Kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang tidak sah menurut hukum negara maupun agama, menuai beragam respon. Terutama di Indonesia, dimana pernikahan menjadi satu hal yang sakral.
Oleh
SRIWIYANTI
·5 menit baca
Hubungan dekat antar manusia merupakan hal privasi yang harusnya bersifat konfidensial. Namun, ketika batas-batas sosial, terutama dalam dunia maya, terkaburkan, banyak orang tidak ragu untuk mempublikasikan berbagai hal pribadi. Dalam hal ini termasuk pola hubungan dekat, pilihan hidup yang kontroversial seperti fakta orientasi seksual, keputusan bebas anak, apa saja kegiatan saat pacaran, hingga pilihan gaya hidup kohabitasi.
Fenomena kohabitasi memiliki banyak interpretasi, seperti bentuk kebebasan manusia dalam mengatur hal-hal yang bersifat pribadi, alih-alih membiarkan negara mengintervensi. Tetapi, kohabitasi dalam perspektif seorang religius adalah gaya hidup modern yang hanya dilakukan oleh kaum muda agnostik. Faktanya, kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang tidak sah menurut hukum negara maupun agama, memang menuai ragam respon.
Meskipun kohabitasi di Indonesia umumnya disebut sebagai “kumpul kebo”, di mana perilaku manusia dianalogikan seperti binatang kerbau. Di sisi lain, kohabitasi sebenarnya berasaskan pada kepercayaan bahwa tanpa tinggal bersama, seseorang tidak akan pernah bisa mengenal satu sama lain, kebiasaan sehari-hari, cara mengambil keputusan, hingga menghadapi masalah kecil maupun yang berdampak besar.
Konon, orang yang melakukan kohabitasi percaya bahwa ini adalah sebuah langkah tepat sebelum melanjutkan pada jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan yang legal. Kohabitasi singkatnya seperti ajang trial and run, atau uji coba. Jika tidak cocok, seseorang bisa memutuskan untuk berpisah, pun sebaliknya, mereka juga bisa mempertimbangkan untuk melanjutkan ke proses pernikahan.
Di Amerika, kohabitasi bukan lagi suatu hal yang konfidensial, tetapi pilihan hidup normal. The Pew Research Center merilis data penelitian longitudinal di Amerika dari tahun 2013 sampai 2017, bahwa pasangan usia 18 hingga 44 tahun dengan total sejumlah 69 persen melakukan kohabitasi terbuka yang diterima oleh masyarakat dan keluarga besar. Sedangkan 14 persen pasangan kohabitasi mendapat penolakan dari lingkungan terdekat.
Sebaliknya, di Indonesia, fenomena kohabitasi menjadi hal yang mutlak ditentang jika dilihat dari sudut pandang mana pun, agama, hukum negara, maupun hukum adat. Ketiga elemen yang mengeluarkan regulasi formal maupun informal ini, tentu saja menolak kohabitasi.
Akan tetapi, aturan-aturan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pasangan kohabitasi di Indonesia, terutama karyawan dan mahasiswa di kota-kota besar yang hidup individualistik, tidak bergaul dengan tetangga, tidak wajib lapor kepada pengurus warga setempat. Meskipun belum ada pendataan resmi berapa jumlah dan presentasenya, namun penting untuk membuat sebuah edukasi tentang kohabitasi bagi mereka yang mengaku membuat pilihan secara sadar. Sebab, kohabitasi bisa menjadi penuh perdebatan jika kita membawanya pada ranah yang lebih umum, seperti pembahasan tentang tingkat perceraian, kepuasan hidup, hingga kesehatan mental.
Menakar secara terukur
Di Amerika dan Eropa, berbagai penelitian tentang kohabitasi telah dilakukan sejak tahun 1980-an, mulai dari apa yang menjadi motif, bagaimana dinamika kohabitasi, hingga penelitian longitudinal yang memprediksi tingkat kesuksesan pernikahan maupun perceraian pasangan suami istri yang sebelumnya melakukan kohabitasi.
Melihat fakta kohabitasi yang masif di Amerika dan Eropa, bahkan bisa ditemukan di Indonesia, penting untuk menjawab beberapa pertanyaan untuk menakar substansi kohabitasi secara terukur. Apakah kohabitasi memang layak dijadikan wadah untuk saling mengenal lebih dalam? Apakah memang kondisi saat kohabitasi sama persis dengan kondisi dalam pernikahan sehingga layak disebut sebagai tempat percobaan ideal? Kemudian, apakah relasi dua manusia dalam kohabitasi lebih sehat dibandingkan dalam pernikahan?
