Memahami Pemanfaatan Tenaga Nuklir di Sekitar Kita
Tenaga nuklir tidak selalu berkaitan dengan sesuatu yang dasyat. Tenaga nuklir telah dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup, baik di industri, rumah sakit, klinik kesehatan, maupun di rumah-rumah.
Persepsi publik terhadap perkataan ”tenaga nuklir” masih sering campur aduk dan cenderung berlebihan. Tenaga nuklir dipahami sebagai sesuatu yang dahsyat, dihasilkan dari sebuah instalasi nuklir canggih dengan tingkat keamanan superketat. Walaupun kenyataannya tanpa disadari tenaga nuklir ada di sekitar kita dan bahkan telah dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup.
Di Indonesia, pemanfaatan tenaga nuklir tidak hanya berupa pengoperasian tiga buah reaktor nuklir, tetapi juga berupa berbagai fasilitas radiasi yang digunakan di industri, rumah sakit, klinik kesehatan, bahkan di rumah-rumah.
Mengingat jenis pemanfaatan tenaga nuklir memiliki tingkat potensi bahaya yang berbeda-beda, maka regulasi yang berlaku juga membedakan pendekatan dalam pengawasannya. Ada yang memerlukan pengawasan secara ketat dalam bentuk izin, ada pula yang dibebaskan dari izin untuk penggunaan di masyarakat.
Sebagai contoh masyarakat yang menggunakan detektor asap yang di dalamnya memanfaatkan zat radioaktif Am-Be tidak memerlukan izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Hal ini karena Bapeten telah memastikan bahwa peralatan tersebut tidak membahayakan masyarakat.
Baca juga: Nuklir untuk Kesejahteraan
Sebaliknya regulasi mewajibkan ada izin dari Bapeten untuk pemanfaatan tenaga nuklir yang memiliki potensi bahaya yang signifikan. Izin pemanfaatan diberikan setelah calon pemegang izin memenuhi persyaratan yang ditetapkan, baik dari aspek keselamatan maupun keamanannya.
Tulisan ini mencoba memberi gambaran kepada publik seberapa ketat penerapan tingkat keamanan untuk berbagai pemanfaatan tenaga nuklir, termasuk di klinik kesehatan.
Pengertian tenaga nuklir
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dinyatakan bahwa tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion. Radiasi sinar-X yang dihasilkan dari peralatan rontgen di sebuah klinik kesehatan merupakan salah satu jenis radiasi pengion.
Dari segi potensi bahaya, radiasi sinar-X memiliki karakteristik yang serupa dengan radiasi sinar gamma. Kedua jenis radiasi ini memiliki kemampuan yang besar dalam merusak sel ataupun jaringan tubuh. Oleh karena itu, kedua jenis radiasi ini memerlukan pengawasan yang ketat.
Demikian halnya dengan tenaga nuklir yang digunakan dalam peralatan detektor asap. Jenis tenaga nuklir yang dibebaskan dari proses transformasi inti atom zat radioaktif Am-Be dalam peralatan detektor asap berupa radiasi partikel alpha. Jenis radiasi ini memiliki potensi bahaya yang besar apabila berada di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, jumlah zat radioaktif dan desain peralatannya harus memperoleh persetujuan dari Bapeten.
Baca juga: Nuklir, Salah Satu Andalan Dunia Menuju Emisi Nol
Dengan demikian, secara regulasi kedua jenis sumber radiasi tersebut memenuhi batasan sebagai tenaga nuklir meskipun keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Peralatan rontgen dan peralatan detektor asap tersebut merupakan tenaga nuklir berupa sumber radiasi pengion (SRP).
Selain yang berasal dari berbagai SRP, tenaga nuklir juga dihasilkan dari proses reaksi nuklir yang terjadi di dalam instalasi nuklir seperti reaktor nuklir. Proses ini dapat digunakan untuk memproduksi zat radioaktif (digunakan di industri atau pun di rumah sakit). Atau untuk jenis reaktor daya, panas yang dihasilkan dari reaksi nuklir digunakan untuk membangkitkan listrik (pembangkit listrik tenaga nuklir/PLTN).
Aspek pengawasan
Mengingat tingkat potensi bahaya berbeda-beda untuk setiap jenis pemanfaatan tenaga nuklir, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemanfaatan tenaga nuklir juga tidak sama. Pengawasan terhadap instalasi nuklir seperti halnya reaktor nuklir tentu jauh lebih ketat dibanding dengan pengawasan terhadap SRP.
Aspek pengawasan untuk instalasi nuklir, tidak hanya aspek keselamatan, tetapi juga aspek proteksi fisik dan juga keamanan terhadap bahan nuklir (safeguards). Hal ini sangat berbeda dengan aspek pengawasan terhadap SRP yang meliputi aspek keselamatan dan khusus untuk SRP berupa zat radioaktif, juga meliputi aspek keamanan zat radioaktif.
Publik perlu memahami bahwa tenaga nuklir tidak boleh digunakan secara sembarangan.
