Maju tetapi Mundur
Apakah sebuah perusahaan memiliki kemampuan membawa misinya ke masa depan. Sebab ketika sebuah perusahaan ingin benar maju ke depan, ia tak bisa terus menerus berada di lingkungan masa lalunya.
Dua anak dari generasi milenial curhat kepada saya mengenai suasana kantornya yang dipenuhi atasan dari masa lampau, yang terlihat maju dengan gadget-nya, tetapi mundur dalam menginspirasi.
Maju
Kami menyantap makan malam sebelum keduanya bercerita panjang lebar. Saya mau menyarankan saja, kalau Anda atau teman Anda mau curhat apalagi memakan waktu yang panjang, sebaiknya perut perlu diisi.
Perut kalau kosong bawaannya emosi dan tak fokus. Kalau terisi terlalu banyak malah jadi mengantuk karena kekenyangan. Jadi harus benar-benar pas mengisinya. Pas itu sebuah situasi di mana seseorang tahu kapan waktunya untuk berhenti.
Dari mana seseorang tahu waktunya harus berhenti? Salah satunya adalah seperti curhat salah satu anak milenial tadi.
”Saya sudah sampai pada tahap bekerja sebagai rutinitas. Saya sudah tidak lagi memiliki hasrat untuk mengajukan ide-ide saya. Saya sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk berprestasi karena lingkungan kerja sudah membuat saya tak memungkinkan untuk melakukan hal itu.”
”Atasan saya bekerja di akhir pekan. Ia menganggap bahwa kantor dan pekerjaannya adalah keluarganya. Dan saya sebagai bawahan harus berpartisipasi untuk menganggap akhir pekan adalah waktunya untuk bersama dia di kantor. Sementara saya membutuhkan datangnya akhir pekan untuk dihabiskan bersama keluarga saya yang sebenarnya bernama istri dan anak.”
Itu hanya satu dari sekian butir curhatan yang disampaikannya pada malam itu. Setelah saya mendengar ceritanya, saya menyarankan untuk melakukan evaluasi diri dan bukan evaluasi kantor dan evaluasi atasan.
Mundur
Langkah pertama yang saya sarankan adalah menuliskan apa yang ingin dicapainya dalam tiga sampai lima tahun ke depan secara profesional. Dari titik itulah ia harus melihat dan memperhitungkan apakah bekerja di perusahaan yang sekarang ini, rencananya itu dapat diwujudkan.
Yang disebut secara profesional bukanlah semata-mata diupah karena kemampuan seseorang, tetapi apakah perusahaan mengikuti perubahan zaman. Tidak hanya mampu menyediakan gadget terbaru bagi karyawan atau fasilitas lainnya, tetapi memiliki atasan yang juga mampu dan mau berpikir ke depan.
”Betul, Mas. Saya itu sering mendengar atasan saya menyindir bahwa saya ini beruntung bekerja di masa sekarang yang dengan mudah mendapatkan informasi ketimbang di masa lalu.”
”Itu yang membuat saya susah untuk menawarkan ide baru karena ia merasa jam terbang yang sudah banyak itu membuat apa pun keputusannya itu selalu yang paling benar,” jelasnya.
Kepala saya langsung berpikir. Dengan otak saya yang sederhana ini, seharusnyalah tidak sepantasnya karyawan itu tertekan untuk hal-hal yang tidak perlu. Mereka datang dari generasi yang lahir jauh lebih muda. Sudah dapat dipastikan mereka tak pernah menjalani pengalaman hidup yang dialami para seniornya.
Kalau seniornya merasa mereka hidup lebih mudah dan tak punya pengalaman masa yang sulit seperti apa yang mereka alami dahulu, tentu sangat tidak adil kalau mereka disalahkan atau tidak diberikan kesempatan untuk memaparkan isi kepala masa muda mereka, yang bisa jadi sangat mengejutkan.
Seyogianyalah sebuah perusahaan itu terutama atasan untuk menghargai kemampuan manusianya, dan bukan hanya semata mata membutuhkan karyawan.
Karena kalau kebutuhan sebuah perusahaan sudah terpenuhi, ada kemungkinan seseorang tak lagi diperlukan dan tak dianggap. Tetapi penghargaan adalah sebuah cara yang justru menjadi alat untuk memajukan manusianya dan perusahaan itu sendiri.
Pada evaluasi diri juga ada hal penting yang harus diperhitungkan. Apakah sebuah perusahaan memiliki kemampuan membawa misinya ke masa depan. Sebab ketika sebuah perusahaan ingin benar maju ke depan, ia tak bisa terus menerus berada di lingkungan masa lalunya.
Ia tak bisa memiliki pembuat keputusan yang hidup senantiasa di masa lalu, menyarankan ide-ide yang sudah terlalu kuno, atau mencari pemasukan dengan menghubungi jejaring kunonya, yang bisa jadi mendatangkan pemasukan yang cukup banyak dengan lebih mudah.
Itu adalah dua dunia yang berbeda yang tak akan pernah bertemu dan bersatu dan berharap akan melahirkan sebuah kekuatan yang tak terkalahkan. Itu adalah hal yang mustahil. Itu mungkin yang disebut perusahaan maju yang mundur.
Malam semakin larut. Rumah makan itu mulai mematikan beberapa lampunya sehingga suasana menjadi lebih gelap. Sebuah pertanda mengusir secara halus, karena tamunya seperti kami ini yang tak beranjak pulang padahal sudah diberitahu sebelumnya, kalau pukul sembilan malam tempat makan itu akan ditutup.
Itu mirip dengan sebuah perusahaan yang katanya mau maju, tetapi enggan beranjak dari masa jayanya di masa lalu. Dan itu pun sama miripnya dengan seorang karyawan yang mengeluh tentang perusahaan dan atasannya, tetapi enggan beranjak untuk melakukan evaluasi dirinya sendiri.