeda. Demokrasi pun mengalami krisis, dan bahkan berpeluang untuk runtuh.
Baca juga : Panorama Diskursus Keadilan
Beberapa Jalan Keluar
Di tengah kepungan tantangan di masa post truth ini, Gunawan dan Ratmono juga menawarkan lima jalan keluar. Yang pertama adalah penguatan intelijen siber. Ini dilakukan dengan membuka cabang baru di Badan Intelijen Negara, yakni Deputi Bidang Intelijen Siber. Ia secara khusus mengembangkan sistem dan manusia penegak hukum untuk menangani berbagai kejahatan siber.
Yang kedua adalah penyebaran informasi (flooding information) yang benar secara luas di dunia siber. Selain menindak para pelaku penyebaran kebohongan, data dan informasi yang benar juga harus terus disebar, supaya masyarakat tetap berpijak pada kebenaran di dalam keputusan-keputusan yang mereka ambil. Yang ketiga adalah penerapan teknologi untuk pengecekan fakta dan kebenaran di dunia siber. Beberapa media besar, seperti Kompas dan Liputan 6, sudah menerapkan teknologi ini.
Yang keempat adalah melengkapi aturan hukum tentang penyebaran kebohongan. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah mengatur hal ini. Namun, Undang-Undang tersebut perlu terus disempurnakan lebih jauh secara berkala.
Yang kelima adalah pembentukan massa kritis. Masyarakat harus dididik untuk berpikir kritis, sehingga berani mengolah informasi dahulu, sebelum menerimanya sebagai kebenaran. Dengan pola ini, masyarakat lalu juga didorong untuk memerangi kebohongan yang tersebar di ruang publik.
Secara khusus tentang Indonesia, Gunawan dan Ratmono menulis, “Di Indonesia, ada empat faktor yang mendorong praktik politik post-truth, yaitu polarisasi akibat perbedaan pilihan politik, distrust pada negara, distrust pada politisi dan parpol, serta distrust pada media arus utama.” (hlm. 221) Akibatnya adalah penyebaran kebohongan secara luas dan sistematik oleh pihak lokal maupun asing. Kebenaran pun semakin tertutup oleh genangan fitnah, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk menyingkapnya.
Beberapa pertimbangan terhadap buku
Buku Demokrasi di Era Post Truth tulisan Gunawan dan Ratmono ini sungguh mencerahkan kita. Kehadirannya amat penting di abad XXI ini, guna mengembalikan politik ke tujuan aslinya, yakni menata kehidupan bersama dengan adil serta berpijak pada kebenaran. Data-data yang diajukan penting untuk kita ketahui bersama. Teori-teori yang dikemukakan juga amat mencerahkan pikiran pembaca.
Namun, ada tiga hal yang kiranya penting untuk diperhatikan. Pertama, buku ini hanya membahas masa post truth dari sisi politik dan ekonomi semata. Ia tidak menyentuh sisi yang lebih dalam, yakni sisi manusia yang gemar menyebarkan kebencian, kebohongan serta perpecahan. Mengapa manusia menyebarkan fitnah, dan mengapa manusia juga gemar untuk ditipu? (F Budi Hardiman, 2018) Untuk menjawab kedua pertanyaan itu secara sistematis dan kritis, kajian filosofis yang lebih dalam kiranya perlu dilakukan.
Baca juga : Eksperimen Kedokteran dengan Tumbal Achmad Mochtar
Dua, buku ini juga tidak menggunakan penelitian-penelitian neurosains terbaru terkait dengan penyebaran kebohongan secara luas ini. Neurosains adalah ilmu pengetahuan yang membahas otak dan sistem saraf manusia. Ilmu ini juga meluas dengan membahas kaitan antara otak, sistem saraf dan perilaku manusia di berbagai bidang. (Reza AA Wattimena, 2020) Pendekatan ini sedang ramai dibicarakan, karena menyingkap langsung sisi biologis dari berbagai perilaku manusia, termasuk perilaku saling membenci dan menyebarkan kebohongan di masa post truth ini.
Tiga, secara teknis, buku Demokrasi di Era Post Truth ini mengandung banyak istilah teknis. Seringkali, tidak ada upaya menerjemahkan konsep-konsep yang ada. Yang banyak muncul adalah kata-kata serapan yang bisa mengundang kebingungan pembaca, seperti amplifikasi disinformasi, manipulasi preferensi dan integrasi critical literacy. Untuk para ahli, konsep-konsep ini mungkin cukup jelas, tetapi tidak untuk pembaca secara umum.
Ia tidak menyentuh sisi yang lebih dalam, yakni sisi manusia yang gemar menyebarkan kebencian, kebohongan serta perpecahan.
Akhir kata, buku ini kiranya amat penting untuk pengetahuan umum masyarakat Indonesia. Buku ini juga amat penting sebagai pijakan penelitian ilmiah tentang demokrasi di abad XXI.
Semoga tujuan buku ini bisa secara pelan namun pasti tercapai, yakni membangun budaya politik yang jujur dan benar di masa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat ini. Dengan ini, kiranya tujuan besar kita bersama sebagai bangsa, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, kiranya bisa terwujud. Mari mulai bekerja!
Reza A.A Wattimena, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman, Pendiri Rumah Filsafat
Data Buku
Judul Buku : Demokrasi di Era Post Truth
Penulis : Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I,Tahun 2021
Tebal : xii + 250 halaman
ISBN : 978-602-481-312-3
ISBN Digital : 978-602-481-311-6