Apakah kohabitasi memang layak dijadikan wadah untuk saling mengenal lebih dalam?
Pertama, kohabitasi menyatukan dua manusia dengan asas suka sama suka, untuk tinggal di bawah atap yang sama, berbagi tugas, beban, peran, kesedihan, juga kebahagiaan. Jika tujuan kohabitasi untuk saling mengenal, bab self-disclosure atau pengungkapan diri haruslah tuntas lebih dulu.
Dalam psikologi sosial yang membahas tentang bagaimana sebenarnya proses manusia membuka atau menyingkap identitasnya di hadapan orang lain, tidak hanya dibutuhkan kedekatan secara fisik, apalagi hingga tinggal bersama dalam kurun waktu yang lama. Tak sedikit orang yang justru berdekatan tetapi terasa asing, hanya memenuhi kebutuhan afeksi semata, tanpa benar-benar tahu karakter maupun kecenderungan satu sama lain.
Hal ini juga tergambar dari riset yang ditulis Horowitz dkk (2019) bahwa tingkat kepercayaan atau trust pasangan kohabitasi cenderung lebih rendah dibandingkan pasangan menikah. Artinya, keragu-raguan justru meliputi hubungan satu sama lain. Sebab, pengungkapan diri hanya mampu dilakukan oleh individu yang memiliki kesadaran, menetapkan tujuan yang jelas, mendapat penguatan secara internal (keyakinan diri) maupun eksternal (dukungan keluarga dan kerabat).
Kedua, jika tujuan kohabitasi adalah untuk uji coba, dengan asumsi kondisi yang sama dengan pernikahan, ini perlu dikonfirmasi. Manusia sebenarnya disetir oleh intention atau niat. Kohabitasi memang mengandung tiga unsur cinta dari Sternberg seperti halnya pernikahan, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen. Tetapi, komitmen dalam kohabitasi tidak jelas berapa persentasenya, yang pasti, seseorang bisa memutuskan untuk pergi kapan saja, berpisah dengan alasan penting maupun manipulatif.
Hal ini berbeda dengan pernikahan yang melibatkan dua manusia dan dua keluarga besar dengan komitmen penuh secara sadar. Terlebih di Indonesia, pernikahan menjadi hal yang begitu sakral. Orang yang sama, sebut saja A, akan berperilaku berbeda dalam situasi kohabitasi dan dalam instansi pernikahan yang legal.
Pada jurnal Amato (2015) ditemukan fakta bahwa pasangan kohabitasi sebenarnya memiliki komitmen yang cukup rendah, bahwa sewaktu-waktu mereka bisa memutuskan hubungan dengan mudah. Diperburuk lagi apabila pasangan kohabitasi ditolak oleh keluarga maupun lingkungan sosial, sehingga tekanan eksternal semakin bepengaruh pada rendahnya komitmen.
Ketiga, kesehatan pasangan kohabitasi versus pasangan menikah. Jika tolak ukur kesehatan bergantung pada penerimaan kasih sayang, perhatian, dan aktivitas seksual. Baik pasangan kohabitasi maupun menikah dapat merasakan manfaat yang sama, di mana terjadi penurunan risiko stress, depresi, maupun gejala gangguan mental lain.
Namun, jika merujuk pada hasil riset Horowitz dkk (2019), menunjukkan bahwa kepuasan terhadap hubungan maupun kepuasan hidup secara umum, lebih tinggi pada pasangan suami istri dibandingkan pasangan kohabitasi. Sebanyak 74 persen responden menikah versus 58 persen responden kohabitasi mengaku yakin bahwa pasangannya adalah orang yang paling tepat. Selanjutnya, 68 persen responden menikah dan 54 persen responden kohabitasi mengaku percaya bahwa pasangan mereka selalu mengatakan yang sebenarnya.
Dengan fakta tersebut, alternatif kohabitasi perlu dipertimbangkan dan dikaji lebih dalam. Tidak hanya sedangkal cara hidup modern, gaya hidup manusia bebas, apalagi semata karena cinta atau ikut-ikutan saja. Seperti banyak pilihan lain yang selalu melahirkan dualisme, kohabitasi pun sama. Akan tetapi, menimbang setiap pilihan secara matang dan logis adalah perilaku manusia merdeka.
Sriwiyanti, Mahasiswa Master of Educational Psychology UnisZA, Malaysia