Publik perlu memahami bahwa tenaga nuklir tidak boleh digunakan secara sembarangan. Hal tersebut mengingat potensi bahaya yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pemanfaatan tenaga nuklir harus terlebih dahulu memperoleh proses justifikasi dari pemerintah pusat, yang diwakili Bapeten. Proses ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, sosial, teknologi, keselamatan, kesehatan, dan keamanan.
Proses ini selain untuk memutuskan apakah sebuah teknologi diizinkan memasuki wilayah hukum Indonesia, juga untuk menentukan kelompok penggunaannya. Dalam pendekatan pengawasan, pengelompokan ini sangat penting karena akan menentukan aspek keselamatan dan keamanan yang harus dipenuhi oleh calon pengguna.
Pendekatan bertingkat
Paradigma pengawasan keselamatan radiasi berbeda dengan pengawasan keamanan zat radioaktif. Pengawasan terhadap keselamatan radiasi bertujuan untuk memastikan masyarakat, pekerja, dan lingkungan tidak menerima dosis radiasi yang tidak diperlukan (unacceptable dose). Dalam hal ini penerimaan dosis radiasi diusahakan serendah mungkin dengan tetap mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi (ALARA Principles).
Adapun dalam paradigma keamanan zat radioaktif, upaya yang dilakukan bertujuan untuk memastikan zat radioaktif tidak dicuri, termasuk tidak diakses secara tidak syah. Kegagalan mengamankan zat radioaktif dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup, mengingat zat ini dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Mengingat potensi ancaman keamanan yang terkandung dalam zat radioaktif berbeda-beda, maka Bapeten dalam mengawasinya dengan menerapkan pendekatan bertingkat (graded approached). Tingkat keamanan A mengindikasikan bahwa zat radioaktif memiliki potensi ancaman keamanan tinggi, sedangkan tingkat keamanan B dan C masing-masing untuk potensi ancaman keamanan sedang dan rendah.
Mengingat potensi ancaman keamanan yang terkandung dalam zat radioaktif berbeda-beda, maka Bapeten dalam mengawasinya dengan menerapkan pendekatan bertingkat.
Potensi ancaman keamanan zat radioaktif dinyatakan dalam bentuk rasio aktivitas (kekuatan) zat radioaktif dibandingkan dengan nilai D (D value). Nilai D ini merupakan nilai aktivitas yang dapat menyebabkan efek deterministic seperti luka bakar atau pun kematian terhadap seseorang yang menerima sejumlah besar dosis radiasi.
Sebagai contoh pemanfaatan tenaga nuklir berupa zat radioaktif untuk irradiator memerlukan tingkat keamanan A karena kekuatan zat radioaktif yang digunakan mencapai ratusan ribu bahkan jutaan curie, sehingga nilai rasio A/D nya lebih besar dari 1.000 (seribu). Di sini peralatan keamanan yang dipersyaratkan jauh lebih lengkap, berbeda dengan yang dipersyaratkan dalam pemanfaatan dalam fasilitas radiografi industri (tingkat keamanan B) atau dalam fasilitas gauging di berbagai industri (tingkat keamanan C).
Aspek pengawasan SRP di klinik
Persepsi atau pemahaman masyarakat terhadap tenaga nuklir akan sangat kontradiktif ketika melihat kenyataan penggunaan tenaga nuklir di sebuah klinik kesehatan. Di tempat ini, tenaga nuklir berasal dari sebuah peralatan rontgen yang sangat sederhana.
Di sini tenaga nuklir sama sekali tidak terkait dengan peluruhan zat radioaktif ataupun reaksi nuklir secara berantai sebagaimana yang terjadi dalam sebuah reaktor nuklir. Di fasilitas ini tenaga nuklir yang digunakan dalam bentuk radiasi sinar-X yang dihasilkan dari sebuah peralatan rontgen sederhana. Peralatan ini berupa bahan target penghasil radiasi sinar-X yang ditempatkan dalam sebuah tabung gelas kecil dalam kondisi vakum dan panel kontrol listrik.
Dalam penggunaannya, peralatan rontgen ditempatkan dalam sebuah ruangan dilengkapi dengan sistem keselamatan untuk mengendalikan radiasi yang dihasilkan. Radiasi sinar-X yang dihasilkan dari peralatan tersebut digunakan untuk membuat gambar (citra) pada bagian tubuh seorang pasien. Selanjutnya gambar yang dihasilkan digunakan dokter dalam menegakkan diagnosis.
Baca juga: Masa Depan Energi Nuklir
Peralatan rontgen sama sekali tidak membutuhkan sistem keamanan zat radioaktif. Peralatan ini merupakan salah satu obyek pengawasan yang dilakukan oleh Bapeten untuk memastikan aspek keselamatan pekerja, masyarakat (termasuk pasien) dan lingkungan.
Semoga artikel ini membantu publik dalam memahami arti tenaga nuklir secara tepat sehingga persepsi yang cenderung berlebihan terhadap perkataan ”tenaga nuklir” dapat dihindari. Hal ini penting untuk membantu publik dalam memberikan respons atau tanggapan yang proporsional terkait perkataan tersebut. Semoga.
Aris Sanyoto, Anggota Perkumpulan Ahli Proteksi Radiasi Indonesia (APRI) Jakarta